Pesawat terbang sipil komersial diharuskan untuk tertib administrasi antara lain memiliki Sertifikat Pendaftaran atau Certificate of Registrastion (C of R). Daftar registrasi pesawat terbang dikeluarkan oleh Otoritas penerbangan sebuah negara. Sebagai catatan semua negara anggota PBB otomatis menjadi anggota ICAO – International Civil Aviation Organization. Dalam regulasi ICAO inilah salah satunya ada kewajiban pesawat sipil komersial memiliki kode pendaftaran atau registrasi. Khusus untuk Indonesia nomor pendaftaran bagi pesawat terbang sipil komersial adalah PK (singkatan dari Pay Kolonie – bahasa Perancis) yang artinya adalah negara jajahan. PK memang digunakan sejak Indonesia masih berstatus sebagai negara jajahan Belanda. Dengan demikian maka seluruh pesawat sipil terutama sipil komersial yang akan beroperasi di Indonesia harus memperoleh registrasi PK yang dikeluarkan oleh otoritas penerbangan Republik Indonesia, dalam hal ini Kementrian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Perlukah untuk di ubah ?
Dalam beberapa kesempatan pernah muncul beberapa pihak yang mengusulkan tentang harus dirubahnya registrasi PK bagi pesawat terbang yang beroperasi atau terdaftar di Indonesia. Alasaannya adalah agar kita tidak lagi menggunakan PK yang arti harfiahnya adalah negara jajahan. Sebuah usulan yang sangat masuk akal karena Indonesia sudah sejak tahun 1945 tidak lagi berstatus sebagai Negara Jajahan. Entah apa yang menjadi penyebabnya, usulan tersebut hingga sekarang tidak pernah terwujud. Institusi yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi registrasi PK adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjenperhubud) selaku otoritas penerbangan nasional yang diakui sah oleh ICAO.
Apabila ide untuk menyesuaikan registrasi PK muncul kembali akhir akhir ini, maka hal pertama yang harus dikerjakan adalah menanyakan terlebih dahulu kepada pihak berwenang. Dalam hal ini adalah Ditjen Perhubud. Harus diketahui terlebih dahulu tentang mengapa sampai dengan sekarang ini kita masih menggunakan registrasi PK. Logikanya adalah beberapa saat setelah NKRI berdaulat maka regsitrasi PK sudah harus disesuaikan. Konon tersebar berita bahwa telah ada Upaya merubah Registrasi PK menjadi RI dan “gagal” karena RI sudah menjadi registrasi pesawat terbang sipil Rusia. Apabila benar demikian , pertanyaan yang mucul adalah mengapa Upaya itu terhenti begitu saja. Sekali lagi harus di selidiki tentang mengapa registrasi PK, realitanya masih bertahan sampai sekarang.
Melihat kenyataan di lapangan ternyata registrasi pesawat terbang sipil sebuah negara tidak ada ketentuan baku dari ICAO harus identik dengan nama negara atau singkatannya. Dalam hal ini berarti tidak ada pedoman standar tentang ketentuan nama registrasi pesawat terbang sipil sebuah negara. Lebih jauh lagi ICAO sebagai badan dunia yang mengkoordinasikan penerbangan sipil global tidak pernah terdengar mempersoalkan tentang registrasi PK yang hingga kini tetap digunakan oleh Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka dan bukan negara jajahan lagi. Indonesia sudah tidak lagi berstatus Pay Kolonie.
Berikutnya lagi, apabila ide merubah regsitrasi PK muncul kembali, maka pertanyaan yang akan mengiringinya adalah tentang apakah ada persoalan prinsip yang dihadapi atau akan dihadapi dunia penerbangan Indonesia dengan registrasi PK itu. Apabila tidak ada persoalan apapun yang dihadapi atau akan dihadapi dengan registrasi PK maka upaya untuk merubahnya akan dipandang sebagai sia sia. Paling tidak upaya yang akan membutuhkan tenaga dan biaya yang tidak sedikit itu akan dilihat sebagai belum menjadi prioritas utama. Indonesia sebagai sebuah negara besar berbentuk kepulauan terletak dalam posisi strategis, berpenduduk padat dan kaya dengan sumber daya alam sangat membutuhkan sebuah sistem perhubungan udara yang mapan.
Indonesia dalam hal menjaga eksistensinya sangat tergantung dengan sistem perhubungan dan komunikasi terutama dalam domain atau matra udara. Ini yang merupakan prioritas utama bila kita akan membenahi dunia penerbangan sipil nasional. Indonesia membutuhkan jejaring perhubungan udara bagi aspek pertahanan keamanan negara dan juga dalam perspektif menuju kesejahteraan rakyatnya. Wilayah udara nasional sebagai sumber daya alam, sesuai amanat konstitusi harus di kuasai negara dan diperuntukkan bagi sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat.
Kembali kepada sistem perhubungan udara dalam hal ini pengelolaan penerbangan sipil komersial harus dipikirkan setidaknya dua hal yang utama. Jejaring penerbangan sipil yang diperuntukkan bagi sektor pelayanan masyarakat untuk angkutan barang dan penumpang serta alur distribusi logistik (sembako) nasional dan jejaring perhubungan udara sebagai entitas bisnis yang menjanjikan. Setidaknya Indonesia sudah harus memiliki maskapai penerbangan milik pemerintah yang terbagi dalam melayani kota kota besar di dalam dan luar negeri. Maskapai yang melayani angkutan Haji dan Umroh. Maskapai yang melayani rute penerbangan perintis di kota kota terpencil terutama pada kawasan perbatasan negara. Maskapai penerbangan Kargo untuk dukungan angkutan kebutuhan bahan pokok keseluruh penjuru tanah air. Maskapai penerbangan Charter bagi dukungan para investor sumber daya alam baik dalam dan dari luar negeri. Indonesia sebagai negara yang sangat luas dipastikan akan tetap memiliki alokasi yang cukup bagi pihak swasta nasional yang akan membangun bisnis dalam jasa angkutan udara domestik.
Titik pentingnya adalah jejaring perhubungan udara strategis dalam dan luar negeri tetap harus menjadi kewajiban pemerintah untuk mengelolanya sesuai amanat konstitusi, mensejahterakan rakyat banyak. Tidak seperti yang terjadi sekarang ini, dimana jejaring perhubungan sipil komersial cenderung dikuasai penuh oleh pihak swasta. Disisi lainnya ketika terjadi bencana alam dan saat negara berada dalam ancaman perang, maka jajaran penerbangan sipil sudah otomatis dapat berperan sebagai komponen Cadangan dari sistem pertahanan keamanan negara.
Demikianlah, maka ide untuk merubah registrasi PK bagi jajaran penerbangan sipil Indonesia, kiranya dapat sejalan dengan prioritas utama dalam pengelolaan jejaring perhubungan udara nasional dan internasional.
Bung Karno mengatakannya dengan Ambeg Paramarta.
Jakarta 29 April 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia