Pemerintah telah memutuskan untuk mengurangi jumlah International Airport dari 34 menjadi “hanya” 17 saja. Banyak pertanyaan muncul tentang kenapa International Airport harus dikurangi. Kenapa pula International Airport bisa terlanjur menjadi banyak sekali hingga berjumlah 34 Bandara. Konon ada jawaban sederhana tentang mengapa International Airport sempat berjumlah 34 bandara. Beberapa pihak mengatakan, entah bergurau atau serius bahwa selama ini keberadaan International Airport rujukannya adalah Pilkada. Setiap kepala daerah, pada umumnya cenderung menggunakan isu International Airport sebagai salah satu bahan kampanye paling ampuh. Masyarakat pada umumnya memang merasa bangga bila daerahnya memiliki Bandara Internasional. Demikianlah, maka kemudian sempat tersadar bahwa International Airport sudah terasa “kebanyakan” dan sama sekali tidak efisien. Kira kira itulah yang menyebabkan kemudian International Airport harus segera “dikurangi” jumlahnya. Ini adalah hal biasa dan sudah menjadi tradisi kita yang terkadang bekerja tanpa perencanaan matang dan juga tanpa kajian kelayakan plus studi akademik, untuk sebuah keputusan strategik. Kita belum memiliki Think Tank, pusat kajian strategis khususnya untuk masalah penerbangan pada tingkat strategis. Kita sudah terlanjur terjebak dan sangat nyaman berada dalam pola pikir serta visi yang berputar hanya dalam siklus 5 tahunan saja. Siklus yang asik untuk dinikmati dari dinamika putaran Pilkada dan Pilpres yang penuh janji janji menggiurkan. Janji janji yang tinggal janji.
International Airport
Harus disadari bahwa International Airport atau bandara antar bangsa adalah merupakan pintu gerbang masuk kesebuah negara. Seperti halnya pintu masuk sebuah rumah, maka tidak ada rumah yang pintu masuknya dibangun pada setiap sisi dan atau sudut rumah. Karena International Airport adalah merupakan pintu gerbang masuk negara, maka sebenarnya International Airport adalah juga merupakan “batas negara”. Batas negara selalu menyimpan banyak kerawanan sebagai jalur keluar masuk apa saja dari dan ke luar negeri. Alur keluar masuk secara tidak sah atau illegal pasti akan selalu mencari pintu masuknya. Disinilah akan banyak penyelundupan barang dan orang terutama barang terlarang dan berbahaya seperti narkoba dan senjata. Itu sebab International Airport harus dilengkapi dengan Security Line yang berujud CIQ – Customs, Immigration and Quarantine dan jajaran Aviation Security Check. Intinya format sebuah International Airport akan mengandung banyak kerawanan berkait dengan National Security sehingga memerlukan pengawasan terus menerus dan ekstra ketat. Bandara Internasional sebagai pintu masuk negara merupakan salah satu titik rawan dalam aspek keamanan nasional. Kesemua itu pasti memerlukan biaya untuk dukungan peralatan dan sdm sesuai kebutuhan yang mengacu pada regulasi internasional. Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang membedakan International Airport dengan Bandara lainnya. Demikianlah maka keberadaan International Airport yang berfungsi sebagai pintu gerbang masuk kesebuah negara menjadi “tidak mungkin” untuk dibangun pada setiap pelosok negara. Keberadaan International Airport menghadapi kenyataan bahwa posisinya menghadapi keterbatasan tertentu berkait dengan National Security dan aspek efisiensi.
Bandara Domestik
Bandara domestik yang melayani rute penerbangan dalam negeri tidak boleh diberikan kepada maskapai penerbangan asing. Hal ini dikenal secara universal sebagai azas Cabotage. Rute penerbangan domestik menyimpan peran penting dalam upaya sebagai alat pemersatu bangsa. Rute penerbangan domestik, analoginya adalah laksana peran Busway dan KAI di Jabodetabek. Rute penerbangan dalam negeri utamanya harus diselenggarakan oleh negara dengan tanpa menutup peran swasta sebagai lahan bisnis yang terbatas. Sama persis dengan Busway, KAI dengan bisnis Taxi online, Grab , Gojek dan lain lain. Rute penerbangan domestik harus dikelola negara sebagai unsur pelayanan masyarakat dan dukungan logistik untuk kebutuhan bahan pokok plus kebutuhan tata kelola administrasi pengelolaan roda kepemerintahan. Disisi lain rute penerbangan dalam negeri dapat dibuka untuk keperluan bisnis jasa angkutan udara pihak swasta yang bersifat komplementer.
Untuk keperluan turisme, maka para wisatawan dari luar negeri hanya dapat masuk melalui pintu gerbang utama negara berupa International Airport. Setelah melalui saringan keamanan nasional, mereka dapat melanjutkan dengan lebih santai pada penerbangan rute domestik menuju daerah tujuan wisata yang dikehendaki. Pada titik inilah dibutuhkan taktik, strategi dan kiat profesionalitas pengelolaan National Tourism. Tata kelola wisata dalam manajemen keterpaduan jejaring rute penerbangan Internasional dan nasional bagi kemudahan para turis untuk menuju daerah wisata pilihannya. Manajemen keterpaduan dalam pengelolaan wisata yang memudahkan turis berkunjung sekaligus memberikan keuntungan bagi jasa angkutan udara dalam negeri. Jadi bukan dengan cara membuka saja International Airport pada setiap daerah tujuan wisata. Mengelola domain pariwisata dalam negeri memang memerlukan kecerdasan untuk sebuah penyelenggaraan dan pengelolaan tujuan wisata yang professional. Harus pandai pandai dalam mengemas paket kunjungan wisata yang menarik seperti rangkaian wisata air atau wisata alam/pegunungan misalnya. Sekali lagi tidak hanya sekedar memfasilitasi dengan membangun sebuah International Airport pada setiap daerah tujuan wisata. Dapat dibayangkan betapa rumitnya membangun International Airport di kawasan wisata Raja Ampat misalnya.
Lebih jauh dari itu, Wilayah Udara Nasional adalah merupakan Sumber Daya Alam yang diamanatkan oleh konstitusi harus dikuasai negara dan diperuntukkan bagi semaksimal kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk keuntungan segelintir elit negeri.
Jakarta 30 April 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia