Carut marutnya dunia penerbangan Indonesia belakangan ini terlihat antara lain tentang penentuan International Airport dan Domestik. Penggunaan Pangkalan Angkatan Udara Halim yang berstatus Markas Besar Pertahanan Udara Nasional digunakan sebagai Bandara penerbangan sipil komersial, wilayah terbatas bagi instalasi pertahanan negara telah berubah menjadi kawasan publik yang terbuka. Pembangunan beberapa International Airport yang mubazir antara lain Kertajati. Bubarnya maskapai penerbangan milik pemerintah seperti Merpati Nusantara Airlines dan kesulitan keuangan parah yang dialami secara berkala oleh Maskapai pembawa bendera Garuda Indonesia. Munculnya banyak keluhan mahalnya harga tiket pesawat terbang dalam negeri dan lain lain.
Salah satu penyebabnya adalah mekanisme keputusan strategis di tingkat nasional di bidang penerbangan yang kurang memperoleh masukan dari pihak yang berkompeten, disamping tidak ditopang oleh kajian akedemik dan kurang terkoordinasi antar lembaga terkait. Demikian pula tentang tidak terpadunya pengelolaan penerbangan sipil dan militer.
Sebenarnya perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam membangun sistem kedirgantaraan nasional sudah diantisipasi, termasuk banyak hal yang berakait dengan carut marut yang sekarang ini terjadi. Salah satu tonggak penting dalam proses tersebut adalah sudah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1955 tentang Dewan Penerbangan, yang menjadi pijakan awal pembentukan suatu lembaga koordinatif nasional di bidang penerbangan. Di tengah situasi politik dan keamanan yang masih labil pada masa awal kemerdekaan, regulasi ini menjadi bukti awal kesadaran pemerintah Indonesia tentang pentingnya pengelolaan dan pengawasan terhadap aktivitas penerbangan, baik sipil maupun militer.
Isi Pokok Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1955
Peraturan Pemerintah ini menetapkan pembentukan sebuah badan bernama Dewan Penerbangan, yang bertugas memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang segala hal yang berhubungan dengan penerbangan. Berdasarkan pasal-pasal dalam PP tersebut, fungsi utama Dewan Penerbangan mencakup:
- Memberikan nasihat kepada pemerintah mengenai perencanaan dan penyelenggaraan penerbangan sipil dan militer;
- Menyusun rencana kerja tahunan yang mencakup aspek teknis, operasional, dan administratif;
- Melakukan koordinasi lintas sektor, khususnya antara instansi pertahanan dan komunikasi;
- Menjadi forum komunikasi strategis antara seluruh instansi yang terkait dengan kegiatan penerbangan.
Keanggotaan Dewan terdiri dari wakil-wakil dari berbagai kementerian dan lembaga, antara lain: Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, serta unsur Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Penunjukan Ketua Dewan dilakukan oleh Presiden, yang menunjukkan bobot dan peran penting Dewan ini dalam konteks kebijakan negara.
Lembar Penjelasan:
Lembar penjelasan yang menyertai PP No. 5/1955 menekankan bahwa pembentukan Dewan Penerbangan merupakan langkah strategis dan mendesak mengingat perkembangan pesat penerbangan internasional serta pentingnya pengaturan lalu lintas udara nasional yang efektif dan terkoordinasi. Dalam penjelasan tersebut disebutkan pula bahwa tugas Dewan bersifat “penasihat,” bukan “eksekutif,” yang artinya tidak mengambil alih fungsi instansi teknis, namun justru memperkuat sinergi antar lembaga. Penjelasan tersebut juga menyoroti kebutuhan Indonesia untuk memiliki suatu sistem pengambilan keputusan yang terintegrasi di bidang penerbangan. Tanpa koordinasi yang kuat, kegiatan penerbangan bisa menjadi sumber konflik antara kepentingan sipil dan militer, atau antara keamanan dan efisiensi komersial. Inilah antara lain yang kesemuanya terjadi dan kita saksikan dan alami bersama belakangan ini.
Konstelasi Strategis dan Urgensi Dewan Penerbangan
Pada tahun 1955, Indonesia masih dalam tahap awal membangun infrastruktur pertahanan dan transportasi udara. Dalam konteks ini, PP No. 5 Tahun 1955 mencerminkan langkah antisipatif terhadap dinamika internasional, seperti makin meluasnya lalu lintas udara dan perlunya perlindungan terhadap ruang udara nasional. Terlebih lagi, pada masa tersebut, Indonesia belum memiliki otoritas tunggal yang mengatur penerbangan secara terpadu. Oleh karena itu, pembentukan Dewan Penerbangan adalah respons administratif terhadap kebutuhan negara untuk menghindari fragmentasi kebijakan udara.
Selain itu, keberadaan Dewan juga menjadi bagian dari upaya awal untuk membangun air power nasional yang berdaulat, melalui pendekatan kolektif yang melibatkan semua elemen strategis, baik sipil maupun militer. Dewan ini dapat dianggap sebagai embrio dari kebijakan strategis pertahanan udara nasional yang kelak berkembang melalui institusi-institusi seperti Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Implikasi Hukum dan Tata Kelola Penerbangan
Dari perspektif hukum tata negara, PP ini memperlihatkan bagaimana negara menggunakan instrumen hukum untuk mengatur sektor vital yang lintas sektor dan menyangkut kedaulatan. Di sisi lain, dari perspektif tata kelola pemerintahan, kehadiran Dewan Penerbangan menjadi cikal bakal pengaturan sistem penerbangan yang tidak semata-mata berorientasi teknis, tetapi juga politis dan strategis.
Dalam jangka panjang, PP ini menjadi preseden bagi pembentukan badan-badan lain seperti Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan LAPAN serta mendorong Indonesia untuk aktif dalam forum internasional seperti ICAO. Dewan ini juga menunjukkan bahwa sejak awal, Indonesia memiliki kesadaran bahwa penerbangan bukan sekadar urusan transportasi, tetapi berkaitan erat dengan pertahanan, kedaulatan, dan martabat negara.
Demikianlah, Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1955 tentang Dewan Penerbangan merupakan instrumen hukum yang memiliki nilai historis dan strategis dalam pembangunan sistem kedirgantaraan nasional Indonesia. Ia mencerminkan upaya awal pemerintah dalam menciptakan tata kelola penerbangan yang terkoordinasi dan berorientasi pada kedaulatan. Di era modern, ketika ruang udara menjadi arena strategis dalam geopolitik global, semangat yang terkandung dalam PP ini masih tetap relevan—yaitu pentingnya sinergi antar-lembaga dan perlunya pandangan strategis dalam mengelola udara nasional. Sayang beribu sayang kita tidak mengetahui lagi dimana keberadaan Dewan Penerbangan yang dibentuk tahun 1955 itu. Maka tidak heran bila kemudian carut marut pengelolaan penerbangan nasional belakangan ini memang menjadi wajar saja terjadi. Persoalan utama adalah bagaimana untuk memulai perbaikan dunia penerbangan sekarang ini. Dunia penerbangan dan kedirgantaraan yang terlihat tidak dikelola dengan benar. Keputusan Strategis bidang penerbangan yang kemajuan teknologinya sangat pesat selama ini tidak didukung rekomendasi dari pihak yang memiliki kompetensi dan tidak pula berlandas pada kajian akademik. Sebagai catatan akhir adalah begitu pula yang menyangkut dengan pendelegasian wilayah udara strategis – crtitical border di kawasan Selat Malaka yang di delegasikan wewenang pengelolaannya kepada negara lain untuk 25 tahun dan akan diperpanjang. Sebuah keputusan yang kurang jelas maksud dan tujuannya, keputusan strategis yang kurang memperoleh atau mendengarkan masukan dari mereka yang kompeten. Keputusan yang pasttti tidak memperoleh rekomendasi dari Dewan Penerbangan RI.
Jakarta 20 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia