counter create hit
ArticleAviationFlightFlight Commercial

Kecelakaan Pesawat Terbang

Sejak 10 tahun lalu, di Indonesia saja, dua pesawat terbang “sangat baru” dari keluarga jenis Boeing B-737 mengalami kecelakaan fatal. Lion Air JT-904 pada April 2013 masuk laut sesaat akan mendarat di Bali dan pada November 2018 Lion Air JT-610 tujuan Pangkal Pinang masuk laut 12 menit setelah take off dari Soekarno-Hatta International Airport. Mengapa dan bagaimana bisa pesawat terbang modern produk baru tetap saja bisa mengalami kecelakaan yang fatal.

Pesawat terbang adalah merupakan produk dari sebuah teknologi mutakhir yang setiap saat mengalami banyak sekali penyempurnaan dari waktu ke waktu. Pertanyaannya adalah sekali lagi tentang mengapa kecelakaan pesawat terbang, walaupun sudah banyak berkurang, akan tetapi tetap saja terjadi.

Kecerobohan dan atau kelalaian yang sering dibungkus dengan terminologi keren berlabel “human error” memang sudah menjadi persepsi umum bagi sebagian besar faktor penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang.  Pertanyaan selanjutnya, sekali lagi adalah mengapa setelah dilakukannya banyak sekali penyempurnaan dalam teknologi penerbangan kecelakaan tetap saja tidak bisa dihindari. Pada 6 Juli 2013 pesawat terbang Boeing B-777-200ER Asiana Airlines flight 214 mengalami kecelakaan saat akan mendarat di San Fransisco International Airport. Tiga orang meninggal dunia, 181 luka-luka dan 304 lainnya selamat.   The New York Times edisi 24 Juni 2014 memuat penjelasan NTSB (National Transportation Safety Board) tentang kecelakaan tersebut. NTSB berpendapat bahwa kecelakaan terjadi karena pilot terlalu banyak mengandalkan mekanisme pengendalian otomatis dari pesawat, akan tetapi sebenarnya dia tidak cukup menguasai dengan baik anatomi dari keseluruhan sistem otomatis tersebut bekerja.  NTSB menambahkan pula bahwa kecelakaan tersebut telah memunculkan pertanyaan besar terhadap sistem otomatis yang seharusnya bertujuan meningkatkan keselamatan terbang dan sangat membantu dalam penerbangan jarak jauh. Namun pada kenyataannya sistem itu justru telah menurunkan “basic pilot flying skills”.

Dalam kasus Asiana Airlines, pilot seharusnya melakukan pendekatan manual untuk mendarat pada saat itu.   Hal tersebut  karena ILS (Instrument Landing System – Alat Bantu Pendaratan Otomatis) di San Fransisco International Airport tidak berfungsi karena tengah berada dalam siklus perawatan rutin.  Sementara kondisi cuaca pada saat itu cukup baik alias terang benderang,  sehingga siklus pendaratan dapat dilakukan secara visual dan manual.

FAA (Federal Aviation Administration) beberapa tahun lalu baru saja merilis sebuah laporan setebal 279 halaman yang merupakan hasil penelitian Panjang dari sebuah “working group” dengan topik “Pilot addicted to Automation”.   Dikatakan antara lain : “The FAA reports stresses the risk that future accidents could occur as comercial airline pilots become overly reliant on automated computer system in the cockpit and lose their hands on, manual flying skills”.  Kebiasaan yang terlalu mengandalkan sistem otomatis telah menarik perhatian para ahli sebagai salah satu penyebab yang dominan dari terjadinya kecelakaan pesawat terbang modern. Lebih jauh lagi mengenai hal ini, ternyata NASA (National Aeronautics and Space Administration), badan penerbangan dan antariksa Amerika Serikat telah pula membiayai jutaan dollar bagi sebuah penelitian  intensif bekerjasama dengan IOWA University yang memakan waktu lebih dari 3 tahun dalam topik masalah hubungan pilot, sistem otomatis dan kecelakaan pesawat terbang.

Dr Thomas Mach Schnell, seorang guru besar dalam Industrial Engineering dengan spesialisasi human factor yang memimpin tim riset itu menjelaskan bahwa ketergantungan yang berlebihan terhadap sistem otomatis telah menurunkan dan banyak mengganggu konsentrasi pilot dalam menerbangkan pesawat. Dia juga menambahkan, bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa para pilot pesawat modern telah menjadi sangat tergantung pada sistem otomatis di kokpit.  Studi tersebut juga memberikan hasil penemuannya bahwa 60% dari kecelakaan yang terjadi belakangan ini ternyata disebabkan karena kesalahan dalam mengoperasikan “flight management computer”.   Sebuah hasil penelitian yang sulit dibantah kecuali dengan melakukan penelitian pula.

Seorang pakar NTSB menerangkan bahwa banyak Pilot yang menerbangkan pesawat terbang modern sangat mahir dalam mengoperasikan sistem otomatis dalam mengendalikan pesawat akan tetapi banyak yang kurang mengenal dengan baik anatomi dari bagaimana sistem otomatis itu bekerja. Artinya, banyak Pilot yang kurang dapat memahami dan menghayati dengan benar kapan atau bila saatnya terbang dengan menggunakan sistem otomatis dan bila saatnya pesawat terbang harus dikendalikan dengan cara manual atau hands on.

Berikutnya ada kasus yang cukup menarik dari dua kecelakaan pesawat terbang modern Boeing 737-8 Max Lion Air 29 Oktober 2018 dan Ethiopian Airlines 10 Maret 2019.   Dua kecelakaan dari pesawat yang sama jenisnya dan dalam kurun waktu yang hanya lebih kurang 5 bulan telah memunculkan banyak kontroversi beda pendapat yang hingga kini belum juga berakhir.    Catatannya adalah bahwa pada kasus dua kecelakaan pesawat Boeing 737-8 Max tersebut, terbukti bahwa selain terjadi gap atau kesenjangan dari laju kemajuan teknologi penerbangan dengan metoda pendidikan dan latihan sdm yang akan mengawakinya, ternyata  terdapat faktor lain yang muncul belakangan.   Faktor itu adalah kurang adanya komunikasi antara pabrik pembuat pesawat dengan operator dan atau Maskapai Penerbangan dalam hal ini para Pilot dan Teknisi calon pengguna di lapangan dalam proses produksinya.   Kasus Boeng 737 Max 8 pada akhirnya telah memaksa pihak pabrik dan juga otoritas penerbangan untuk melakukan komunikasi yang lebih intens dengan user dalam hal ini para Pilot dan Teknisi yang akan mengawakinya.  Pola laju kemajuan teknologi yang diterapkan dalam dunia penerbangan terutama pada sistem kendali pesawat terbang, mau tidak mau memang harus dikomunikasikan jauh lebih awal pada sebelum pesawat terbang beroperasi.   Dalam hal ini, kasus B-737 Max 8 telah memberikan pelajaran yang sangat mahal untuk dibayar dalam proses modernisasi teknologi pesawat terbang.

Demikianlah, maka penggunaan pesawat terbang produk kemajuan teknologi mutakhir tetap saja akan selalu berhadapan dengan potensi kemungkinan terjadinya kecelakaan yang mengiringinya.   Sebuah tanda dari proses modernisasi sistem angkutan udara global yang memang masih belum mencapai titik kesempurnaan.

Jakarta 12 Januari 2023

Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Check Also
Close
Back to top button