DI tengah-tengah hiruk pikuknya Indonesia yang tengah menghadapi begitu banyak masalah yang terbengkalai, mulai dari tawuran anak-muda, mahasiswa berkelahi, perselisihan tak kunjung usai dari hasil pilkada, lumpur lapindo, amburadulnya lalu lintas, anjloknya Kereta Api setiap hari, bolak balik gelosornya pesawat terbang keluar landasan, beredarnya banyak amplop di DPR, kasus BLBI, pembunuhan mutilasi dan lain lain. Belum lagi pemberitaan yang sangat aneh, dari dominannya Amrozy cs yang menguasai ruang media cetak dan lebih-lebih media elektronik, membuat bingung orang , dia itu teroris pembunuh? Atau pahlawan? Juga pemberitaan tentang Syeh Puji yang kawin lagi dengan anak kecil, pertengkaran di mana-mana, semua saling menyalahkan dan menjelekkan orang lain.
Seolah tiada ada lagi nuansa intelektual, tidak ada lagi nuansa berbudaya, seolah semua orang telah menjadi munafik. Tidak ada lagi orang yang berkarakter, semua mau menang sendiri dengan caranya sendiri. Bingung, bingung dan bingung. Heboh, heboh dan heboh Semuanya terasa sudah menjelma menjadi “pos kota” (Koran terkenal dengan berita-berita yang bingung dan heboh).
Ternyata, pada tanggal 10 Nopember malam di salah satu hotel berbintang, saya menghadiri satu upacara atau acara yang menyejukkan hati. Saya merasa berada di Indonesia yang lain. Saya merasa begitu nyaman dan senang dihati. Kelompok anak muda yang menamakan dirinya “modernisator” telah melakukan satu terobosan yang patut dihargai dan wajib mendapatkan acungan jempol. Malam itu mereka dengan berani sekali menobatkan apa yang di istilahkan dengan “pahlawan masa kini”. Sebagian besar yang hadir atau di undang adalah para elit, tokoh-tokoh terkenal dan orang penting lainnya.
Saya sendiri sebenarnya hadir disitu, tidak sebagai orang yang di undang oleh “modernisator”. Saya diminta hadir oleh sahabat dekat saya “Jenderal Endriartono Soetarto” untuk datang menemaninya, karena beliau adalah salah satu yang akan dinobatkan menjadi “pahlawan masa kini”. Saya ditunjuk beliau sebagai orang dekatnya yang akan memberikan penjelasan tentang diri beliau, tentang mengapa beliau “pantas” untuk memperoleh predikat sebagai “pahlawan masa kini”.
Malam itu benar-benar saya merasa di “luar negeri”, di Indonesia yang lain. Dimalam itu suasana hangat dan bergelora penuh semangat dengan uraian ide yang disampaikan oleh “modernisator” dalam menatap Indonesia ke depan. Jauh dari nuansa yang saling menjelekkan satu dengan lainnya. Yang muncul adalah hamparan harapan penuh optimisme menuju Indonesia Maju. Di malam itu dihadirkan “pahlawan masa kini” yang telah bekerja heroik, tanpa pamrih.
Ada Butet yang keluar masuk pedalaman mengajar anak-anak suku terasing. Ada suster apung, ada Dr Suryo yang pulang dari Amerika tempatnya bekerja dengan penghasilan besar dan mau pulang ke Indonesia hanya untuk bekerja keras membina anak muda berbakat tanpa pamrih dan telah menciptakan anak-anak Indonesia cerdas peraih medali emas dalam perbagai perlombaan fisika. Dan beberapa lagi “the few good man” yang memperoleh gelar “pahlawan masa kini” dengan criteria yang disusun oleh “modernisator.
Malam itu benar-benar hati saya terasa sangat terhibur dan menumbuhkan kembali semangat dan optimism yang sudah nyaris pudar. Malam itu dihadirkan ada orang-orang Indonesia yang penuh dedikasi dan loyalitas serta semangat tinggi, tanpa menghiraukan hiruk pikuk disekitarnya terus saja bekerja untuk Indonesia. Malam itu juga dihadirkan anak-anak Indonesia kebanggaan bangsanya yang telah meraih “the best” di tingkat dunia, dan juga peta jalan sejumlah anak-anak lainnya yang akan menempuh perjalanan menuju peraih hadiah nobel. Malam itu dihadirkan satu nuansa yang sangat langka saat ini, yaitu nuansa “menghargai orang lain” dan menampilkan orang-orang yang “berkarakter” .
Bukan main, luar biasa, merinding bulu kuduk saya penuh berbunga-bunga kebanggaan diri sebagai bangsa Indonesia. Pendek kata, saya benar-benar merasa di Indonesia yang lain. Satu ide yang sangat spektakuler dari kelompok anak muda “modernisator” dalam upaya nya mengisi hari pahlawan 10 Nopember.
Acara ini akan lebih sempurna , bila di organisir lebih baik lagi, seperti saat pendaftaran kedatangan tamu yang tersendat, urutan acara yang harusnya juga dikemas lebih baik lagi agar tidak terjadi, acara belum selesai, ruangan telah nyaris kosong, serta penyebutan nama para “pahlawan masa kini ” yang salah-salah. Diluar semua itu “bravo !” selamat untuk “modernisator”, maju terus , lanjutkan , membangun Indonesia yang lain, membangun Indonesia seperti “luar negeri” ! Selamat bekerja dan sukses!