Oleh: Chappy Hakim
Tahun 1968 menandai kemunculan sebuah buku yang tak biasa. Ditulis oleh seorang warga Swiss bernama Erich von Däniken, Chariots of the Gods? menggugah perhatian dunia dengan gagasan mencengangkan bahwa pencapaian menakjubkan berbagai peradaban kuno mulai dari pembangunan piramida hingga relief misterius di Amerika Latin tidak mungkin sepenuhnya hasil tangan manusia. Sebaliknya, ada kemungkinan bahwa “pengunjung dari langit”, yakni makhluk cerdas luar angkasa, turut membantu. Gagasan ini bukan hanya mengejutkan, tapi juga memikat. Di tengah euforia penjelajahan ruang angkasa dan ketegangan Perang Dingin, masyarakat global haus akan narasi baru narasi yang melampaui batas bumi dan membuka kemungkinan akan “masa lalu lain” yang selama ini terabaikan.
“Astronot Kuno” dan Ledakan Imajinasi Populer
Von Däniken membangun premisnya melalui pendekatan visual dan interpretasi bebas terhadap artefak kuno. Ia merujuk pada lukisan-lukisan gua, konstruksi arsitektur raksasa, dan peta langit purba sebagai bukti tidak langsung bahwa peradaban manusia mendapat bantuan dari makhluk cerdas yang datang dari luar bumi. Ia bertanya: bagaimana mungkin manusia ribuan tahun lalu mampu membangun struktur seperti piramida dengan presisi matematis tanpa alat modern? Sebagian orang menyambut ide ini dengan rasa takjub, bahkan menyamainya dengan wahyu modern. Namun di kalangan ilmiah, gagasan tersebut menuai penolakan keras. Prof. Kenneth Feder, seorang arkeolog dan penulis buku Frauds, Myths, and Mysteries, menyebut teori semacam ini sebagai bagian dari arkeologi semu. Ia mengingatkan bahwa keterbatasan pengetahuan kita tidak boleh dijadikan pembenaran untuk menciptakan penjelasan fantastis. “Jika kita tidak memahami bagaimana leluhur kita membangun sesuatu, itu adalah tantangan bagi ilmu pengetahuan untuk mencari tahu lebih dalam bukan alasan untuk melibatkan alien,” tulis Feder dalam edisi terbaru bukunya.
Sains vs Imajinasi
Sejumlah pakar juga menyebut von Däniken telah mengaburkan batas antara mitologi dan sains. Contohnya adalah tafsir von Däniken terhadap relief di situs Palenque, Meksiko, yang menurutnya menggambarkan manusia mengendarai “mesin terbang”. Padahal menurut David Stuart, pakar epigrafi peradaban Maya dari University of Texas, gambar itu justru mencerminkan kosmologi kematian raja yang sedang memasuki alam baka sesuai tradisi kepercayaan lokal mereka, bukan pilot UFO. Di sisi lain, ahli astronomi terkemuka seperti Carl Sagan tidak sepenuhnya menolak kemungkinan adanya kehidupan cerdas di luar bumi, tetapi menekankan bahwa klaim luar biasa semacam itu harus dibuktikan dengan data yang juga luar biasa kuat. Bagi Sagan, menggabungkan sains dengan fiksi boleh-boleh saja, asalkan tidak menjadikan fiksi sebagai kesimpulan ilmiah. “Klaim yang luar biasa membutuhkan bukti yang luar biasa,” kata Sagan dalam karyanya Cosmos sebuah kalimat yang kini telah menjadi adagium dalam komunitas sains.
Nusantara dan Imajinasi Kosmik Leluhur
Yang menarik, imajinasi akan kendaraan langit bukan hanya milik bangsa Maya atau Mesir Kuno. Di Nusantara, mitologi tentang kereta terbang juga terekam dalam naskah-naskah kuno seperti Ramayana, yang menyebut kendaraan terbang bernama Pushpaka Vimana. Kisah tersebut bukan sekadar cerita fantasi, tetapi mencerminkan kompleksitas pemikiran kosmologis masyarakat kuno di wilayah ini. Sebagian pembaca Chariots of the Gods? di Indonesia bahkan mulai mengaitkan peninggalan budaya seperti Borobudur atau Candi Prambanan dengan jejak teknologi maju zaman purba. Meski belum ada bukti arkeologis yang mendukung hal itu, narasi semacam ini tetap hidup dan memberi warna dalam diskursus budaya populer.
Antara Kritis dan Terbuka
Walaupun telah dibantah dari sisi akademik, Chariots of the Gods? tetap menjadi karya yang berhasil mengguncang status quo sejarah. Ia tidak perlu dibaca sebagai kebenaran final, tapi sebagai provokasi intelektual yang mengingatkan kita bahwa sejarah tidak pernah benar-benar selesai ditulis. Dalam konteks pembelajaran publik, buku ini punya peran penting membangkitkan rasa ingin tahu. Dan dari rasa ingin tahu itulah, semua pencapaian besar manusia berawal. Jika satu buku bisa membuat jutaan orang menoleh ke langit dan bertanya, maka buku itu sudah menjalankan perannya dengan baik entah kita setuju dengan isinya atau tidak.
Unidentified Flyinh Objects
Salah satu dampak paling signifikan dari Chariots of the Gods? adalah bagaimana buku ini mengaburkan batas antara sejarah kuno dan fenomena modern seperti UFO. Von Däniken secara eksplisit mengaitkan “domba langit” yang disebut dalam berbagai kitab suci dan prasasti kuno dengan unidentified flying objects yang sering dilaporkan masyarakat pada abad ke-20. Dalam narasi tersebut, UFO bukanlah teknologi asing baru, melainkan kelanjutan dari “kunjungan makhluk cerdas” yang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Teori ini lalu menjadi fondasi bagi berbagai spekulasi tentang “UFO purba” (ancient UFOs), yaitu gagasan bahwa apa yang dahulu dianggap sebagai dewa atau malaikat sesungguhnya adalah pilot dari wahana luar angkasa. Hubungan ini semakin diperkuat dengan meningkatnya laporan penampakan UFO setelah Perang Dunia II, terutama sejak insiden Roswell 1947, yang kemudian dibaca ulang oleh sebagian publik sebagai bagian dari skenario besar tentang kehadiran alien yang sudah lama membaur dalam sejarah manusia. Dengan demikian, Chariots of the Gods? tidak hanya memengaruhi cara kita melihat masa lalu, tetapi juga membentuk cara kita menafsirkan realitas kontemporer seputar UFO sebagai fenomena global yang melintasi ruang dan waktu.
Langit sebagai Ruang Tempat Bertanya
Sebagai seorang penerbang, saya percaya bahwa langit bukan hanya tempat kita menavigasi pesawat, tetapi juga wilayah imajinasi. Langit menyimpan misteri, dan kadang jawaban atas misteri itu tidak bisa langsung ditemukan dalam buku teks. Maka, Chariots of the Gods?, dengan segala kontroversinya, adalah bagian dari perjalanan intelektual manusia untuk memahami tempatnya di alam semesta. Apakah kita sendirian di jagat raya ini? Atau mungkinkah, pada masa lalu, bumi pernah disapa oleh “penumpang langit” yang menyisakan jejak samar di balik batu-batu kuno? Tidak ada yang tahu pasti. Namun selama kita masih bertanya, berarti kita masih bergerak maju. Dan selama langit masih biru, kita akan selalu punya alasan untuk mendongak dan bermimpi dan bertanya.
Daftar Pustaka
- von Däniken, Erich. Chariots of the Gods? Souvenir Press, 1968.
- Feder, Kenneth L. Frauds, Myths, and Mysteries: Science and Pseudoscience in Archaeology. Oxford University Press, 2017.
- Stuart, David. The Order of Days: The Maya World and the Truth About 2012. Harmony Books, 2011.
- Sagan, Carl. Cosmos. Random House, 1980.
- Sepehr, Dariush. “Ancient Astronaut Theories and Pseudoarchaeology.” Journal of Scientific Exploration, Vol. 30, No. 4, 2016.
Jakarta 4 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia