Oleh: Chappy Hakim
Wilayah Udara Indonesia adalah bentangan biru yang luas, menghampar dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote. Di atas hamparan ini, bukan hanya awan dan cahaya mentari yang lalu-lalang, melainkan juga kepentingan nasional, kedaulatan, dan kehormatan bangsa. Dalam konteks itulah, pembelian pesawat tempur Rafale oleh pemerintah Indonesia bukan sekadar belanja alutsista. Ia adalah pernyataan sikap. Ia adalah ikhtiar untuk menjaga langit Ibu Pertiwi agar tak lagi menjadi jalan tol bagi siapa saja yang hendak melintas seenaknya.
Rafale: Bukan Sekadar Pesawat Tempur
Dassault Rafale adalah jet tempur generasi 4.5 yang lahir dari dapur teknologi tinggi Prancis. Multi-role fighter ini memiliki kemampuan tempur udara-ke-udara, udara-ke-darat, superioritas udara, intelijen pengintaian, dan penyerangan strategis. Rafale tidak hanya cepat dan lincah, tetapi juga mampu membawa berbagai jenis rudal, termasuk rudal jarak jauh seperti SCALP-EG dan Meteor, serta sistem peperangan elektronik Spectra yang mutakhir. Dengan desain sayap delta dan canard, pesawat ini juga mampu lepas landas dari runway pendek — sangat cocok untuk geografi Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan landasan udara terpencil.
Dalam perjanjian dengan Prancis yang ditandatangani pada Februari 2022, Indonesia memesan total 42 unit Rafale, dan pada tahap pertama sudah resmi mengakuisisi 6 unit. Sisanya akan datang bertahap. Tidak hanya pesawat, kesepakatan itu juga mencakup pelatihan pilot, transfer teknologi, pembangunan fasilitas MRO (Maintenance, Repair, and Overhaul), serta rencana kerja sama industri pertahanan.
Mengapa Indonesia Membeli Rafale?
Pertanyaan yang wajar muncul di tengah masyarakat: mengapa membeli Rafale, dan bukan pesawat lain seperti F-16V, Su-35, atau bahkan KF-21 Boramae buatan Korea Selatan? Jawabannya ada pada tiga faktor utama: politik luar negeri, kesiapan teknologi, dan kepentingan strategis.
Pertama, Indonesia sedang berupaya menjaga keseimbangan hubungan pertahanan antara Barat dan Timur. Kita tidak ingin terlalu bergantung pada satu blok tertentu. Dengan membeli Rafale dari Prancis—yang secara tradisional lebih independen dibanding Amerika Serikat atau Rusia—Indonesia menunjukkan sikap bebas aktif dalam berpolitik luar negeri. Langkah ini juga menghindarkan kita dari risiko embargo senjata, seperti yang pernah terjadi saat kita mengoperasikan armada F-5 dan F-16 di masa lalu.
Kedua, dari sisi teknologi, Rafale adalah paket lengkap. Ia sudah teruji dalam berbagai operasi militer seperti di Libya, Mali, dan Suriah. Sementara rencana pembelian pesawat lain seperti Su-35 dari Rusia tersandung sanksi CAATSA Amerika Serikat, dan proyek KF-21 Boramae masih dalam tahap prototipe. Rafale tersedia off-the-shelf dan siap operasional.
Ketiga, Indonesia membutuhkan pesawat tempur yang mampu menjawab tantangan geopolitik masa kini, terutama di kawasan Indo-Pasifik. Ketegangan di Laut Natuna Utara, pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing, hingga ancaman serangan jarak jauh yang tak terlihat, semuanya menuntut kesiapan armada Hanudnas (Pertahanan Udara Nasional) yang modern dan responsif.
Apa yang Diharapkan?
Dengan kehadiran Rafale, Indonesia berharap dapat:
- Meningkatkan daya tangkal (deterrence) di udara. Keberadaan Rafale di Pangkalan Udara strategis seperti Halim, Iswahjudi, atau Supadio akan membuat pihak mana pun berpikir dua kali sebelum melakukan pelanggaran wilayah udara RI.
- Membangun kemandirian pertahanan, terutama melalui offset agreement dan transfer teknologi. Dalam jangka panjang, Indonesia berharap Rafale menjadi pintu gerbang menuju kebangkitan industri pesawat tempur dalam negeri, melalui PT DI dan kerja sama dengan Prancis.
- Meningkatkan kemampuan TNI AU dalam operasi gabungan. Dengan sistem avionik canggih dan kemampuan integrasi dengan pesawat tanker serta radar nasional, Rafale menjadi aset penting dalam network-centric warfare.
- Menjadi katalis modernisasi militer Indonesia secara keseluruhan, tidak hanya pada level alutsista tetapi juga pada taktik, doktrin, pelatihan, dan strategi pertahanan berbasis teknologi tinggi.
Penutup: Langit Kita, Tanggung Jawab Kita
Langit Indonesia adalah milik kita sepenuhnya. Tapi milik saja tidak cukup. Kita harus menjaganya. Kita harus melindunginya. Karena sejarah telah menunjukkan bahwa kelemahan di udara selalu menjadi pintu masuk kehancuran dari darat dan laut. Dari Pearl Harbor, Kosovo, Baghdad, hingga Gaza — kekuatan udara adalah pembuka jalan bagi segala invasi.
Maka, ketika Indonesia membeli Rafale, yang dibeli sesungguhnya bukan hanya 42 unit pesawat. Tapi juga marwah. Kedaulatan. Dan komitmen untuk tidak lagi menjadi penonton di langit sendiri.
Rafale bukan akhir dari perjalanan. Ia adalah awal dari kebangkitan udara Indonesia. Sebab negeri kepulauan ini, sejatinya adalah negara udara — dan kekuatannya harus dimulai dari langitnya sendiri.
Namun perlu diingat: harapan itu akan sia-sia bila tidak diiringi dengan pembangunan sistem pertahanan udara nasional yang menyeluruh dan terpadu. Rafale hanya akan menjadi hiasan mahal di hanggar jika tidak didukung oleh jaringan radar yang modern, sistem komando dan kendali yang terintegrasi, serta kesiapan semua matra TNI dalam konsep pertahanan udara terpadu. Semua itu harus berjalan seiring dalam satu kesatuan sistem yang dikendalikan secara strategis—sesuai dengan arah kebijakan yang tertuang dalam Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia.
Dengan kata lain, kekuatan udara bukan hanya soal pesawat tempur. Ia adalah soal doktrin, sistem, dan komitmen nasional. Tanpa itu, langit Nusantara tetap rawan. Dan Rafale pun tak akan berarti banyak
Referensi
- Dassault Aviation. (2022). Rafale Multirole Fighter Jet. https://www.dassault-aviation.com
- Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2022). Siap Perkuat Hanudnas, RI Beli Rafale.
- Defense News. (2022). “Indonesia signs deal to buy 42 Rafale fighter jets from France”.
- Chappy Hakim. (2003). Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. Jakarta: PBK.