Oleh : Chappy Hakim
Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi dirgantara militer China telah melaju dengan kecepatan yang menandingi ambisi geopolitiknya. Jika pada era 1990-an Beijing masih mengandalkan lisensi dan modifikasi dari pesawat tempur buatan Rusia, kini mereka tampil percaya diri dengan produk asli yang bersaing langsung dengan platform udara paling mutakhir di dunia. Lompatan ini tidak hanya mencerminkan kemajuan industri pertahanan nasional, tetapi juga menjadi simbol pergeseran keseimbangan kekuatan udara di kawasan Indo-Pasifik.
Salah satu ikon yang menandai era baru kekuatan udara China adalah Chengdu J-20, yang oleh dunia Barat dijuluki “Mighty Dragon.” Pesawat ini adalah jet tempur siluman generasi kelima yang memadukan desain aerodinamis, radar cross-section rendah, dan kemampuan tempur jarak jauh. Sejak kemunculan perdananya, J-20 telah berevolusi dalam beberapa varian, termasuk yang dilengkapi mesin baru dengan kemampuan thrust-vectoring, yang meningkatkan kelincahan manuvernya di udara. Ada pula versi dua kursi yang diyakini dirancang untuk mengoperasikan misi kolaboratif dengan drone tempur otonom, sebuah konsep yang mulai menjadi doktrin tempur masa depan.
Namun, J-20 bukan satu-satunya bintang di panggung udara China. Di jalur pengembangan paralel, Shenyang Aircraft Corporation memperkenalkan J-35, atau yang juga dikenal sebagai FC-31, sebuah jet siluman multirole yang kerap disebut sebagai “jawaban” China terhadap F-35 Lightning II milik Amerika Serikat. J-35 menonjol dengan kemampuannya beroperasi dari kapal induk, dilengkapi avionik modern, dan didesain untuk unggul dalam peperangan informasi. Pesawat ini juga diproyeksikan sebagai produk ekspor, dengan Pakistan sebagai salah satu calon pembeli, langkah yang sekaligus menjadi instrumen diplomasi pertahanan bagi Beijing.
Tidak berhenti di generasi kelima, China kini melangkah ke medan yang lebih ambisius: pesawat tempur generasi keenam. Pada akhir 2024, publik dunia dikejutkan oleh kemunculan J-36, sebuah jet siluman dengan desain tailless dan konfigurasi tiga mesin yang jarang ditemui pada pesawat tempur modern. Rancangan ini memungkinkan pengurangan jejak radar secara signifikan sekaligus memberikan daya dorong besar untuk misi jarak jauh. Kokpit dua kursi yang ditempatkan berdampingan menandakan fokus pesawat ini sebagai platform komando dan kendali udara, memadukan manusia dan kecerdasan buatan dalam satu ekosistem pertempuran.
Bersamaan dengan itu, Shenyang juga memperkenalkan J-50, pesawat siluman lain dengan desain sayap berbentuk lambda yang unik. Meskipun belum banyak detail yang diungkapkan, indikasinya jelas pesawat ini dirancang untuk misi multirole, mampu beroperasi baik di daratan maupun dari kapal induk, dan dioptimalkan untuk daya jelajah serta efisiensi bahan bakar. Salah satu inovasi yang menunjukkan arah masa depan doktrin udara China adalah eksperimen manned–unmanned teaming (MUM-T), di mana pesawat tempur berawak bekerja sama dengan drone tempur lepas kendali. Dalam beberapa pengujian, pesawat dilengkapi dengan “sayap lepas” yang dapat berubah menjadi drone otonom, memberi fleksibilitas luar biasa untuk melancarkan serangan atau melakukan pengintaian tanpa mempertaruhkan keselamatan pilot.
Perkembangan ini membawa implikasi strategis yang luas. Di tingkat kawasan, keberadaan pesawat-pesawat ini memperkuat posisi China dalam persaingan kekuatan udara, terutama di perairan Laut China Selatan dan Selat Taiwan, yang menjadi titik panas geopolitik. Di tingkat global, kemunculan generasi keenam seperti J-36 memberi pesan tegas bahwa dominasi udara tidak lagi menjadi monopoli Amerika Serikat atau sekutunya. Lebih dari itu, langkah China memadukan teknologi siluman, kecerdasan buatan, dan integrasi sistem tak berawak menunjukkan bahwa mereka memahami arah evolusi perang udara modern.
Perbandingan dengan Amerika Serikat mengungkap perbedaan mendasar dalam filosofi dan pendekatan. F-35 Lightning II, meskipun bukan yang tercepat atau paling lincah, menjadi standar emas pesawat tempur generasi kelima berkat sistem sensor fusion yang luar biasa. Pilot F-35 dapat melihat dan memproses data dari berbagai sumber secara real time, sehingga pesawat ini lebih tepat disebut sebagai “platform tempur jaringan terbang” ketimbang sekadar jet tempur. Keunggulan utamanya terletak pada integrasi mendalam dengan aset udara, laut, dan darat milik sekutu, sebuah jaringan global yang belum dimiliki China.
J-20, di sisi lain, menonjol dalam hal jangkauan tempur dan kapasitas membawa rudal jarak jauh, termasuk PL-15 yang dirancang untuk mengungguli AIM-120 AMRAAM milik AS dalam pertempuran jarak menengah hingga jauh. Dengan desain siluman yang dioptimalkan untuk mengurangi deteksi radar frontal, J-20 tampaknya diarahkan untuk memburu pesawat pendukung vital lawan seperti tanker udara dan pesawat AWACS, demi memutus rantai logistik udara musuh.
Pada ranah generasi keenam, proyek NGAD Amerika Serikat menandai perubahan paradigma. Dirancang sebagai platform “sistem dari sistem” (system-of-systems), NGAD bukan hanya pesawat tunggal, tetapi pusat komando udara yang bekerja bersama sejumlah loyal wingman drone, rudal hipersonik, dan sensor canggih. Keunggulannya diharapkan mencakup kemampuan siluman adaptif, sensor quantum, dan mesin variabel yang mampu mengoptimalkan performa di kecepatan subsonik maupun supersonik.
Di titik ini, J-36 mulai menunjukkan orientasi yang serupa dengan NGAD. Desain tailless dan konfigurasi tiga mesin memberi keunggulan dalam hal stealth dan daya dorong, sementara kokpit dua kursi berdampingan memberi ruang bagi satu pilot untuk fokus pada misi penerbangan, dan satu lagi sebagai operator sistem tempur serta kendali drone. Pendekatan ini secara teknis mirip dengan konsep NGAD, namun perbedaannya terletak pada ekosistem dukungan tempur, Amerika telah memiliki jaringan aliansi dan basis militer global, sedangkan China masih membangun pondasi itu, meski dengan cepat memperluas jangkauan pengaruhnya di Afrika, Timur Tengah, dan Pasifik Selatan.
Dalam dimensi teknologi murni, NGAD diperkirakan tetap memimpin dalam hal integrasi penuh kecerdasan buatan, senjata energi terarah, dan sensor multi-spektrum. Akan tetapi, kemunculan J-36 menunjukkan bahwa jarak keunggulan itu semakin menyempit. Jika China mampu mempercepat siklus pengembangan dan mengatasi tantangan mesin berperforma tinggi yang selama ini menjadi titik lemah mereka, bukan tidak mungkin J-36 akan menjadi ancaman serius bagi keunggulan udara Amerika pada pertengahan dekade ini.
Bagi Indonesia, pelajaran yang bisa diambil sangat jelas. Pembelian pesawat tempur mutakhir, baik dari Barat maupun Timur, tidak akan memberikan efek strategis maksimal jika tidak diiringi dengan pembangunan sistem pertahanan udara yang menyeluruh. Pesawat tempur hanyalah satu elemen dari mozaik besar pertahanan udara, elemen lain seperti radar jarak jauh, pesawat peringatan dini (AWACS), jaringan komunikasi yang aman, sistem kendali operasi yang terintegrasi, hingga ketersediaan suku cadang dan kemampuan perawatan mandiri, semuanya harus berjalan serempak.
Penguasaan teknologi menjadi syarat mutlak. China bisa melompat dari ketergantungan lisensi menjadi produsen pesawat generasi keenam karena memiliki peta jalan riset jangka panjang yang konsisten lintas pemerintahan. Indonesia tidak akan pernah mencapai kemandirian pertahanan udara jika setiap pergantian rezim berarti pergantian arah kebijakan. Perencanaan strategis harus bersifat lintas generasi, bukan lima tahunan, karena siklus pengembangan teknologi dirgantara jauh melampaui masa jabatan politik.
Lebih jauh lagi, kedaulatan udara bukan hanya tentang mencegah pelanggaran wilayah, tetapi tentang memastikan bahwa setiap lapisan ruang udara nasional dari permukaan laut hingga ketinggian jelajah pesawat tempur berada dalam kendali penuh kita. Tanpa itu, pengadaan pesawat tempur tercanggih sekalipun akan menjadi investasi mahal yang manfaatnya tereduksi alias sia sia.
Dalam dunia yang terus bergerak menuju peperangan berbasis informasi dan sistem otonom, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton. Kita perlu menatap jauh ke depan, membangun visi besar pertahanan udara yang tidak bergantung pada euforia pembelian senjata semata, melainkan pada kemampuan membangun dan mengendalikan ekosistem pertahanan yang utuh. Jika China bisa bertransformasi dalam dua dekade menjadi kekuatan udara yang disegani, maka Indonesia pun seharusnya mampu, asalkan memiliki kemauan politik yang kuat, perencanaan strategis yang konsisten, dan kesadaran nasional bahwa kedaulatan udara adalah harga mati.
Jakarta 13 Agustus 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia