Oleh: Chappy Hakim
Kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan dalam pengembangan pesawat tempur generasi 4.5 atau 5 minus yang dikenal dengan nama KF-X/IF-X atau kini KF-21 Boramae adalah langkah besar yang patut mendapat perhatian serius. Di satu sisi, ini merupakan simbol modernisasi kekuatan udara nasional, tetapi di sisi lain, juga mencerminkan kompleksitas politik, teknologi, dan pembiayaan dalam membangun industri pertahanan nasional. Proyek ini bukan sekadar proyek alih teknologi, tetapi sebuah pertaruhan geopolitik dan nasionalisme teknologi di tengah ketergantungan panjang Indonesia pada produk militer asing.
Sejarah dan Awal Kerja Sama
Proyek ini bermula pada tahun 2010, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak menyepakati kerja sama strategis bidang pertahanan, yang salah satu butir pentingnya adalah pengembangan bersama pesawat tempur masa depan. Korea Selatan saat itu ingin membangun kemandirian teknologi pertahanannya pasca keberhasilannya dalam proyek pesawat latih T-50 Golden Eagle. Indonesia, melihat peluang ini sebagai lompatan dari sekadar pembeli menjadi mitra pengembang. Proyek KF-X/IF-X dirancang sebagai pesawat tempur multirole yang mampu bersaing dengan F-16V dan Rafale, bahkan diproyeksikan menjadi pesaing F-35 di pasar negara-negara berkembang. Indonesia setuju menanggung 20% dari total biaya pengembangan yang diperkirakan mencapai USD 7,5 miliar, dengan imbal balik berupa transfer teknologi, pelatihan, dan kemungkinan manufaktur sebagian komponen di Indonesia.
Perkembangan Terakhir
Pada 9 Mei 2021, prototipe pertama KF-21 Boramae diluncurkan di Sacheon, Korea Selatan. Ini merupakan tonggak sejarah penting karena pesawat tersebut berhasil mencapai tahap purwarupa, uji taksi, dan kini sudah menjalani lebih dari 150 kali uji terbang (per 2025). Enam prototipe telah dibuat dan diuji, sementara produksi skala penuh untuk Angkatan Udara Korea Selatan dijadwalkan dimulai pada 2026. Targetnya adalah memiliki setidaknya 120 unit pada tahun 2032. Sayangnya, Indonesia tersendat dalam kewajibannya. Dari komitmen awal sekitar USD 1,5 miliar, Indonesia menunggak hingga USD 600 juta lebih, menimbulkan ketegangan diplomatik dan keraguan atas keberlanjutan partisipasi Indonesia. Walaupun begitu, tahun 2023 lalu, pemerintah menyatakan akan tetap melanjutkan keterlibatan dalam proyek ini. Sejumlah insinyur Indonesia juga sudah kembali dikirim ke Korea Selatan.
Keuntungan bagi Indonesia
Pertama, dari segi teknologi, proyek ini membuka pintu bagi SDM Indonesia untuk belajar langsung dari lini depan pengembangan pesawat tempur canggih. PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menjadi mitra utama dalam proses alih teknologi. Ini bukan hanya tentang membuat pesawat, tetapi mengembangkan seluruh sistem pendukungnya: avionik, aerodinamika, struktur komposit, radar AESA, bahkan teknologi siluman parsial. Kedua, jika Indonesia konsisten, maka proyek ini bisa menjadi batu loncatan untuk membangun industri dirgantara nasional yang berdaulat dan berkelanjutan. Bukan tidak mungkin dalam dua dekade ke depan, Indonesia tidak lagi bergantung pada Amerika Serikat, Rusia, atau Prancis dalam soal pesawat tempur. Ketiga, secara geopolitik, keterlibatan Indonesia memperkuat kerja sama strategis dengan Korea Selatan, sebuah negara yang juga sedang menegosiasikan ulang posisinya di tengah rivalitas Amerika–Cina. Dalam konteks Indo-Pasifik, ini menambah posisi tawar Indonesia sebagai kekuatan menengah yang punya kapasitas produksi alutsista canggih.
Kerugian dan Risiko
Proyek ini juga penuh dengan tantangan dan risiko. Pertama, komitmen anggaran Indonesia tidak stabil. Berkali-kali muncul isu penundaan pembayaran. Ini bisa mencoreng reputasi Indonesia sebagai mitra strategis dan sekaligus menghambat akses penuh terhadap transfer teknologi yang dijanjikan. Kedua, posisi Indonesia dalam proyek ini bukan sebagai co-developer yang setara, tetapi lebih sebagai junior partner. Banyak komponen utama, seperti radar, mesin GE F414, dan perangkat avionik, tetap dikendalikan oleh pihak asing. Artinya, kedaulatan penuh atas teknologi pesawat ini belum tentu akan jatuh ke tangan Indonesia, bahkan jika proyek ini sukses. Ketiga, dalam konteks pertahanan nasional, pesawat tempur bukanlah satu-satunya kunci. Tanpa sistem pertahanan udara nasional yang terpadu—termasuk radar, pusat komando (C2), jaringan komunikasi, dan interopabilitas antar matra—maka kehadiran pesawat canggih sekalipun bisa menjadi sekadar “hiasan strategis” yang mahal namun tidak efektif.
Membangun Sistem, Bukan Sekadar Pesawat
Kerja sama KF-21 ini bisa menjadi game changer, tetapi hanya jika diiringi dengan visi besar dan konsistensi jangka panjang. Investasi dalam SDM, lembaga riset, manufaktur, dan sistem pertahanan yang terintegrasi jauh lebih penting daripada sekadar membeli platform tempur. Seperti yang pernah saya tulis, “Jangan sekadar jadi penonton di langit sendiri.” Pesawat tempur adalah alat, bukan tujuan. Ia harus menjadi bagian dari strategi besar yang menyeluruh—menjaga kedaulatan udara, memperkuat deterrence effect, dan menjamin kehormatan negara di kancah global. Akhir kata, harapan itu akan sia-sia jika kita tidak membangun sistem pertahanan udara nasional yang terpadu, yang menyinergikan semua unsur pertahanan, dan berakar pada doktrin yang matang serta visi kebangsaan yang kokoh. Dalam pertahanan udara, pesawat tempur hanyalah ujung tombak—tetapi keberhasilan ditentukan oleh siapa yang menggenggam tombak itu, dan sistem seperti apa yang menopangnya.
Catatan Referensi:
- Republic of Korea Defense Acquisition Program Administration (DAPA)
- PT Dirgantara Indonesia, 2023
- Kementerian Pertahanan RI, Rilis Resmi 2024
- “Korea Unveils KF-21 Boramae Fighter Jet”, The Diplomat, 2021
- Chappy Hakim, Air Power Indonesia (PBK, 2013)
Jakarta 5 Juli 2025