Apabila kita cermat mengamati dari sejak keberadaan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma hingga kejadian tabrakan pesawat pada tanggal 4 April 2016 lalu, kiranya jelas harus ada tindakan yang serius dan fundamental sifatnya untuk mencegah terulangnya kecelakaan mengerikan itu.
Sekedar informasi saja, merujuk kepada sumber yang layak dipercaya, bahwa di tahun 2015 di Indonesia telah terjadi banyak sekali peristiwa “nyaris tabrakan” pesawat terbang di udara. Tidak sedikit yang tertolong, hanya karena pada pesawat terkait telah terpasang peralatan canggih yang bernama TCAS (Traffic Collision Avoidance System).
Pada hakikatnya kejadian tabrakan pesawat di Halim adalah “hasil” dari sekian banyak kejadian yang “nyaris” alias berhasil “selamat” secara tidak sengaja.
Hal itu juga cerminan dari betapa padatnya traffic penerbangan di Lanud Halim yang berada dalam suatu kondisi yang sudah tidak mampu lagi dikelola dengan baik sesuai prosedur standar dan aturan keselamatan penerbangan yang berlaku.
Alangkah tidak masuk akal, bila seorang pilot yang hendak take off tidak mengecek ulang untuk memperoleh keyakinan serta melihat dengan seksama bahwa runway sudah “clear”.
Demikian pula, sulit sekali memahami ada gerakan pesawat terbang yang menyeberang landasan tanpa dapat termonitor dengan baik oleh petugas menara pengawas di tower dan pilot di pesawat yang akan take off.
Bagaimana mungkin seorang petugas pengawas lalu lintas udara memberikan ijin take off pada pilot tanpa meyakini sepenuhnya bahwa runway telah benar-benar aman.
Sangat sulit untuk dapat menerima logika dari petugas yang menarik pesawat terbang menyeberangi landasan pada saat yang sangat kritis dan tidak menyadari bahwa ada pesawat lain akan take off.
Semua hal yang sulit diterima akal sehat tersebut dengan jelas dan terang benderang memperlihatkan betapa siklus kegiatan penerbangan komersial di Halim sudah berada pada kondisi yang sangat berbahaya.
Untuk kondisi yang sudah sangat sulit dikendalikan dengan kemampuan personil dan peralatan yang dimiliki ini, tidak ada pilihan lain, harus segera dicarikan solusi yang amat sangat segera guna menyelesaikannya.
Di sisi lain, dalam keadaan padat dan bahaya, sangat tidak mungkin 4 skadron udara di Pangkalan Angkatan Udara akan memperoleh kesempatan yang cukup untuk melakukan aktivitas latihan terbang sebagaimana layaknya satuan udara operasional yang harus selalu dalam kondisi siaga, menuju kondisi yang “combat ready”.
Belum lagi fungsi lain dari Pangkalan Udara Halim yang diperuntukkan bagi keselamatan dan keamanan kegiatan penerbangan Kepala Negara dan Tamu Negara setingkat.
Tugas-tugas yang dibebankan kepada Pangkalan Udara Halim seperti menjadi “home-base” kegiatan penerbangan dukungan penanggulangan bencana alam (seperti saat Tsunami Aceh) beserta dukungan logistiknya pasti akan sangat sulit untuk dilaksanakan.
Demikian pula tugas-tugas sebagai “pusat penanggulangan krisis” bila terjadi terorisme berupa pembajakan pesawat terbang (seperti peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla). Tidak dapat dibayangkan bagaimana dapat dilakukan sesuai prosedur dan aturan yang ada.
Selain itu, keberadaan instalasi dan institusi penting di Halim tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Di kawasan Halim terdapat Markas Besar Komando Pertahanan Udara Nasional yang merupakan bagian penting dari sistem pertahanan nasional Negara ini.
Terdapat pula Markas Besar Komando Operasi Udara 1 yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan operasi udara di wilayah barat Republik Indonesia.
Di Halim juga terdapat Markas Komando Pendidikan Angkatan Udara Republik Indonesia.
Tidak jauh dari Halim, tepatnya di Cilangkap terdapat pula Markas Besar TNI yang merupakan jantung dari pusat komando dan pengendalian dari seluruh kekuatan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada markas-markas besar tersebut tergelar pula instalasi penting seperti berbagai sistem dan unit radar pengendalian pertahanan udara, pusat unit pengendalian komando sistem pertahanan Negara dan lain sebagainya.
Status Halim sebagai “alternate-aerodrome” bagi Soekarno Hatta International Airport pun hingga kini masih belum ada perubahan.
Melihat hal itu semua , maka untuk sementara satu-satunya solusi yang tersedia sekarang ini adalah memilih salah satu saja, apakah Halim akan digunakan sebagai pusat kegiatan penerbangan sipil komersial saja dengan risiko memindahkan semua instalasi militer pertahanan negara, atau mengembalikan Halim sesuai fungsi semula yang hanya digunakan untuk kepentingan penerbangan Angkatan Udara.
Bila melihat mana yang lebih efisien dan logis dari keduanya, maka mengembalikan Pangkalan Udara Halim sesuai dengan fungsinya semula merupakan satu-satunya pilihan solusi yang masuk akal.
Alangkah sulit dan rumitnya bila Halim dijadikan pusat penerbangan sipil komersial, yang berarti harus memindahkan banyak instansi dan instalasi strategis yang sudah terbangun dan dikembangkan dalam waktu yang cukup lama.
Apalagi apabila hal itu merupakan akibat permasalahan yang timbul dari pengelolaan operasi penerbangan sipil komersial yang sudah terlanjur salah urus.
Pada tahapan ini kelihatan sekali bahwa apa yang pernah diutarakan oleh ketua komisi 5 DPR RI kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan, pada kesempatan rapat dengar pendapat sesaat setelah tabrakan pesawat di Halim menjadi sangat masuk akal.
Dengan kepala dingin dan akal sehat serta dengan nalar dari seorang yang sangat cerdas, Menteri Perhubungan telah memberikan sebuah jawaban yang sangat tegas dan berani, bahwa beliau menyetujui sepenuhnya apa yang disampaikan oleh Ketua Komisi 5 DPR RI tersebut.
Tentu saja dengan persyaratan akan memakan waktu 1 sampai 2 atau 3 tahun, sebuah argumentasi yang sangat masuk akal .
Membenahi sebuah kesemrawutan yang sudah terjadi belasan tahun tentu tidak bisa diselesaikan dalam waktu semalam.
Bukan sebuah keanehan melihat respon dan jawaban dari Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan yang memiliki “sucess story” cemerlang dalam membenahi Kereta Api kita yang sangat amburadul beberapa tahun lalu.
Banyak orang kala itu yang juga melihat sebuah kemustahilan dalam upaya membenahi Kereta api kita yang sudah terlanjur semrawut dan amburadul membahayakan banyak nyawa.
Banyak orang sulit percaya bagaimana bisa menertibkan kebiasaan penumpang kereta api yang naik sampai ke atas atap gerbong kereta. Juga bagaimana menertibkan kesemrawutan stasiun-stasiun kereta api yang sudah lebih kacau dan kotor melebihi pasar tradisional. Dan itu semua berhasil dilakukan oleh Ignasius Jonan.
Sebuah harapan yang sangat wajar, namun memerlukan kesabaran dan dukungan banyak orang untuk melihat Kementrian Perhubungan Republik Indonesia agar dapat menata ulang penerbangan nasional yang sudah terlanjur salah urus dalam waktu yang cukup lama.
Perkembangan Maskapai penerbangan yang tidak normal, persaingan harga yang terjadi secara tidak sehat, kekurangan tenaga profesional bidang penerbangan dan kekurangsiapan infrastruktur telah terlanjur berjalan cukup jauh.
Kita harus bersabar menanti keberhasilan pemerintah dalam menertibkan dunia penerbangan Indonesia.
Upaya-upaya ke arah perbaikan sebenarnya sudah mulai terlihat. Mutasi besar-besaran terhadap banyak personil kunci di Kemhub, pembenahan banyak airport di kota besar dan juga di daerah dilihat sebagai langkah positif menuju kearah perbaikan yang total sifatnya.
Begitu juga dengan tindakan tegas terhadap pelanggaran aturan oleh Maskapai Penerbangan telah pula diakukan, walau kemudian mendapatkan serangan balik, berupa perlawanan dari Maskapai yang medapatkan sanksi.
Tentu saja disadari benar bahwa tanggung jawab Menteri Perhubungan tidak hanya menyangkut kepada sistem angkutan udara belaka, karena Kementrian Perhubungan juga dibebani dalam mengelola sistem angkutan darat, laut dan kereta api.
Dukungan dari seluruh stake holder penerbangan nasional dan pihak-pihak lainnya sangatlah dibutuhkan untuk dapat keluar dari kemelut ini.
Dengan pertimbangan kemajuan teknologi yang sangat cepat dan kompleksnya masalah-masalah penerbangan nasional yang juga mencakup penerbangan militer, serta keterkaitan yang langsung dengan sistem angkutan udara global, mungkin patut dipikirkan perlunya dibentuk sebuah kementrian baru dengan tanggung jawab melulu pada pengelolaan penerbangan nasional saja di Indonesia.
Kementrian Penerbangan Nasional memang sudah hadir di beberapa negara yang melihat isu penyelenggaraan penerbangan memang harus ditangani tersendiri agar dapat lebih mudah dikelola serta berjalan lebih profesional.
Minimal sekarang ini, apabila upaya yang dilakukan oleh Kementrian Perhubungan dalam membenahi sistem penerbangan nasional mendapat dukungan dari segenap pihak, kita dapat optimis dunia penerbangan nasional dapat dibenahi dengan baik.
Dunia penerbangan nasional dapat berharap segera memenuhi kembali status otoritas penerbangan sipilnya sebagai sebuah otoritas yang memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan sipil internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization).
Demikian pula usaha keras yang tengah dilakukan agar Indonesia dapat terpilih kembali menjadi “counsil member” di ICAO dapat berhasil dengan baik. Insya Allah Amin YRA.
Jakarta 30 Mei 2016
Sumber – Kompas.com
Editor : Wisnubrata