MINGGU lalu, anak saya mengikuti seminar tentang fotografi di kantornya Jakarta Post. Malam hari, dia bercerita kepada saya tentang bagaimana dia kagum dengan kantor Jakarta Post. Bagus sekali yah, bersih seperti kantor diluar negeri. Bagi saya , tidaklah terlalu aneh kalau kantornya Jakarta Post itu bagus dan bersih, karena saya tahu betul bahwa jajaran manajemen Jakarta Post memang orang-orang yang dididik dengan baik oleh pimpinannya. Selamat Pak Endy!
Waktu saya tanyakan, kenapa dia pulang terlalu malam, disinilah dia bercerita tentang sesuatu yang sangat menarik perhatian saya.
Anak saya, sebenarnya sudah pulang pada sore hari segera setelah seminar usai. Sesampai di rumah, dia baru menyadari bahwa baterai laptop nya tertinggal di kantor Jakarta Post, tempat dia mengikuti seminar. Segera saja dia kembali ke kantor Jakarta Post dengan terpaksa harus menembus kemacetan lalu lintas kota Jakarta yang sangat menyebalkan itu. Singkat cerita, dia sampai di kantor Jakarta Post dan menanyakan kepada satpam yang bertugas disana tentang tertinggalnya baterai laptop miliknya siang tadi. Sang Satpam segera memberitahukan bahwa memang ada barang tamu yang tertinggal, akan tetapi sesuai aturan yang berlaku, semua barang-barang tamu yang tertinggal harus diserahkan ke Pos Jaga utama yang terletak di kantor Kompas Gramedia.
Anak saya pun segera menuju pos utama satpam Gramedia Kompas tersebut. Disana dia diterima dengan sangat sopan oleh petugas satpam yang sedang berdinas saat itu. Setelah menceritakan masalah yang dihadapi oleh anak saya, sang satpam segera mengambil baterai laptop dari tempat penyimpanan khusus barang-barang tertinggal (sejenis lost and found counter) dan langsung menyerahkannya kepada anak saya.
Betapa gembiranya anak saya, karena sebenarnya dia telah merasa putus asa karena khawatir baterai laptop yang tertinggal itu sudah hilang. Begitu gembiranya anak saya, ia pun lalu merogoh dompetnya untuk memberikan sekedar “persen” untuk sang satpam sebagai ungkapan sukur dan terimakasihnya. Sangat diluar dugaan, si Satpam dengan sopan menolaknya. Anak saya sangat berpengalaman tentang hal ini, yang pasti orang ini hanya pura-pura atau merasa malu saja akan tetapi sebenarnya kepengin juga menerimanya.
Anak saya pun segera memaksa memberikan dengan coba langsung memasukkannya ke saku celana sang satpam dengan mengatakan ini saya kasih ikhlas koq, sebagai tanda terimakasih, saya senang barang saya kembali. Ini sekedar untuk beli jajanan bagi petugas-petugas jaga di pos. Sekali lagi diluar dugaan, dengan sopan sang satpam mengembalikan uang itu seraya berkata, maaf pak, kami dilarang untuk menerima pemberian semacam ini. Kali ini, anak saya benar-benar shock ! Pengalaman dia, biasanya sang petugas malah minta duluan dan tidak jarang yang tanpa malu-malu minta tambahan lagi dengan mengatakan , kami kan berempat pak, dan lain-lain. Anak saya mengatakan kepada saya : koq ada ya , hari gini ada petugas yang menolak pemberian uang.
Agak sedih juga saya mendengar pernyataan dari anak muda yang belum genap 30 tahun umurnya, sudah berhadapan dengan masalah sosial yang sangat memalukan itu. Dia sudah melihat, bahwa petugas yang menolak pemberian itu adalah sesuatu yang aneh. Saya tegaskan kepadanya, bahwa karakter seseorang adalah sangat tergantung kepada pembinaan yang diperolehnya, tidak bisa disamaratakan saja dengan apa yang dilihat dan terjadi dalam lingkungannya.
Diam-diam, sebenarnya saya pun dapat merasakan keanehan ini. Kita semua tahu bagaimana praktek pungli yang sudah begitu mendarah daging merambah dihampir semua sektor kehidupan kita. Prihatin memang, dan untuk itu marilah kita berdoa bersama, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, semoga lebih banyak lagi para petugas kita yang bermental baja dan berkarakter terhormat seperti sang satpam di Kompas Gramedia. Tidak mudah tergoda hanya dengan pemberian uang, walaupun kita semua tahu berapalah gaji seorang satpam.
Pembinaan mental yang seperti ini benar-benar harus kita acungkan jempol, dan saya percaya hal ini tidak terlepas dari kepemimpinan jajaran manajemennya.
Jakarta 25 Nopember 2008
Chappy Hakim
1 Comment
Salut saya untuk 2 hal: 1. Pembinaan karakter di grup kompas yang memang cukup baik untuk jadi modal survive dalam industri yang kompetitif. 2. Untuk pak Chappy yang mengingatkan untuk hal yg rasanya sulit didapat di bumi Indonesia sekarang ini, dimana semua seperti diukur dari materi yang diterima, bukan ketulusan tanpa pamrih.
Terima kasih mengingatkan di Indonesia masih ada, walaupun sangat2 jarang.