Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»KAJIAN TEORITIS DAN STUDI KASUS PERJANJIAN  INDONESIA–SINGAPURA 2022 DALAM PERSPEKTIF ILMU POLITIK
    Article

    KAJIAN TEORITIS DAN STUDI KASUS PERJANJIAN  INDONESIA–SINGAPURA 2022 DALAM PERSPEKTIF ILMU POLITIK

    Chappy HakimBy Chappy Hakim08/13/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Chappy Hakim – NIM 246701519005

    Kedaulatan negara di udara merupakan salah satu prinsip paling fundamental dalam sistem hubungan internasional modern. Prinsip ini menegaskan hak eksklusif suatu negara untuk mengatur, mengelola, dan melindungi ruang udara yang berada di atas wilayah teritorialnya. Ketentuan ini telah diakui secara global sejak Konvensi Paris 1919, yang kemudian diperkuat melalui Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam perspektif ilmu politik, kedaulatan udara tidak hanya memiliki dimensi hukum, tetapi juga memegang peran strategis sebagai instrumen pertahanan, proyeksi kekuatan negara, dan alat diplomasi di panggung internasional.

    Indonesia, dengan karakter geografis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan posisinya yang berada di persimpangan jalur perdagangan udara internasional, memiliki kepentingan vital untuk menguasai sepenuhnya ruang udaranya. Pengendalian ruang udara tidak semata menyangkut aspek keselamatan penerbangan sipil, tetapi juga menjadi bagian dari strategi pertahanan negara dan hubungan luar negeri. Namun, sejarah mencatat bahwa sebagian wilayah udara di kawasan Kepulauan Riau dan Natuna telah lama berada dalam pengelolaan otoritas penerbangan Singapura. Kondisi ini mencapai titik penting pada 25 Januari 2022, ketika Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian yang kemudian diratifikasi pada 2023. Salah satu klausulnya secara resmi mendelegasikan kembali pengelolaan wilayah udara eks FIR Singapura, mulai dari permukaan laut hingga ketinggian 37.000 kaki, kepada otoritas penerbangan Singapura untuk jangka waktu 25 tahun dengan opsi perpanjangan.

    Pemerintah memandang kesepakatan ini sebagai langkah untuk meningkatkan keselamatan penerbangan dan membuka peluang kerja sama teknologi. Namun, sejumlah kalangan menilai kebijakan tersebut sebagai kompromi yang berisiko melemahkan prinsip kedaulatan udara, mengingat wilayah yang didelegasikan berada di kawasan strategis dan rawan konflik geopolitik, terutama karena kedekatannya dengan kawasan Laut Tiongkok Selatan.  Secara teoritis, kedaulatan adalah konsep inti dalam ilmu politik. Jean Bodin, pada abad ke-16, menggambarkannya sebagai kekuasaan absolut dan permanen negara atas rakyat dan wilayahnya. Thomas Hobbes kemudian mengembangkan gagasan ini melalui kontrak sosial, di mana masyarakat menyerahkan kebebasan individual demi keamanan kolektif di bawah otoritas negara. Pemahaman ini melahirkan prinsip Westphalian sovereignty, yang menolak campur tangan pihak luar dalam urusan internal negara. Stephen D. Krasner kemudian membagi kedaulatan menjadi empat dimensi, di mana kedaulatan udara menempati posisi penting dalam dimensi pengakuan internasional dan kebebasan dari intervensi eksternal.

    Dalam teori kedaulatan udara, ruang di atas wilayah teritorial suatu negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kedaulatan tersebut. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 sama-sama menegaskan hak penuh dan eksklusif negara atas ruang udara. Hak ini mencakup kewenangan untuk mengatur jalur penerbangan, menjaga keselamatan penerbangan, serta mengendalikan aktivitas sipil maupun militer di udara. Walaupun pembagian FIR oleh ICAO dimaksudkan sebagai pengaturan teknis, dalam praktiknya pendelegasian pengelolaan wilayah udara kepada negara lain kerap memunculkan perdebatan, terutama ketika wilayah yang dimaksud berada di kawasan strategis.

    Dari sudut pandang ilmu politik, kedaulatan udara juga dilihat sebagai strategic high ground, posisi dominan yang memberikan keunggulan militer, intelijen, dan diplomatik. Penguasaan penuh ruang udara memungkinkan negara melakukan proyeksi kekuatan, mengendalikan jalur perdagangan internasional, dan meningkatkan posisi tawar dalam negosiasi global. Sebaliknya, penyerahan pengelolaan wilayah udara strategis kepada pihak asing, walaupun dibalut kerja sama teknis, berpotensi menimbulkan ketergantungan strategis yang dapat membatasi kemampuan negara untuk mengambil keputusan cepat dalam situasi darurat atau konflik.

    Masalah ini dapat diperdalam dengan melaksanakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi pustaka. Sumber data bisa mencakup dokumen hukum internasional seperti Konvensi Paris dan Chicago, undang-undang nasional, perjanjian bilateral Indonesia–Singapura 2022, serta literatur akademik dan pernyataan resmi para pihak terkait. Analisis dapat dilakukan melalui kajian isi dan konteks, dengan membandingkan norma hukum, realitas politik, dan implikasi strategis.  Secara hukum internasional, kedaulatan udara adalah hak mutlak negara dan tidak dapat dialihkan. Namun, dalam kerangka ICAO, pengaturan teknis seperti pembagian FIR diakui selama tidak menghapus kedaulatan negara. Di sisi hukum nasional, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh atas ruang udaranya, dan penggunaan oleh pihak asing memerlukan izin pemerintah.

    Kawasan udara Indonesia, khususnya di Kepulauan Riau dan Natuna, memiliki nilai strategis yang sangat tinggi. Wilayah ini menjadi jalur vital perdagangan udara internasional, berfungsi sebagai buffer zone pertahanan, dan menjadi instrumen diplomasi yang efektif. Kedekatannya dengan Laut Tiongkok Selatan menambah urgensi kontrol penuh negara, mengingat kawasan tersebut merupakan titik panas geopolitik dunia.  Perjanjian FIR 2022 memang tidak secara formal mengalihkan kedaulatan, tetapi kontrol operasional di wilayah udara strategis itu berada di tangan pihak asing untuk jangka waktu yang panjang. Dalam jangka pendek, mungkin ada keuntungan teknis seperti peningkatan keselamatan penerbangan. Namun dalam jangka panjang, risiko terhadap keamanan nasional, ketergantungan strategis, dan terbatasnya ruang renegosiasi menjadi tantangan serius.

    Tantangan terbesar yang akan dihadapi Indonesia mencakup keterikatan pada perjanjian jangka panjang yang membatasi kebijakan kedaulatan operasional, risiko keamanan di wilayah perbatasan yang rawan konflik, keterbatasan teknologi dan infrastruktur navigasi udara, serta dinamika politik nasional yang kerap terjebak pada orientasi jangka pendek akibat masa jabatan pemerintahan lima tahunan. Prospek ke depan bergantung pada kemampuan Indonesia untuk membangun kapasitas teknologi dan sumber daya manusia, terutama dalam bidang radar pengawasan, satelit komunikasi, dan sistem manajemen lalu lintas udara. Reformulasi kebijakan kedaulatan udara perlu menempatkan pertahanan dan keamanan sebagai prioritas utama, diikuti oleh keselamatan penerbangan dan kerja sama internasional yang terukur. Indonesia juga harus lebih aktif dalam diplomasi kedirgantaraan di forum seperti ICAO dan ASEAN, guna memastikan kepentingan nasional terlindungi. Integrasi sistem pertahanan udara nasional yang melibatkan unsur militer, sipil, dan intelijen menjadi langkah strategis, disertai perencanaan jangka panjang yang konsisten lintas pemerintahan.

    Kesimpulannya, kedaulatan udara merupakan hak mutlak negara yang tidak hanya ditopang oleh kerangka hukum, tetapi juga oleh kemampuan strategis dan politik untuk mempertahankannya. Perjanjian FIR Indonesia–Singapura 2022 menunjukkan bahwa meski kedaulatan formal tetap diakui, pengalihan kontrol operasional dalam jangka panjang dapat mengurangi otonomi pertahanan. Dalam konteks geopolitik yang dinamis, hal ini menjadi kerentanan yang harus diantisipasi. Renegosiasi perjanjian, penguatan infrastruktur, integrasi sistem pertahanan udara, konsistensi kebijakan lintas pemerintahan, dan diplomasi kedirgantaraan yang aktif adalah langkah-langkah yang mutlak diperlukan untuk memastikan kedaulatan udara Indonesia terjaga sepenuhnya di masa depan.

    Jakarta 13 Agustus 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleKeistimewaan Pesawat Rafale dalam Konteks Strategi Pertahanan Udara Indonesia
    Next Article Pesawat Tempur Termutakhir China dan Refleksi Strategis untuk Indonesia
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Hidup Tenang, Santai, dan Bermanfaat bagi Orang Lain

    08/13/2025
    Article

    Pesawat Tempur Termutakhir China dan Refleksi Strategis untuk Indonesia

    08/13/2025
    Article

    Keistimewaan Pesawat Rafale dalam Konteks Strategi Pertahanan Udara Indonesia

    08/12/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.