Berita hangat belakangan ini adalah berita mengenai FIR Singapura yang sudah berubah menjadi FIR Jakarta. Opini publik tentang hal ini bermacam-macam. Demikian pula pernyataan beberapa pejabat negara tentang hal tersebut banyak mengundang tanda tanya.
Sangat dapat dimaklumi karena masalah FIR atau Flight Information Region adalah persoalan yang sangat teknis sifatnya dalam dunia penerbangan.
FIR adalah sebuah terminologi yang digunakan dalam disiplin ilmu yang berkait dengan urusan Pengaturan Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Control System. Itu sebabnya maka masalah FIR menjadi tidak mudah untuk dapat dijelaskan kepada orang awam.
Aturan, regulasi dan prosedur standar dalam pengaturan lalu lintas udara berpedoman pada peraturan penerbangan internasional dibawah koordinasi International Civil Aviation Organization (ICAO). Peraturan tentang pengelolaan lalu lintas udara antara lain mengacu kepada Civil Aviation Safety Regulation (CSAR) yang di keluarkan oleh ICAO.
Semua negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa secara otomatis akan menjadi Member State dari ICAO. Pengaturan mengenai lalulintas udara atau Air Traffic Control merupakan salah satu dari sekian banyak regulasi yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional yang dikeluarkan oleh ICAO untuk ditaati oleh semua negara anggotanya. Pengaturan FIR adalah juga merupakan salah satu regulasi yang diberlakukan secara baku atau standar oleh ICAO.
Kedaulatan Negara di Udara
Konvensi Chicago 1944 adalah merupakan konvensi internasional yang mengatur tentang penerbangan sipil antar bangsa yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang status udara. Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengatur bahwa setiap negara berdaulat penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 dalam konteks status negara berdaulat adalah merupakan penekanan kembali dari konvensi Paris 1919 yang mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara diatas wilayahnya. Indonesia sendiri dalam Lembaran Negara nomor 12 tahun 2018 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara.
Pengaturan Flight Information Region
Apabila Indonesia dan Singapura sebagai negara anggota ICAO mengatur bersama tentang penerbangan sipil dengan konsisten mengacu kepada regulasi ICAO dan saling menghormati kedaualatan negara masing masing maka tidak akan ada permasalahan yang muncul. Persoalan teknis penerbangan memang seharusnya diselesaikan secara teknis antara kedua negara. Mengapa persoalan FIR Singapura dan FIR Jakarta tidak kunjung usai dari kehebohan, jawabannya adalah karena masalah teknis penerbangan di selesaikan pada tataran politik.
Indikasi domain politik yang digunakan dalam arena penerbangan yang teknis sifatnya terlihat dari bagaimana persetujuan FIR disepakati bergandeng tangan erat sekali dengan 2 perjanjian lainnya yaitu mengenai ekstradisi dan MTA – Military Training Area. Disinilah muncul negosiasi antar kepentingan pihak pihak tertentu. Tidak saja antar national interest masing masing negara akan tetapi juga terlibat didalamnya interest pihak tertentu yang berkait dengan pengelolaan FIR itu sendiri. Itu sebabnya muncul hiruk pikuk beberapa pihak yang mempertanyakan hal hal yang aneh dalam perjanjian tersebut.
Muncul pertanyaan misalnya kenapa harus didelegasikan kepada Singapura wilayah udara Indonesia di kepulauan Riau dan Natuna dari 0 hingga 37.000 kaki. Mengapa pula harus didelegasikan selama 25 tahun dan akan diperpanjang. Demikian pula muncul pernyataan yang agak aneh, seperti misalnya FIR Singapura kini sudah sepenuhnya dikuasai oleh Indonesia dengan nama FIR Jakarta. Padahal ternyata ada wilayah yang didelegasikan kembali ke otoritas penerbangan Singapura. Pernyataan pernyataan yang sulit untuk dapat dimengerti.
Ada lagi pernyataan yang menjelaskan bahwa wilayah udara kita menjadi lebih luas setelah FIR Singapura menjadi FIR Jakarta. Wilayah udara Indonesia tidak pernah menjadi lebih kecil atau menjadi lebih luas, karena wilayah udara kedaulatan Indonesia jelas jelas sama dan sebangun dengan luas wilayah teritori NKRI. Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari 1/3 daratan, 2/3 perairan dan 3/3 Udara.
Kesemua kehebohan ini muncul sebagai akibat dari masalah teknis penerbangan yang dikelola dalam ranah politik. Itu saja sebenarnya yang terjadi. Dalam politik orang boleh berbohong, boleh munafik dan juga boleh berkhianat. Semua menjadi halal dilakukan atas nama politik. Sementara masalah teknis penerbangan menuntut kepatuhan yang taat azas tanpa kompromi.
Berikutnya ada pula yang menghubungkannya dengan bahwa Indonesia harus turut bertanggung jawab terhadap International Aviation Safety, sehingga harus rela mendelegasikan wilayah udara kedaulatannya kepada negara lain.
Untuk hal ini perlu dicermati tentang kejadian tragedi 9/11 US Under Attack, 11 September tahun 2001. Serangan teroris menggunakan pesawat terbang sipil komersial yang menyerang obyek vital nasional Amerika Serika antara lain Pentagon dan Menara Kembar World Trade Center di New York. Lebih dari 2500 orang meninggal dunia dan kerugian material konon mencapai angka miliaran US Dollar.
Amerika Serikat adalah penjuru dan ujung tombak dari penyelenggaraan Global International Aviation Safety. Peristiwa 9/11 membuktikan betapapun pentingnya International Aviation Safety ternyata jauh lebih penting National Aviation Security. Pasca 9/11 pemerintah dan kongres Amerika serikat membentuk Komisi Nasional 9/11 untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa 9/11. Peristiwa 9/11 merupakan adegan surprise attack kedua yang dialami Amerika setelah Pearl Harbor. Amerika Serikat kemudian membentuk Lembaga Keamanan Nasional yang diberi nama Department of Homeland Security. Amerika Serikat juga membentuk organisasi baru bernama TSA – Transportation Security Administration serta menyempurnakan organisasi ATC menjadi Civil Military Air Traffic Flow Management System. Itu semua merupakan respon segera yang dilakukan Amerika selesai kaji ulang peristiwa 9/11. Amerika menghadapi realita bahwa International Aviaton Safety ternyata tidak boleh mengabaikan Nationa Aviation Security. Itu antara lain Pelajaran penting yang patut dipetik dari peristiwa tragedi 9/11.
Kembali pada masalah FIR, maka seyogyanya Indonesia harus dapat menjaga martabatnya dalam pengelolaan penerbangan sipil dalam kaitannya dengan kedaulatan negara di Udara. Biarkanlah Singapura dan Indonesia menjaga dan saling menghormati kedaulatan negara masing masing di udara. Biarkanlah masalah FIR diselesaikan antar kedua otoritas penerbangan nasionalnya sesuai dan mengacu kepada aturan, regulasi dan prosedur baku dari ICAO. Mereka yang berkompeten sudah mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan dalam konteks pengaturan lalu lintas udara dalam hubungannya dengan urusan kedaulatan negara di udara. Sebuah proses penyelesaian yang pasti tidak mungkin memberikan ruang bermain bagi jurus jurus side interest dari pihak tertentu.
Terakhir perlu diingatkan bahwa wilayah udara teritori NKRI adalah merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak terbatas. Seperti tercantum dalam UUD 1945 sebagai konstitusi RI menyebutkan bahwa SDA harus dikuasai negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Jakarta 28 Maret 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia