Oleh: Chappy Hakim
Pada satu masa di tahun 1961, Indonesia bergemuruh oleh tekad membara untuk menyatukan seluruh wilayah warisan leluhur ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dalam semangat nasionalisme yang tak terbendung pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengumandangkan sebuah operasi besar untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Operasi itu diberi nama sandi Trikoraa atau Tri Komando Rakyat yang menjadi simbol perlawanan total terhadap penjajahan yang belum sepenuhnya usai.
Latar Belakang Sejarah dan Tekad Politik
Trikora dideklarasikan di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Dalam pidatonya yang legendaris, Bung Karno menyampaikan tiga komando utama gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, dan bersiap untuk mobilisasi umum demi mempertahankan keutuhan NKRI. Bagi Republik Indonesia, Irian Barat bukanlah wilayah baru, melainkan bagian sah dari wilayah kedaulatan yang telah diproklamasikan sejak 1945. Namun, Belanda bersikukuh mempertahankan kendali atas wilayah tersebut, dengan dalih menyiapkan kemerdekaan Papua sebuah alasan yang tidak pernah diterima oleh Jakarta. Sebagai manifestasi dari Trikora, maka disusunlah rencana besar Operasi Jayawijaya. Rencana ini mencakup pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran, termasuk armada laut dan udara, serta pendaratan pasukan lintas udara di wilayah-wilayah strategis Irian Barat. Indonesia bahkan saat itu memperkuat alutsista secara signifikan, dengan bantuan dari Uni Soviet yang mengirimkan kapal selam, pesawat tempur MiG, dan pesawat pengebom strategis TU-16. Dengan komando Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto, Indonesia siap menempuh jalan militer jika diplomasi buntu.
Dunia internasional terutama Amerika Serikat melihat potensi konflik ini sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasan, terutama di tengah memanasnya Perang Dingin. Washington tidak ingin wilayah strategis seperti Irian Barat menjadi ajang konfrontasi terbuka antara blok Barat dan Timur. Maka jalur diplomatik pun dipercepat. Di sinilah muncul sebuah babak baru Persetujuan New York.
Persetujuan New York: Solusi Damai di Tengah Bayang-Bayang Perang
Pada tanggal 15 Agustus 1962, setelah berbagai perundingan intensif yang dimediasi oleh Amerika Serikat di bawah utusan khusus Ellsworth Bunker, maka disepakati New York Agreement antara Indonesia dan Belanda. Isi pokoknya Belanda bersedia menyerahkan administrasi Irian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang akan memerintah secara sementara, sebelum menyerahkan pengelolaan wilayah kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Dan sebagai syarat pengakuan internasional, disepakati pula akan diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Itulah hasil final dari Persetujuan New York. Delegasi Indonesia secara formal dipimpin oleh Adam Malik, sementara pihak Belanda dipimpin oleh Dr. Jan Herman van Roijen, dan Amerika Serikat melalui Ellsworth Bunker yang bertindak sebagai mediator.
Maka berakhirlah sudah rencana pelaksanaan Operasi Jayawijaya secara penuh. Operasi militer digantikan oleh operasi diplomatik yang menguntungkan Indonesia tanpa menumpahkan darah dalam skala besar. Bendera Merah Putih akhirnya berkibar di seluruh wilayah Irian Barat secara resmi melalui jalur hukum internasional. Walaupun kemudian pelaksanaan Pepera tahun 1969 banyak dikritik, namun secara yuridis, integrasi Irian Barat ke dalam NKRI telah memperoleh legitimasi PBB.
Antara Diplomasi dan Daya Gentar Militer
Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa kesuksesan Persetujuan New York tidak terjadi begitu saja. Ia justru lahir dari kombinasi tekanan militer yang nyata dan kemampuan diplomasi tingkat tinggi. Dunia menyaksikan bagaimana Indonesia bersiap total untuk berperang, namun pada saat yang sama membuka pintu lebar bagi negosiasi. Inilah esensi strategi yang menggabungkan air power, sea power, dan diplomasi sebagai satu kesatuan kekuatan nasional (comprehensive national power).
Patut di catat bahwa kekuatan udara dalam Operasi Trikora tidak bisa dianggap remeh. Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki armada pembom strategis TU-16, pesawat tempur MiG-21, dan radar-radar canggih dari Soviet. Ini memberi sinyal kepada Belanda bahwa Indonesia tidak main-main. Ketika jalur perundingan dibuka, maka posisi tawar Indonesia meningkat tajam dan inilah pelajaran strategis yang sangat berharga bagi masa kini diplomasi hanya berhasil jika didukung oleh postur pertahanan yang kredibel. Kekuatan Perang Indonesia terutama Angkatan Udara dikenal kala itu sebagai yang terkuat di kawasan selatan dunia.
Warisan dan Pembelajaran Strategis
Kini, lebih dari enam dekade berlalu, Persetujuan New York tetap menjadi contoh penting dari bagaimana sebuah negara berkembang seperti Indonesia bisa memenangkan pertarungan geopolitik melalui kombinasi strategi militer, diplomasi internasional, dan mobilisasi rakyat. Namun, di balik keberhasilan tersebut, terdapat satu pelajaran abadi bahwa kedaulatan tidak akan pernah datang sebagai hadiah, melainkan harus diperjuangkan sendiri dengan keberanian, kesabaran, dan kecerdasan. Persetujuan New York juga mengajarkan kita tentang pentingnya keteguhan dalam mempertahankan keutuhan wilayah nasional, namun juga bijaksana dalam memilih jalur penyelesaian. Di tengah dunia yang terus berubah, Indonesia harus tetap siap di segala lini baik diplomasi maupun pertahanan untuk menjaga Tanah Air Udara kita yang satu dan tak terbagi bagi.
Akhirnya, jangan kita lupakan jika dahulu kita pernah mampu membuat dunia tunduk pada diplomasi yang didukung kekuatan udara dan tekad nasional, maka jangan sampai hari ini kita justru menyerahkan kedaulatan udara kita kembali kepada warisan kolonial dengan alasan yang justru bertentangan dengan semangat Trikora. Karena kedaulatan itu mutlak. Dan wilayah udara adalah bagian tak terpisahkan dari Tanah Air kita. Tanah , Air , Udara ku Indonesia.
Referensi:
- Soekarno. (1961). Pidato Trikora di Yogyakarta, 19 Desember 1961.
- Bunker, E. (1962). United Nations New York Agreement Documentation.
- Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia since c.1200. Stanford University Press.
- Drooglever, P. (2009). An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua. Oneworld.
- Departemen Luar Negeri RI. (1962). Dokumen Persetujuan New York.
- Chappy Hakim. (2013). Air Power Indonesia. PBK – Penerbit Buku Kompas.
Jakarta 2 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia