Pagi hari itu , Rabu tanggal 22 Mei 2019 yang menurut rencana akan diumumkan secara resmi hasil dari Pemilu 2019 telah batal, karena KPU sudah mengumumkannya pada tanggal 21 Mei yang lalu.
Sebuah keputusan yang sudah diperhitungkan masak-masak tentunya dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya kerusuhan seperti yang terlihat gejalanya diberbagai medsos belakangan ini.
Kenyataannya tetap saja terjadi kerusuhan dibeberapa tempat yang alhamdulilah dapat dengan cepat diatasi oleh aparat negara, Polri dan TNI.
Hiruk pikuk di media sosial beberapa hari belakangan ini tidak bisa tidak sangat membuat masyarakat cemas dengan apa yang akan terjadi pasca pengumuman hasil pemilu 2019. Sejak malam tadi hingga pagi hari kecemasan berkembang dengan aneka pemberitaan terutama di medsos yang tidak jelas sumber dan apalagi kebenarannya.
Hal tersebut secara otomatis membuat banyak kalangan membatasi niat keluar rumah sebelum memperoleh pemberitaan yang dapat dipercaya tentang situasi kondisi Jakarta pasca pengumuman hasil Pemilu.
Ditengah-tengah begitu banyak pujian dari berbagai negara maju tentang bagaimana “hebat” nya Indonesia berdemokrasi, pada kenyataannya atmosfer persaudaraan, persahabatan dan juga pertemanan telah terganggu pada setiap ritual 5 tahunan dalam proses memilih Pemimpin Negeri.
Pemilu terlihat sebagai ajang “permusuhan” yang memporakporandakan persahabatan bahkan persaudaraan. Ritual memilih “pemimpin” terlihat sebagai ajang “perang” yang digiring kearah panggung untuk “membunuh” atau “dibunuh”.
Kesemrawutan pemberitaan yang beredar telah mengantar banyak masyarakat luas menjadi “bingung” terhadap apa gerangan yang tengah terjadi. Untuk sementara pada intinya memang terlihat muncul kaum radikal yang hendak memaksakan kehendaknya dengan membonceng kesempatan pada proses ritual Pemilu.
Realitanya menjadi sulit untuk percaya kepada kenyataan bahwa banyak orang terpelajar, ilmuwan, intelektual, pemuka agama yang berada ditengah pusaran hiruk pikuk, tampil dengan hal-hal yang sangat jauh dari logika dan akal sehat dalam berpikir.
Pertanyaan sederhana yang patut dikemukakan adalah, betapa tega-teganya mereka itu mendisain sebuah kerusuhan pasca Pemilu, hanya untuk kepentingan mereka sendiri tanpa melihat lagi keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah berdiri puluhan tahun dan dibangun diatas perjuangan demikian banyak, keringat, darah dan bahkan nyawa para pahlawan dan perintis kemerdekaan.
Refleksi dari kecemasan dan kekhawatiran menghadapi kerusuhan di Ibu kota Jakarta, tercermin dengan lowongnya jalan-jalan protokol pada hari ini.
Sungguh terkutuk mereka yang mempunyai niat jahat membuat keonaran, kerusuhan yang berpotensi perpecahan negeri tercinta ini dengan memanfaatkan ritual memilih pemimpin negeri. Pemilu adalah ajang memilih pemimpin, bukan arena pertempuran bunuh membunuh satu dengan lainnya.
Marilah kita memanjatkan doa agar kerusuhan tidak terjadi menjadi lebih luas dan bagi siapa saja yang merasa “menang” apalagi yang “kalah” dalam pemilu kali ini sadar bahwa negeri ini harus dijaga bersama-sama eksistensinya.
Hindarilah terjerumus dalam siklus 5 tahunan menabuh genderang perang dengan permusuhan yang merusak persahabatan, pertemanan, persaudaraan dan tali silaturahmi.
Ingatlah tidak ada siapapun yang akan diuntungkan dengan terjadinya kerusuhan, keonaran dan keributan yang berkepanjangan merusak persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa.
Disadari bahwa setiap orang memang berhak memimpikan dan meraih kekuasaan dalam menuju kebahagiaan, namun harus disadari bahwa :
“Happiness is not about getting what you want all the time and do what you like, it is about loving what you have and being grateful for it to God for giving it”
Chappy Hakim (dari berbagai sumber)