Tinjauan dari Teori Hubungan Internasional, Ilmu Politik, dan Studi Pertahanan
Dunia pasca Perang Dingin pernah diharapkan akan menuju tatanan yang lebih stabil di bawah kepemimpinan unipolar Amerika Serikat. Namun, realitas abad ke-21 justru memperlihatkan gejala sebaliknya yang disebut global disorder suatu kondisi di mana tata kelola dunia internasional penuh ketidakpastian, multipolaritas tidak terkelola, serta konflik konvensional maupun non konvensional berkembang tanpa mekanisme penyelesaian yang efektif. Invasi Rusia ke Ukraina, konflik Israel Palestina, ketegangan Laut Tiongkok Selatan, hingga rivalitas teknologi Amerika Serikat Tiongkok merupakan cerminan dari disintegrasi tatanan global. Dalam situasi demikian, diskursus tentang kemungkinan Perang Dunia Ketiga kian mencuat. Bukan hanya dalam arti perang konvensional antarblok besar, tetapi juga dalam bentuk hibrida: perang siber, perang ekonomi, dan perang teknologi. Untuk memahami fenomena ini, penting meninjaunya dari tiga kerangka teori hubungan internasional, teori ilmu politik, dan teori studi pertahanan.
Perspektif Teori Hubungan Internasional
Teori hubungan internasional memberi tiga pendekatan utama yaitu realisme, liberalisme, dan konstruktivisme. Realisme berargumen bahwa negara selalu mengejar kepentingan nasional dan kekuasaan. Global disorder dipandang sebagai konsekuensi alami dari perebutan hegemoni. Rivalitas AS Tiongkok, kebangkitan Rusia, serta munculnya kekuatan menengah (India, Turki, Brasil) menegaskan logika realistis yakni perebutan pengaruh yang akan melahirkan konflik besar. Dalam kerangka ini, Perang Dunia Ketiga dapat dipicu oleh perebutan wilayah, akses energi, atau dominasi teknologi. Berikutnya adalah, Liberalisme menekankan pentingnya institusi internasional dan interdependensi ekonomi. Namun, realitas menunjukkan kegagalan lembaga seperti PBB atau WTO dalam meredam konflik besar. Sanksi terhadap Rusia tidak menghentikan invasi, sementara negosiasi multilateral kerap buntu. Global disorder menunjukkan keterbatasan liberalisme, di mana perdagangan dan organisasi internasional gagal menjadi penjamin perdamaian. Terakhir mengenai Konstruktivisme. Dalam hal imi melihat konflik global sebagai hasil dari identitas, narasi, dan konstruksi sosial. Nasionalisme Tiongkok, ideologi Rusia tentang “dunia multipolar”, serta wacana Barat mengenai “demokrasi melawan otoritarianisme” ternyata membentuk persepsi saling ancam. Konstruksi identitas ini tentu saja memperkuat kemungkinan terjadinya konflik global.
Perspektif Teori Ilmu Politik
Dalam ilmu politik, global disorder dapat dibaca melalui teori kekuasaan elit, teori kedaulatan, dan teori keputusan politik.
Teori Elit (C. Wright Mills) menjelaskan bahwa keputusan besar dunia ditentukan oleh segelintir elit militer, politik, dan ekonomi. Eskalasi menuju perang besar sangat mungkin bukan lahir dari aspirasi rakyat, melainkan dari keputusan elit global yang berjejaring dalam kompleks industri-militer. Fenomena ini terlihat pada Amerika Serikat dengan military industrial complex, atau Rusia dengan oligarki yang menopang kekuasaan Putin.
Teori Kedaulatan (Jean Bodin) menekankan kekuasaan tertinggi negara yang absolut. Dalam era global disorder, batas kedaulatan semakin rapuh. Serangan siber melampaui batas negara, drone menembus perbatasan, dan perang ekonomi menundukkan negara kecil. Jika kedaulatan dilemahkan maka konflik besar mudah menyebar karena setiap negara merasa tidak aman.
Teori Pengambilan Keputusan (Graham Allison, Essence of Decision). Teori ini mengajarkan bahwa keputusan menuju perang bukan sekadar hasil rasionalitas, melainkan juga dinamika birokrasi dan politik domestik. Krisis Ukraina maupun Laut Tiongkok Selatan bisa menjadi titik picu Perang Dunia Ketiga jika salah satu aktor mengambil keputusan eskalatif karena tekanan internal.
Perspektif Teori Studi Pertahanan
Dalam studi pertahanan, global disorder dianalisis melalui konsep keamanan kolektif, balance of power, dan evolusi teknologi militer. Keamanan Kolektif yang diusung PBB kini hampir lumpuh. Dewan Keamanan PBB terpecah antara AS, Rusia, dan Tiongkok. Mekanisme ini gagal mencegah invasi atau konflik. Balance of Power kini bergeser ke multipolaritas yang rapuh. AS dan NATO di Barat, Tiongkok Rusia sebagai poros tandingan, serta negara-negara menengah yang memainkan politik bebas aktif. Jika keseimbangan terganggu, misalnya dengan perang terbuka di Taiwan, sistem bisa runtuh ke arah konfrontasi global. Evolusi Teknologi Militer mempercepat ancaman perang dunia. Perang siber, kecerdasan buatan, satelit militer, dan drone menjadikan perang lebih murah, cepat, dan destruktif. Ancaman nuklir juga tetap menghantui. Perang konvensional bisa dengan cepat eskalatif menuju nuklir.
Implikasi bagi Indonesia
Sebagai negara kepulauan strategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik, Indonesia berada pada posisi rawan sekaligus penting. Implikasi global disorder dan potensi Perang Dunia Ketiga bagi RI adalah, dari sisi Geopolitik dimana Indonesia berada di jantung Indo Pasifik, kawasan utama rivalitas AS Tiongkok. Jika konflik meletus di Laut Tiongkok Selatan atau Taiwan, Indonesia akan terkena dampak langsung. Berikutnya aspek Ekonomi. Perang besar akan mengguncang rantai pasok global. Sebagai negara yang bergantung pada perdagangan internasional dan impor energi, RI akan menghadapi krisis pangan, energi, dan inflasi. Pada sisi Pertahanan. Indonesia harus memperkuat sistem pertahanan udara, laut, dan siber. Doktrin Total Defense dan pembangunan Sishanudnas (Sistem Pertahanan Udara Nasional) menjadi mutlak untuk menghadapi potensi serangan hibrida. Selanjutnya Politik Luar Negeri. Politik luar negeri bebas aktif sekarang ini menghadapi ujian serius. Indonesia harus menjaga keseimbangan antara AS, Tiongkok, dan kekuatan lain tanpa kehilangan kedaulatan. Peran di ASEAN dan G20 harus dimaksimalkan untuk menjadi honest broker dalam konflik global.
Demikianlah Global disorder adalah kondisi nyata abad ke-21, ditandai dengan krisis tata dunia, kegagalan institusi internasional, dan rivalitas antarblok besar. Jika dibiarkan, eskalasi menuju Perang Dunia Ketiga bukan mustahil. Dari perspektif hubungan internasional, politik, dan pertahanan, jelas bahwa ancaman tersebut bukan sekadar fiksi, melainkan sudah berujud potensi nyata. Bagi Indonesia, global disorder harus menjadi peringatan untuk memperkuat pertahanan nasional, mengonsolidasikan kedaulatan udara, laut, dan siber, serta menegaskan politik luar negeri bebas aktif yang cerdas. Indonesia tidak boleh menjadi korban, melainkan harus tampil sebagai penyeimbang strategis di kawasan Indo-Pasifik. Dengan demikian, RI dapat menjaga eksistensinya di tengah badai global, sekaligus membuktikan bahwa negara berkembang pun dapat memainkan peran penting dalam mencegah pecahnya Perang Dunia Ketiga. Disinilah diperlukannya kebijakan yang bersandar pada pemikiran yang cerdas.
Jakarta 27 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia