Pada hari Kamis tanggal 20 Juni, saya sempat mengisi acara di TVRI pada program Indonesia Bicara pukul 2230 wib, yang di rekam pada siang harinya jam 1400 hingga 1500 wib. Acara yang di pandu oleh presenter mantan Abang Jakarta Imam Priyono menghadirkan nara sumber Bapak Taufik dari KPPU dan saya sendiri. Topik yang dibahas adalah tentang perkembangan terakhir dari dunia penerbangan Indonesia yang heboh dengan melonjaknya harga tiket yang dinilai sangat mahal. Pada sisi lainnya secara bersamaan muncul ide untuk mengundang maskapai penerbangan asing agar persaingan yang sehat terjadi sehingga diharapkan harga tiket dapat turun lagi dengan harga yang terjangkau.
Harga Tiket Mahal
Pembahasan dimulai dengan melihat terlebih dahulu mengapa harga tiket menjadi mahal. Saya menjelaskan sebagai pengantar tentang terminologi mahal yang dikenakan terhadap harga tiket pesawat terbang. Mahal tentu saja harus dihadapkan kepada bandingannya, yaitu mahal terhadap apa.
Melihat sistem transportasi secara keseluruhan, maka ada moda transportasi Darat, Kereta Api dan moda Angkutan laut. Nah, bila kita membandingkannya dengan moda transportasi Udara, maka sangat wajar sekali harga tiket pesawat terbang masuk dalam kategori mahal.
Harga yang mahal itu menjadi masuk akal karena moda angkutan udara memberikan pelayanan transportasi yang cepat dan aman, dibanding dengan moda angkutan darat, kereta api dan laut. Pada titik ini , maka terminologi harga tiket pesawat terbang mahal, menjadi masuk akal, alias wajar saja.
Masalah yang dihadapi, sebenarnya adalah timbulnya lonjakan harga yang sangat signifikan dari harga tiket pesawat terbang dimulai sejak awal bulan puasa yang lalu. Arus lonjakan penumpang yang akan “nyadran” menjadi terhambat oleh harga tiket yang dinilai naik drastis menjadi sangat mahal.
Lonjakan harga yang dinilai sangat tidak masuk akal inilah yang memicu kemarahan banyak pihak, mengapa hal tersebut bisa terjadi. Saat saya coba mencari tahu kepada teman-teman di kalangan penerbangan mengenai hal ini, saya memperoleh jawaban yang sangat sederhana dan mudah dimengerti. Penjelasannya adalah bahwa belakangan ini harga Avtur, bahan bakar pesawat terbang naik dan demikian pula pada waktu yang hampir bersamaan kurs US Dollar terhadap Rupiah juga mengalami kenaikan.
Faktor inilah yang memicu naiknya harga tiket yang dinilai ugal-ugalan. Mengapa kenaikan harga tiket terlihat sangat tinggi, penjelasannya adalah ternyata bukan hanya sekedar faktor kenaikan harga Avtur dan kurs US Dollar saja yang menjadi pemicunya, akan tetapi ada faktor lain yang juga sangat mempengaruhi yaitu bahwa belanja modal Maskapai Penerbangan (membayar sewa pesawat, asuransi, pemeliharaan pesawat, training awak pesawat, spare parts, dan lain-lain) dilakukan dengan transaksi US Dollar, sementara pendapatan Maskapai Penerbangan dalam segmen rute domestik adalah dalam bentuk Rupiah (IDR).
Disamping itu masih ada beberapa ongkos yang juga membebani seperti pajak dan jasa pelayanan bandara serta opersional penerbangan. Jadi dapat dibayangkan “tekor” nya Maskapai Penerbangan dalam mengelola penerbangan rute domestik, terlebih waktunya memang bertepatan dengan “peak season” ketika banyak orang akan bepergian menjelang bulan puasa dan lebaran. Nah, kiranya kesemua hal itu, untuk sementara dapat memberikan penjelasan awal tentang melonjaknya harga tiket pesawat terbang yang naik sangat tinggi belakangan ini.
Latar Belakang Penyebab harga tiket mahal
Dari penjelasan diatas, maka sebenarnya sudah dengan mudah dapat segera dimengerti tentang mengapa harga tiket pesawat terbang belakangan ini naik sangat tinggi. Namun kita dapat mengulasnya lebih mendalam untuk memperoleh akar masalah yang telah terjadi sehingga menyebabkan kehebohan belakangan ini dalam menyikapi harga tiket pesawat terbang yang melambung tinggi.
Selama lebih kurang 15 hingga 20 tahun belakangan ini, Indonesia memang tengah menikmati pertumbuhan penumpang pesawat udara yang sangat “fantastis”. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain, telah dibukanya keran de-regulasi dalam kesempatan pihak swasta untuk dapat mendirikan Maskapai Penerbangan.
Pada waktu yang relatif bersamaan, perkembangan dunia penerbangan internasional pasca peristiwa 911, memberikan banyak peluang kemudahan bagi mereka (Pengusaha Maskapai Pemerbangan baru) yang membutuhkan pesawat terbang untuk di beli atau sewa beli.
Perkembangan ini ditandai dengan mengalirnya banyak sekali pesawat brand new yang berdatangan untuk Maskapai Penerbangan terutama Maskapai Penerbangan pendatang baru. Seiring dengan perkembangan tersebut disisi yang bersamaan muncul model bisnis mutakhir dengan ciri penjualan tiket murah.
Model Maskapai Low Cost Carrier atau LCC berkembang dengan sangat masif yang tidak bisa dihindari untuk terjadinya persaingan yang kurang sehat. Persaingan dalam menjual tiket pesawat yang terkesan “adu murah” alias banting harga. Moto Low Cost Carrier berkembang dengan banyak slogan-slogan dahsyat antara lain Everyone can Fly dan lain sebagainya. Persaingan gencar yang terjadi telah mengakibatkan perebutan slot penerbangan terutama sekali slot penerbangan pada rute yang dinilai gemuk.
Adu murah dan rebutan slot penerbangan rute gemuk tercermin antara lain, menjadi terbuka saat terjadinya kecelakaan pesawat terbang Air Asia Surabaya ke Singapura yang ternyata ijin terbangnya tidak pada hari yang tercantum dalam ijin terbang pada slot rute tersebut. Demikianlah perang adu murah yang bernuansa kompetisi kurang sehat terjadi dengan pada akhirnya dikeluarkan regulasi harga tiket yang dikenal dengan regulasi harga tiket batas atas dan batas bawah.
Pada era perang harga dan kompetisi yang terlihat kurang sehat terjadi, namun pada kenyataannya rentang waktu itu benar-benar telah memberikan banyak keuntungan bagi para pengguna jasa angkutan udara. Dapat dikatakan bahwa pada rentang waktu itu, konsumen pengguna jasa angkutan udara benar-benar telah dimanjakan dengan harga tiket murah. Dampak dari pertumbuhan penumpang yang begitu fantastis telah pula memberikan keuntungan kepada usaha perhotelan di daerah-daerah terutama daerah tujuan wisata dalam negeri dan juga tentu saja mendorong laju perkembagan ekonomi secara nasional.
Tidak begitu disadari bahwa pada rentang waktu itu pula terjadi demikian banyak kecelakaan pesawat terbang yang terjadi. Kecelakaan pesawat terbang yang di kala itu telah berdampak diturunkannya peringkat keselamatan terbang Indonesia oleh FAA (Federal Aviation Administration). Indonesia diturunkan peringkatnya masuk kedalam negara-negara kategori 2 oleh FAA yang berarti bahwa Indonesia telah dinilai tidak sanggup memenuhi persyaratan standar keselamatan terbang internasional seperti yang di tentukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization). Tidak itu saja, Indonesia juga telah di ban (larangan terbang) oleh Otoritas Penerbangan Uni Eropa karena penyebab yang sama.
Beriringan dengan itu, sebagai akibat dari sangat terkonsentrasinya dunia penerbangan Indonesia kepada pertumbuhan penumpang saja, kepada penambahan slot penerbangan belaka, maka tanpa disadari secara perlahan tetapi pasti, kita berhadapan dengan masalah kekurangan tenaga sdm dan tertinggalnya infrastruktur penerbangan.
Hal ini ditandai dengan begitu seringnya terjadi delay dan bahkan cancel nya penerbangan di dalam negeri. Puncaknya terjadi pada akhir tahun 2015, dimana delay penerbangan di Cengkareng mencapai hingga 10 dan 12 jam. Kehebohan di Cengkareng tidak bisa dihindari karena Bandar Udara tersebut ternyata sudah kewalahan dalam melayani pertumbuhan yang tidak di respon dengan menambah fasilitas pelayanan penumpang.
Permasalahan ini di tanggapi dengan memindahkan saja kelebihan slot penerbangan di Cengkareng yang sudah melewati batas itu ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Keputusan yang diambil tanpa pertimbangan yang matang dan tanpa menyelidiki terlebih dahulu penyebab kelebihan penumpang di Cengkareng telah menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Dua pesawat terbang sipil komersial bertabrakan di Halim hanya beberapa waktu saja ketika kelebihan slot penerbangan dipindah dari Cengkareng ke Halim.
Kekurangan sdm penerbangan muncul dipermukaan dengan ujud kekurangan tenaga Pilot yang sekali lagi tanpa dicermati terlebih dahulu tentang penyebabnya, segera dicarikan solusi cepat yaitu dengan mendatangkan Pilot Asing ke dalam Maskapai penerbangan Domestik. Hal yang untuk pertamakalinya terjadi dalam sejarah penerbangan Indonesia. Tidak mengherankan kalau kemudian dalam beberapa waktu saja, dunia penerbangan kita kemudian justru mengeluhkan tentang telah terjadinya kondisi kelebihan Pilot di Indonesia. Banyak lulusan sekolah Pilot yang menganggur tidak memperoleh pekerjaan. Belum lagi bila dilihat lebih jauh pada tenaga teknisi pesawat terbang dan para Air Traffic Controller yang juga berhadapan dengan kondisi kekurangan tenaga baik jumlah maupun kualitasnya. Kaderisasi para senior yang berangsur memasuki usia pensiun, terlambat diantisipasi.
Pada sisi lainnya, di era itu pula kita menyaksikan bangkrut dan tutupnya satu persatu Maskapai Penerbangan Domestik, termasuk yang sudah berumur panjang seperti Bouraq, Sempati, Deraya, Batavia dan lain-lainnya yang berguguran kalah bersaing dengan Maskapai Penerbangan pendatang baru. Titik kulminasinya adalah ditutupnya Maskapai Penerbangan yang selama ini melayani rute penerbangan perintis Merpati Nusantara Airlines (MNA) yang merupakan perusahaan milik negara. Seiring dengan itu pula terkuak pula berita tentang Maskapai Garuda, perusahaan milik negara lainnya yang ternyata menderita kerugian terus menerus.
Karena tidak terlihat adanya penyelidikan yang dilakukan terhadap beberapa masalah yang muncul pada era itu, maka hingga kini kita tidak pernah mengetahui dengan pasti apakah ada hubungannya, tarif murah, kecelakaan pesawat terbang dengan laju pertumbuhan penumpang setiap tahunnya dalam 10 – 15 tahun belakangan ini serta gulung tikarnya sejumlah Maskapai Penerbangan Nasional. Yang pasti pada rentang waktu itu, dunia penerbangan kita berhadapan dengan masalah serius dari satu persoalan ke persoalan lainnya yang muncul secara berangkai bergulir dan semakin lama menjadi semakin rumit. Mungkin saja persoalan dari kehebohan naiknya harga tiket belakangan ini adalah juga merupakan bagian mata rantai dari bergulirnya permasalahan demi permasalahan yang tengah kita hadapi bersama.
Maskapai Asing
Ditengah tengah riuh rendahnya kehebohan masyarakat dalam menghadapi lonjakan harga tiket penerbangan yang dinilai melambung tinggi, keluar ide untuk mendatangkan Maskapai Asing untuk masuk melayani rute domestik. Menjadi sangat menarik karena ide mendatangkan Maskapai Asing untuk melayani rute domestik tujuannya adalah agar terjadi persaingan yang sehat dan diharapkan harga tiket akan menjadi turun dan murah.
Apabila benar bahwa akan diambil opsi memecahkan masalah harga tiket yang mahal dengan cara mendatangkan Maskapai Asing untuk melayani rute penerbangan domestik, maka minimal keputusan ini akan merupakan pengulangan dari sebuah solusi yang dilakukan tanpa proses investigasi mendalam dan cermat terlebih dahulu. Investigasi tentang mengapa harga tiket belakangan ini tiba-tiba menjadi mahal.
Lebih jauh dari itu, mengundang masuk Maskapai Asing untuk menjalani rute penerbangan di dalam negeri akan berhadapan dengan regulasi Internasional yang tertuang dalam artiklel 7 Konvensi Chicago tahun 1944 dan beberapa perundangan nasional antara lain Undang-undang no 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Katakanlah apabila solusi ini yang akan dipilih , maka pekerjaan rumah yang harus dikerjakan terlebih dahulu adalah penyesuaian regulasi baik terhadap peraturan Internasional maupun perundang-undangan Indonesia sendiri.
Bila yang dimaksud dengan mendatangkan Maskapai Asing ke dalam negeri dalam kerangka regulasi investasi kepemilikan 51 – 49%, maka sebenarnya peraturan ini memang sudah berlaku sejak relatif lama. Pada kenyataannya tidak ada yang tertarik datang menggelar Maskapai Penerbangan Asing di dalam negeri. Bahkan beberapa waktu lalu Maskapai Mandala Airlines yang berkongsi dengan pihak Asing hanya bertahan dalam waktu yang sangat singkat untuk kemudian sang investor angkat kaki dari Indonesia. Kesimpulannya adalah, mengundang Maskapai Asing masuk untuk melayani rute domestik agar dapat mencapai tujuan turunnya harga tiket masih memerlukan jalan panjang dan berliku untuk dapat mewujudkannya.
Kesimpulan dan Penutup
Dari keseluruhan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa persoalan harga tiket yang melonjak mahal belakangan ini adalah hanya merupakan penampilan dari puncak gunung es yang menyimpan banyak permasahalan di dalamnya. Permasalahan yang banyak dan kurang atau tidak nampak dipermukaan tentu saja menuntut langkah penyelesaian terlebih dahulu sebelum mencari solusi yang benar-benar tepat dan tuntas bagi menyelesaikan masalah puncak gunung es – yaitu persoalan “mahalnya harga tiket pesawat”.
Melihat demikian banyak persoalan dalam bidang penerbangan nasional, kiranya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dunia penerbangan kita memang tengah menanti penanganan yang sangat fundamental sifatnya. Beberapa hal yang penting dapat dengan mudah di ketahui dalam hal ini adalah tentang perencanaan strategis jangka panjang yang hingga kini belum terlihat atau tersosialisasi dengan baik. (Contohnya adalah bahwa hampir setiap daerah menginginkan daerahnya memiliki Bandara yang berstatus sebagai International Airport).
Dari sebuah perencanaan yang matang akan dapat dilihat dan disusun dengan mudah langkah-langkah perbaikan yang bertahap serta bersandar pada skala prioritas yang jelas acuannya. Disisi lainnya keterpaduan dalam menangani masalah-masalah penerbangan nasional sudah menuntut adanya sebuah wadah organisasi atau lembaga yang mampu menembus sekat-sekat lintas sektoral berbagai soal yang menyangkut pengelolaan bidang pengembangan penerbangan nasional. Bisa dilihat antara lain pada penjelasan tentang harga tiket dari beberapa institusi pemerintah (BUMN – Kemhub – Kemenkeu dll) yang isinya jauh dari selaras bahkan cenderung bertentangan satu dengan lainnya).
Berbagai persoalan dibidang aviasi yang muncul di Indonesia jelas-jelas terlihat sebagai akibat dari rendahnya mekanisme kerja yang terpadu secara nasional dalam pengelolaan penerbangan di Indonesia. Sekedar salah satu contoh saja adalah betapa International Airport Kertajati yang megah dan telah selesai dibangun dengan biaya cukup tinggi itu, hingga saat ini belum juga dapat beroperasi sesuai harapan, dengan penyebab yang tidak jelas.
Menghadapi demikian banyak persoalan yang tengah dihadapi dalam dunia penerbangan kita, yang bahkan terus bergulirnya permasalahan yang datang silih berganti tidak mustahil akan membuat frustasi banyak pihak. Agar tidak terjerumus dalam jurang keputus-asaan mungkin perlu juga sejenak merenungi apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Alva Edison, sang jenius yang antara lain terkenal sebagai penemu lampu pijar. Edison mengatakan “I haven’t failed. I’ve just found 10.000 ways that won’t work”. Terkemahan bebasnya lebih kurang sebagai berikut : Saya tidak pernah gagal, Saya hanya menghadapi 10.000 cara yang ternyata tidak membawa keberhasilan.
Demikianlah secara garis besar pokok-pokok pembicaraan pada sesi Indonesia bicara di TVRI pada tengah malam hari Kamis tanggal 20 Juni 2019. Pembicaraan yang membahas tentang perkembangan terakhir dari dunia penerbangan kita yang dari waktu ke waktu selalu berhadapan dengan banyak masalah. Dunia Penerbangan kita yang kini tengah berada dalam pusaran masalah harga tiket yang mahal dan kemungkinan pilihan solusi mendatangkan Maskapai Penerbangan Asing. Semoga Bermanfaat .
Jakarta , Minggu 23 Juni 2019
Chappy Hakim,
Pusat Studi Air Power Indonesia