Pendahuluan
Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara yang besar dan luas serta berbentuk kepulauan. Selain itu posisi Indonesia terletak pada tempat yang sangat strategis, berada diantara dua benua dan dua samudera. Dengan sendirinya pada posisi yang sedemikian itu maka Indonesia menjadi pusat lintas perdagangan global. Kawasan Selat Malaka adalah merupakan salah satu lokasi lintas perdagangan tersibuk di dunia.
Jumlah penduduk Indonesia merujuk kepada data terakhir pada situs BPS menyebut bahwa pada tahun 2024 penduduk Indonesia telah mencapai jumlah 281.603.800 jiwa. Luas daratan Indonesia adalah 1.9 juta km2, merupakan 1/3 dari luas negeri ini. Sementara itu luas perairan mencakup 3.2 juta km2 atau lebih kurang 2/3 dari luas wilayah. Prof Dr Priyatna Abdurrasyid, pakar dan pelopor Hukum Udara dan Antariksa menyebut bahwa wilayah Udara NKRI adalah 3/3 dari luas negeri ini. Itu sebab maka wilayah udara menjadi sangat Istimewa dan penting untuk menjadi perhatian kita bersama.
Disisi lain Indonesia adalah merupakan salah satu negara terkaya di dunia dalam hal sumber daya alam yang dikandungnya. Tidak itu saja, dengan keindahan alam yang tersebar hampir merata, maka Indonesia telah menjadi pusat tujuan wisata yang sangat atraktif. Kondisi yang seperti itu telah membuat jejaring perhubungan terutama perhubungan udara menjadi sangat penting untuk dapat terselenggara secara terorganisir. Eksistensi keberadaan NKRI menjadi sangat tergantung pada sistem perhubungan nasional yang mencakup perhubungan udara , darat, laut dan Kereta Api. Sistem perhubungan nasional jelas menuntut beberapa hal penting seperti antara lain, sektor pelayanan masyarakat bagi kebutuhan angkutan barang dan orang. Demikian pula halnya dengan unsur dukungan administrasi logistik bagi tata Kelola roda pemerintahan dan kebutuhan penyebaran kebutuhan pokok kehidupan sehari hari. Kesemua itu akan menjadi urat nadi dari bergulirnya roda pertumbuhan ekonomi dan upaya pemerataan pembangunan secara keseluruhan. Intinya Transportasi, dalam hal ini transportasi udara menjadi Conditio Sine Qua Non.
Dinamika perkembangan Otoritas Penerbangan Indonesia
Indonesia sebagai negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) atau (UNO) United Nations Organization secara otomatis menjadi member state atau Contracting State dari ICAO (International Civil Aviation Organization). Professor Priyatna sebagai expert dibidang hukum udara mengatakan bahwa Aviation menjadi penting posisinya, karena bila kita berbicara mengenai penerbangan maka sebenarnya kita tengah membahas tentang masalah yang Inter Nation sifatnya. Otoritas negara atau pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap isu penerbangan sipil komersial biasanya berada di Department of Transportation. Di Amerika Serikat otoritas penerbangan sipil berada dalam kendali FAA (Federal Aviation Administration) dibawah Department of Transportation. Di Australia pengelolaan penerbangan sipil berada di CASA (Civil Aviation Safety Authority dibawah Depatement of Infrastructure, Transport, Regional Development, Communications and the Arts. Mirip dengan CAA (Civil Aviation Authority) di Inggris berada dibawah Department for Transport. Di Indonesia wewenang pengelolaan penerbangan sipil berada di Direktorat Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan.
Dalam hubungan otoritas penerbangan Indonesia dengan ICAO patut menjadi catatan bahwa Indonesia merupakan anggota Dewan ICAO Kategori III dari tahun 1962 sampai tahun 2001. Berikutnya Indonesia beberapa kali gagal pada pemilihan anggota Dewan ICAO untuk periode setelah 2001. Indonesia sangat berkepentingan untuk menjadi anggota Dewan ICAO mengingat Indonesia memiliki wilayah udara yang sangat luas, yang dilalui lebih kurang 240 rute udara domestik yang menghubungkan 125 kota di Indonesia serta lebih dari 50 rute udara internasional yang menghubungkan kota kota di 13 negara. Indonesia juga memiliki lebih dari 230 bandara domestik dan internasional.
Catatan berikutnya adalah, ketika terjadi banyak kecelakaan pesawat terbang fatal pada awal tahun 2000-an dan mencapai puncaknya di tahun 2007. Indonesia di downgarade oleh FAA sebagai kelompok negara kategori 2 yaitu kelompok negara negara menurut penilaian FAA yang tidak comply dengan International Aviation Safety Standard seperti yang tercantum dalam regulasi ICAO. Ketika itu Presiden RI membentuk Timnas EKKT (Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi) yang berhasil sukses mengurangi banyak kecelakaan. Salah satu rekomendasi Timnas EKKT adalah melebur pengelola ATC dalam satu wadah single provider yang sekarang dikenal dengan nama Indonesia AirNav. Hasil kerja Timnas EKKT memperoleh apresiasi yang tinggi dari Presiden, sehingga Jusman SD salah satu anggota EKKT langsung diangkat menjadi Menteri Perhubungan. Salah satu hasil fenomenal selama Jusman SD menjadi Menhub adalah dihasilkannya UU tentang Penerbangan no1 tahun 2009. Perbaikan demi perbaikan berjalan dan bergulir terus sehigga pada tahun 2016 otoritas penerbangan Indonesia meraih hasil dari kerja kerasnya yaitu FAA meng upgrade Indonesia menjadi negara kelompok kategori 1 FAA yaitu negara yang mampu untuk comply dengan International Safety Standard seperti tercantum dalam regulasi ICAO. Hal ini mengikuti hasil evaluasi USOAP ICAO (Universal Safety Oversight Audit Program) yang hasilnya Indonesia meraih nilai diatas rata rata dunia (above global average). Demikian pula dengan hasil terakhir USOAP yang dilaksanakan baru baru ini.
Khusus dalam perjalanan 10 tahun terakhir , Kementrian Perhubungan telah berhasil merampungkan Pembangunan 26 Bandara baru serta revitalisasi 38 Bandara lainnya.
Pertumbuhan Angkutan Penumpang dan Barang
Catatan IATA (International Air Transport Association) menunjukkan tren yang membaik dalam pertumbuhan penumpang dan barang di kawasan Indo Pasifik.
Khusus pertumbuhan penumpang menurut penjelasan Dirjen IATA Willie Walsh, sejak tahun 2022 di kawasan Asia Pasifik sudah mencapai angka 73 % dari prapandemi. Menjelang akhir 2024 International Flight mengalami kenaikan 20.9 % sedangkan untuk Domestic Flight 10.4%.
Seperti kita pahami bersama sudah sejak akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000 pertumbuhan ekonomi telah berpindah dari kawasan Samudera Atlantik ke kawasan Indian and Pacific ocean. Salah satu penjuru dari kenaikan pertumbuhan ekonomi yang berpindah itu adalah sektor transportasi udara. Fenomena ini dengan mudah dapat dilihat dari keramaian dan popularitas International Airshow tahun ganjil di LeBourget yang bergeser ke LIMA (Langkawi International Maritime and Aerospace Exhibition) Malaysia dan Internatonal Airshow tahun genap dari Farnborough yang bergeser ke Singapore International Airshow.
Demikian pula kebutuhan pasar bagi sistem transportasi udara di kawasan pasifik berkembang dan lebih banyak didominasi Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta International Airshow baik di LIMA maupun Singapura yang langsung berkunjung ke Indonesia sebelum dan atau sesudah pelaksanaan International Airshow. Sebuah indikasi nyata tentang arah perkembangan market Aviation. Tahun lalu, bahkan Boeing Manufacture memerlukan untuk membuka kantor perwakilan khusus di Jakarta setelah melihat gejala bahwa Indonesia akan menjadi pasar penerbangan keempat terbesar di dunia.
Rute gemuk andalan Indonesia adalah jejaring kota besar domestik dan kota besar regional maupun global. Disamping tentu saja rute penerbangan umroh dan Haji yang semakin hari menjadi semakin menjadi ajang kompetisi ketat Maskapai Penerbangan dalam dan luar negeri.
Tantangan kedepan dalam pertumbuhan penumpang
Dengan kondisi yang seperti itu, maka Indonesia sekarang ini dan kedepan sangat membutuhkan setidaknya 4 maskapai penerbangan yang kredibel dalam melayani jejaring penerbangan domestik yang menghubungkan kota kota besar dalam dan luar negeri. Maskapai penerbangan perintis yang menghubungkan jejaring kota kota kecil di kawasan perbatasan. Maskapai penerbangan charter bagi kebutuhan investor dan Maskapai penerbangan kargo untuk kebutuhan angkutan bahan kebutuhan pokok sehari hari sebagai poros utama pemutar roda ekonomi dan pendukung upaya pemerataan Pembangunan.
Penggunaan aerodrome untuk keperluan penerbangan sipil komersial dan kebutuhan penerbangan militer bagi keperluan pertahanan keamanan negara sudah memerlukan pembenahan yang lebih baik lagi. Demikian pula penataan dalam menentukan International Airport di kawasan Indonesia Barat Tengah dan Timur perlu kajian akademik berkait dengan pertimbangan efisiensi serta aspek National Security serta titik titik tujuan wisata nasional.
Wilayah Udara NKRI pada hakikatnya adalah merupakan Sumber Daya Alam (SDA). Konstitusi Negara menggaris bawahi bahwa SDA harus dikuasai negara dan diperuntukkan bagi semaksimal kesejahteraan rakyat. Seluruh faktor faktor itulah yang kiranya memerlukan kajian mendalam bagi usaha bersama meningkatkan Pembangunan nasional secara keseluruhan.
Wilayah udara diatas teritori NKRI sebagai SDA mengandung makna sebagai sebuah potensi yang dapat memberikan keuntungan bagi kesejahteraan rakyat. Bersamaan dengan itu wilayah udara teritori NKRI juga merupakan wilayah udara kedaulatan yang harus senantiasa dijaga keberadaannya sebagai lambing dari keberadaan atau eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara. Dengan kondisi seperti itu maka setidaknya ada dua kegiatan penerbangan yang akan beraktifitas di wilayah udara NKRI yaitu penerbangan sipil (komersial) dan penerbangan bagi keperluan pertahanan keamanan negara atau penerbangan militer. Pada titik inilah diperlukan sinkronisasi dari kedua kegiatan penerbangan tersebut. Penerbangan sipil berada dibawah koordinasi Otoritas penerbangan sipil nasional sedangkan penerbangan militer berada langsung dibawah komando dan pengendalian Angkatan Udara / Mabes TNI – Kementrian Pertahanan RI. Dalam perkembangan kegiatan penerbangan dari waktu ke waktu maka kemuingkinan gesekan kepentingan antara penerbangan sipil dan militer tidak bisa dihindari. Contoh sederhana adalah soal penggunaan aerodrome bagi kepentingan penerbangan sipil dan penerbangan militer. Penggunaan Pangkalan Angkatan Udara Halim , Jogya, Surabaya dan beberapa lainnya adalah merupakan contoh sederhana yang terlihat jelas di permukaan.
Halim Perdanakusuma yang merupakan restricted area karena merupakan basis markas komando pertahanan udara nasional kini sudah terpaksa menjadi public area dengan keberadaan penerbangan sipil serta stasiun KA Cepat Whoos. Persoalan ini sudah menjadi permasalahan serius yang menuntut jalan keluar dalam menjaga keseimbangan kepentingan dalam pengelolaan wilayah udara nasional. Pada titik ini sudah dipandang perlu untuk memikirkan sebuah badan ditingkat strategis yang dapat menjadi jembatan solusi yang baik bagi persoalan gesekan yang terjadi dilapangan dengan cara yang lebih komprehensif. Mencari jalan keluar yang berbasis kajian mendalam pada masing masing kepentingan sehingga memperoleh Solusi penyelesaian yang tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Penyelesaian yang tergesa gesa karena tuntutan kebutuhan di lapangan dipastikan akan merugikan salah satu pihak. Kerugian pihak manapun dalam mencapai Solusi pada hakikatnya adalah menjadi beban kerugian negara pada akhirnya. Hal ini sudah tidak dapat dibiarkan menjadi semakin melebar karena akan menjadi batu sandungan dalam pola perkembangan Pembangunan nasional secara keseluruhan.
Pada tahun 1955, tertuang dalam lembaran negara no 5 telah dibentuk Dewan Penerbangan. Sebuah Dewan yang menjadi forum bersama dalam membahas seluruh potensi gesekan kepentingan antara penerbangan sipil dan penerbanan militer. Dewan ini dipimpin bergantian oleh Menteri Perhubungan dan Menteri Pertahanan. Anggota Dewan terdiri dari perwakilan pejabat dari beberapa institusi terkait dalam penyelenggaraan penerbangan di NKRI, dengan KSAU yang menjadi anggota tetap Dewan Penerbangan. Sebuah catatan penting ketika itu di tahun 1955 NKRI sebagai sebuah negara kepulauan belum memiliki Dewan Maritim atau Dewan Kelautan akan tetapi sudah membentuk Dewan Penerbangan. Permasalahannya adalah ketika itu Angkatan Udara yang merintis keberadaan penerbangan sipil dengan DAUM Dinas Angkutan Udara Militer sudah melihat potensi friksi kepentingan dilapangan dalam pelaksanaan operasi penerbangan di Indonesia. Ketika itulah Presiden bersama dengan Menteri Perhubungan, Menteri Pertahanan dan KSAU membentuk sebuah Dewan Penerbangan sebagai forum penyelesaian yang solutif dalam arti tidak merugikan kedua belah pihak karena keduanya memiliki misi yang sama dalam menuju cita cita NKRI.