Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Hidup di Indonesia Semakin Hari Semakin “Menakutkan”
    Article

    Hidup di Indonesia Semakin Hari Semakin “Menakutkan”

    Chappy HakimBy Chappy Hakim08/10/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Oleh: Chappy Hakim

    Di negeri ini, setiap harinya makin banyak hal kecil yang dulu biasa dilakukan dengan leluasa, kini berubah menjadi sumber kecemasan. Orang menyanyi takut ditagih royalti. Orang jualan kopi takut disamakan dengan pelaku komersial berskala besar. Pemilik rumah tua pun cemas tiap kali surat PBB datang, sebab nilainya melonjak tanpa ampun. Sementara di balik semua itu, negara seperti hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai penagih tanpa ampun. Hidup di Indonesia, dari hari ke hari, semakin terasa… ”menakutkan”.  Akar dari semua ini  antara lain adalah cara negara menafsirkan kekuasaan dan hukum. Undang-Undang Hak Cipta misalnya, awalnya dibuat untuk melindungi hak moral dan ekonomi pencipta lagu. Tapi dalam penerapannya, semangat perlindungan itu berubah menjadi perangkat penindakan. Lagu dinyanyikan di warung kopi kecil atau pesta ulang tahun keluarga pun bisa dianggap pelanggaran. Ketakutan menyanyi kini bukan karena suara fals, melainkan karena ancaman royalti.

    Ahli hukum UI, Dr. Edmon Makarim, bahkan mengingatkan bahwa pemahaman tentang ruang publik harus diklarifikasi. “Hukum hak cipta bukan untuk menakut-nakuti orang yang hanya ingin bernyanyi di warung kopi atau acara keluarga,” ujarnya. Sayangnya, hukum tetap berjalan seperti mesin buta yakni mengenakan tarif dan denda tanpa membedakan antara konser komersial di stadion dan seorang  nenek yang menyanyi untuk cucunya di dapur. Di sisi lain, pengamat budaya Hikmat Darmawan menyebut ini sebagai bentuk kepanikan budaya. “Jika semua ruang dianggap publik dan harus bayar, kita menuju masyarakat paranoid secara budaya.” Suara musik, yang seharusnya mempersatukan, kini malah menjadi pemicu gugatan hukum. Bahkan Iwan Fals, musisi senior, merasa prihatin, “Kalau semua harus bayar untuk sekadar nyanyi, nanti rakyat jadi takut. Lagu seharusnya mempertemukan hati, bukan memisahkan dompet.”

    Tak hanya urusan lagu, pajak pun menjadi sumber keresahan harian. Belum reda soal naiknya iuran BPJS dan pungutan berbasis Nomor Induk Kependudukan, kini masyarakat dihadapkan pada kenaikan tajam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Banyak warga kaget, nilai pajak tanah atau rumah mereka tiba-tiba melonjak dua hingga lima kali lipat. Rumah yang ditempati sejak zaman orang tua kini dinilai seperti properti mewah. Bahkan warung kecil di gang sempit diperlakukan seakan sama dengan restoran besar di pusat kota. Pajak kendaraan bermotor, pajak hiburan, cukai rokok, pajak digital, hingga wacana pajak sepeda pernah muncul. Semua seakan menunjukkan satu hal yakni kesan bahwa negara tengah terus menerus mencari celah baru untuk menarik pungutan dari rakyat. Dan celah itu bukan semakin adil, justru semakin menekan kelompok bawah dan menengah yang tidak memiliki daya tawar sama sekali.  Jika semua lini kehidupan dikenakan pungutan, dan setiap kegiatan rakyat dibayang-bayangi sanksi hukum atau denda, maka lambat laun kepercayaan terhadap negara akan runtuh. Negara yang mestinya hadir melayani, kini terasa hanya hadir untuk menagih. Hukum yang mestinya melindungi rakyat, justru menjadi alat untuk menakuti. Bahkan nyanyian pun kini harus dibungkam.

    Hidup yang semestinya sederhana dan riang, kini penuh hitung-hitungan. Masyarakat dipaksa hidup dalam ketakutan administratif takut salah, takut didenda, takut disita. Kita tidak sedang hidup dalam negara hukum, tapi seolah-olah sedang hidup dalam negara “rekening”. Bangsa ini tidak kekurangan aturan, tapi kekurangan empati. Tidak kekurangan pejabat, tapi kekurangan pelayan publik sejati. Tidak kekurangan kebijakan, tapi kekurangan nurani. Di tengah derasnya penarikan pajak dan kewajiban, rakyat tidak melihat kejelasan arah negara ini mau dibawa ke mana. Yang terasa hanya satu hal yakni tekanan demi tekanan, pungutan demi pungutan, ketakutan demi ketakutan.  Belum lagi soal rekening nganggur yang akan di blokir. Jika negara tidak segera meninjau ulang pendekatan ini tidak hanya dari sisi legal, tetapi juga dari sisi moral dan keadilan sosial, maka bisa jadi Indonesia akan menjadi bangsa yang sepi senyum, miskin tawa, dan takut untuk bersuara. Dan itu adalah kemunduran paling menyedihkan bagi negeri yang katanya “Bhineka”, “beradab”, dan “berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat”.

    Diluar semua itu tentu saja, bukan berarti hak cipta boleh diabaikan. Para pencipta lagu, musisi, dan pegiat seni tetap layak mendapat penghargaan dan imbalan yang layak atas karya mereka. Dalam sistem yang sehat dan adil, hak ekonomi pencipta adalah bentuk pengakuan atas jerih payah kreatif yang sering kali butuh waktu, pengorbanan, dan ketekunan luar biasa. Oleh sebab itu, sistem royalti tetap perlu dijaga. Tapi bukan dengan cara menakut-nakuti rakyat kecil. Bukan dengan surat somasi yang menyerbu warung kopi atau permintaan pembayaran yang membingungkan hajatan rakyat di kampung.  Solusinya adalah pendekatan yang bersahabat dan partisipatif. Sosialisasi mengenai apa itu hak cipta dan bagaimana sistem royalti bekerja harus disampaikan dengan bahasa yang membumi. Pemerintah dan LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) perlu menjelaskan secara jujur dan terbuka: siapa yang harus bayar, berapa besarannya, bagaimana cara bayarnya, dan yang terpenting ke mana uang itu disalurkan. Jika masyarakat merasa diperlakukan sebagai mitra, bukan sebagai tersangka, maka kesadaran untuk menghormati hak cipta justru akan tumbuh dengan sendirinya. Rakyat Indonesia bukan anti hukum, mereka hanya takut pada sistem yang tidak memberi ruang dialog.  Bayangkan jika sistem royalti dikelola dengan wajah yang manusiawi pendampingan hukum bagi pelaku usaha kecil, klasifikasi jelas atas ruang publik versus privat, mekanisme pengaduan yang ramah, serta laporan tahunan yang transparan tentang distribusi dana. Niscaya, tidak akan ada lagi ketakutan untuk bernyanyi. Hak cipta akan tetap dihargai, dan hak rakyat untuk menikmati musik pun tidak hilang. Sebab musik sejatinya adalah jembatan perasaan, bukan tembok hukum yang memisahkan. Dan hukum yang baik adalah hukum yang membuat rakyat merasa aman bukan hanya sebagai warga negara, tetapi juga sebagai manusia yang ingin hidup dengan gembira.

    Demikianlah, mari kita bayangkan Indonesia yang ideal: negara yang tegas melindungi hak pencipta, sekaligus hangat memeluk rakyat yang ingin bernyanyi. Negara yang menghadirkan keadilan, bukan hanya dalam angka dan pasal, tetapi dalam rasa dan pemahaman. Sebab jika hukum bisa membuat rakyat bernyanyi dengan tenang, maka sesungguhnya negara itu telah berhasil merawat salah satu harta terindah dalam kehidupan yakni kebebasan untuk bergembira.

    Jakarta 8 Agustus 2025

    Chappy Hakim


    Referensi:

    1. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    2. Kompas.com. “LMK dan Persoalan Transparansi Royalti Musik.”
    3. CNN Indonesia. “PBB Naik, Warga Keluhkan Pajak Rumah Melonjak Tajam.”
    4. Tempo.co. “Royalti Lagu dan Keresahan UMKM.”
    5. Komentar publik: Edmon Makarim (UI), Hikmat Darmawan (pengamat budaya), Iwan Fals (musisi senior).
    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticlePERJALANAN LITERASI CHAPPY HAKIM Menyongsong Hari Kemerdekaan RI ke 80
    Next Article SEJARAH UNIVERSITAS NASIONAL (UNAS)
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Bagaimana Hidup Damai Dan Tenang

    08/10/2025
    Article

    Analisis Strategis: Kasus Tertembaknya Rafale India oleh Pakistan dalam Konflik Udara Mei 2025

    08/10/2025
    Article

    SEJARAH UNIVERSITAS NASIONAL (UNAS)

    08/10/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.