Dalam lanskap geopolitik yang terus berubah, kecepatan adaptasi sistem pertahanan nasional menjadi penentu kemenangan atau kekalahan. Artikel terbaru yang diterbitkan oleh Small Wars Journal menyuarakan kegelisahan mendalam atas ketertinggalan sistem akuisisi dan pengembangan pertahanan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman masa depan. Mengambil pelajaran dari konflik di Ukraina dan keberhasilan spektakuler India dalam Operasi Sindoor, artikel tersebut menyampaikan pesan tegas yaitu bahwa waktu untuk reformasi telah habis, dan AS tidak lagi bisa berlindung di balik keunggulan teknologinya semata.
Krisis Ketertinggalan: Struktur Lama di Medan Perang Baru
AS sejauh ini masih saja terpaku pada proses pengadaan militer yang terlalu lambat dan mahal. Sistem senjata yang dikembangkan selama puluhan tahun sering kali tidak relevan di medan perang modern yang dinamis, murah, dan otonom. Rudal Tomahawk seharga USD 2 juta per unit dan sistem HIMARS seharga USD 5 juta mungkin unggul secara teknis, tetapi tidak efisien dalam konflik berbiaya tinggi dan berdurasi panjang seperti yang terjadi di Ukraina.
Berbanding terbalik, India—negara berkembang dengan anggaran lebih kecil—berhasil menunjukkan efektivitas produksi dalam negeri melalui sistem seperti rudal BrahMos dan sistem Akashteer dalam Operasi Sindoor. Hal ini menunjukkan bahwa keunggulan bukan lagi hanya tentang kecanggihan, melainkan kecepatan produksi, skalabilitas, dan biaya rendah.
Industri Pertahanan AS: Monopoli yang Menghambat Inovasi
Salah satu akar permasalahan adalah struktur oligopolistik industri pertahanan AS yang didominasi segelintir kontraktor besar. Kurangnya kompetisi mengakibatkan minimnya tekanan untuk menurunkan biaya dan mempercepat inovasi. Di sisi lain, Ukraina memperlihatkan bahwa kerja sama erat antara militer, sektor swasta, dan kelompok pengembang lokal dapat menghasilkan sistem drone dan perangkat ISR berbasis kecerdasan buatan yang efisien dan tangguh di lapangan. Dengan kata lain, AS memerlukan ekosistem pertahanan yang lebih terbuka dan gesit, yang mampu merespons kebutuhan operasional secara real-time, bukan berdasarkan siklus anggaran tahunan yang kaku.
Agenda Reformasi untuk SISHAN AS
Mengacu pada temuan Small Wars Journal, berikut adalah beberapa langkah konkret yang perlu segera ditindaklanjuti oleh sistem pertahanan nasional AS:
1. Reformasi Proses Akuisisi
- Pemangkasan birokrasi dalam pengadaan senjata.
- Pembentukan task force khusus untuk fast-track prototipe dan pengujian senjata berbasis teknologi baru (AI, drone, swarm technology).
- Mengadopsi model rapid innovation seperti JUONS dan Rapid Equipping Force secara permanen, bukan hanya untuk keadaan darurat.
2. Diversifikasi Mitra Produksi
- Mendorong kerja sama dengan negara mitra seperti India, Israel, dan Korea Selatan, tidak hanya sebagai pembeli tetapi sebagai co-developer dan produsen lokal.
- Model “Make in India” terbukti memberi fleksibilitas produksi dan kedaulatan strategi bagi negara berkembang. AS bisa mereplikasi atau bahkan memperkuat skema ini.
3. Ekspansi Ekosistem Start-Up Pertahanan
- Memberikan ruang besar bagi startup militer dan teknologi kecil untuk mengembangkan solusi cepat, murah, dan fleksibel.
- Meniru pendekatan Israel dalam menciptakan military incubators dan unit adopsi cepat di bawah payung militer (IDF Innovation Units).
4. Fokus pada Senjata Modular dan Murah
- Transisi dari sistem besar dan mahal ke platform modular, yang bisa diperbarui dengan cepat sesuai kebutuhan.
- Prioritaskan produksi drone kamikaze, sistem anti-drone, dan kendaraan tempur otonom sebagai tulang punggung kekuatan taktis masa depan.
5. Meningkatkan Resiliensi dan Skala Produksi
- Membangun jaringan produksi pertahanan yang dapat diaktifkan dalam waktu singkat (wartime industrial readiness).
- Belajar dari kapasitas perang dunia II, di mana AS mengubah industri sipil menjadi mesin produksi militer dalam waktu singkat.
Demikianlah, kiranya konflik masa depan tidak akan menunggu proses lelang Pentagon. Musuh-musuh potensial telah bergerak lebih cepat, lebih ringan, dan lebih murah. Keunggulan AS yang selama ini didasarkan pada dominasi teknologi bisa runtuh jika tidak disertai dengan fleksibilitas struktural dan kecepatan eksekusi. Dalam hal ini India telah membunyikan bel peringatan tanda bahaya, dan Ukraina telah memperlihatkan arah reformasi. Kini, giliran Amerika Serikat untuk menjawab tantangan zaman—atau bersiap untuk kehilangan keunggulan strategisnya.
Tidak hanya itu, keunggulan India secara spesifik dalam perang udara melawan Pakistan pada minggu lalu memberikan bukti nyata tentang efektivitas reformasi pertahanan berbasis teknologi dalam negeri. Patut dicatat dalam Operasi Sindoor, India berhasil melakukan serangan presisi menggunakan rudal BrahMos dan sistem pertahanan Akashteer, yang seluruhnya dikembangkan secara domestik di bawah program Make in India. Jet-jet tempur India didukung oleh integrasi sistem komando-dan-kontrol berbasis AI, memungkinkan koordinasi lintas platform secara real-time yang membingungkan sistem radar Pakistan yang hanya bergantung pada teknologi China.
Sementara itu, pasukan udara Pakistan yang menggunakan jet J-10C buatan China memang menunjukkan kemampuan tempur tinggi secara individual, tetapi gagal dalam membendung multi-domain operations India yang mencakup perang elektronik, drone swarming, dan manuver udara-terpadu dalam berbagai ketinggian. Dengan dukungan satelit dalam negeri dan sistem ISR India, pertempuran ini menjadi demonstrasi nyata bahwa kemandirian pertahanan bukan hanya wacana politik, tetapi kunci kemenangan dalam perang modern. Amerika Serikat harus belajar dari ini — bahwa dominasi teknologi tidak cukup jika tidak disertai dengan kecepatan, fleksibilitas, dan struktur industri pertahanan yang adaptif.
Tidak hanya Amerika tentunya, Indonesia pun harus pandai pandai memetik pelajaran dari perang India Pakistan ini. Secara khusus dalam hal penggunaan sistem satelit buatan sendiri termasuk dalam aspek pengembangan ISR-Inteligence, Surveillance, and Reconnaissance yang berkait erat dengan sitem komando dan pengendalian di medan tempur seperti yang dibangun India.
Jakarta 24 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia