Perbincangan tentang siapa yang mempunyai hak atau memiliki sebidang tanah adalah sebuah pembicaraan yang umum terjadi.
Demikian pula bila diskusi berkembang tentang wilayah perairan, maka sangat jelas siapa atau Negara mana yang berhak atau mempunyai kekuasaan terhadap wilayah perairan atau laut.
Tidak demikian halnya bila pembicaraan berkembang tentang wilayah udara.
Petualangan manusia sepanjang sejarah kehidupan dunia, memang dimulai dari daratan yang kemudian merambah jauh kelautan dan seterusnya.
Menjadi hal yang sangat masuk akal, setelah wilayah daratan dan perairan dipermukaan bumi ini habis dikapling-kapling bagi kepentingan umat manusia yang bermukim di atas permukaannya, maka tidak ada dimensi lainnya yang dapat memberikan harapan bagi petualangan selanjutnya dari manusia selain mencoba bertualang juga ke udara.
Dengan perkembangan peradaban manusia seiring pesatnya laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sudah mulai terasa, bagaimana manusia di permukaan bumi ini memperebutkan kepentingannya atas dimensi udara.
Petualangan di udara, dapat saja diartikan sebagai era yang baru saja dimulai sebagai konsekuensi dari kemampuan teknologi yang dicapai manusia di bumi.
Perebutan kepentingan, terhadap penguasaan wilayah udara semakin hari semakin berkembang dan bahkan terasa akan semakin tajam seirama dengan pencapaian ilmu pengetahuan yang sudah menjelang dicapainya udara dan ruang angkasa oleh kendaraan canggih buatan manusia.
Manusia modern bahkan sudah berkemampuan untuk mengirim utusannya menggunakan wahana super canggih kepermukaan bulan di tahun 1969.
Meski demikian, pada dasarnya pemikiran terhadap persaingan dalam berebut kepentingan manusia di udara sudah cukup lama juga mulai diantisipasi.
Kerajaan Romawi misalnya, sejak dahulu sudah mendeklarasikan “Cujus est Solum, Ejus est Usque Coelum”, yang artinya adalah “Barang siapa memiliki tanah, ia juga memiliki apa yang berada di dalam dan juga ruang yang berada diatasnya tanpa batas (ad infinitum/up to the sky)” .
Hukum Romawi ternyata sudah mulai berbicara tentang penolakan terhadap konsep yang belakangan ini dikenal sebagai “Open Sky”. (H Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya Prinsip-prinsip Hukum Udara).
Demikianlah, sebenarnya pertarungan kepentingan terhadap wilayah udara, sudah dimulai jauh sebelum kemajuan teknologi dapat memberikan kemudahan bagi umat manusia dalam bereksplorasi ke udara dan ruang angkasa atau dirgantara.
Wilayah udara sudah sejak lama dipandang sebagai bagian dari “martabat” nya sebuah bangsa.
Masalah wilayah udara
Bila kita kemudian melihat diri sendiri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka dan bermartabat, maka pada hakikatnya sudah pula memikirkan permasalahan wilayah udara.
Dalam hal ini, udara sudah dipandang sebagai bagian yang utuh dari tidak hanya sebagai wilayah kepentingan akan tetapi juga atau bahkan sebagai hal yang berstatus kepemilikan.
Refleksi dari hal ini tercantum dengan sangat jelas dan gamblang seperti tertulis pada Hukum Perdata Republik Indonesia yang pada pasal 571 menyebutkan: “Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya, kepemilikan atas segala yang ada di atasnya dan di dalam tanah” (Priyatna Andurrasyid).
Karena udara, wilayahnya tersebar ke segala penjuru, maka perlu pula disimak bagaimana ketentuan internasional mendefinisikan kepemilikan dan atau kepentingan Negara terhadap wilayah udara.
Pada tanggal 7 Desember tahun 1944, sebuah konvensi internasional tentang penerbangan sipil mencantumkan dengan jelas sekali mengenai kedaulatan Negara atas wilayah udara kedaulatannya.
Pasal 1 dari konvensi tersebut menjelaskan bahwa kedaulatan Negara atas wilayah udara kedaulatannya adalah “complete” dan “exclusive”.
Hal tersebut mengandung makna bahwa tidak seperti halnya dengan yang berlaku dalam hukum laut internasional maka di wilayah udara kedaulatan sebuah Negara tidak dikenal apa yang disebut sebagai “jalur lintas damai” atau “innocent passage”.
Khusus untuk konvensi Chicago ini, Indonesia telah turut serta meratifikasinya.
Kontrovesi Singapura
Sampai pada titik ini, maka menjadi menarik bila kita menengok lagi sejenak tentang kontroversi dari bagaimana Indonesia menyikapi tentang FIR (Flight Information Region) Singapura yang terbentang lebih banyak di wilayah perbatasan strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah udara kedaulatan Indonesia pada kawasan strategis, sebuah Negara besar yang otoritas pengaturan lalu lintas udaranya justru didelegasikan ke sebuah Negara kecil yang wilayah udaranya sangat sempit sekali.
Tanggapan umum yang senantiasa saja muncul adalah selalu menyimpulkan bahwa hal tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah kedaulatan negara.
Masalah tersebut adalah merupakan semata dalam konteks kerjasama internasional yang menyangkut keselamatan penerbangan sipil belaka.
Biarkanlah hal tersebut berlangsung seperti itu, karena memang pada hakikatnya kita belum memiliki dana yang cukup serta tidak atau belum mempunyai sumber daya manusia yang profesional dalam menanganinya.
Sebuah pengakuan yang sangat menyedihkan sebenarnya. Sebuah refleksi dari sikap yang sangat “rendah diri”, sangat inferior.
Logikanya, Negara besarlah yang berkewajiban membantu Negara tetangganya yang lebih kecil dan bukan sebaliknya. Sebuah realita yang sekali lagi menunjukkan sebuah sikap inferior.
Doktor Paul Gitzawa, pernah mengutarakan bahwa“Inferiority complex begins when you are agree that you are nothing. No one is responsible or author of it except your self”.
Itulah masalah utamanya, bila memang seseorang sudah sangat menyadari bahwa dirinya memang “bukan apa-apa”, maka di sanalah rasa rendah diri itu mulai berkembang subur.
Tidak ada seorang pun yang dapat merubahnya kecuali diri mereka sendiri.
Martabat Indonesia
Terlepas dari inferiority dari sebagian besar orang yang memang sangat disayangkan itu, ternyata Presiden Jokowi telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang memiliki “martabat” dan keberanian sebagai bangsa yang besar.
Presiden Jokowi tahun 2016 dengan tegas memerintahkan instansi terkait untuk segera mengambil alih FIR Singapura untuk dikelola otoritas penerbangan nasional.
Tidak cukup hanya dengan instruksi saja, pada tanggal 24 Nopember 2015, Presiden Jokowi tanpa tedeng aling-aling mengutarakan dengan tegas dan secara langsung kepada Wakil PM Singapura, bahwa Indonesia akan mengambil alih FIR Singapura.
Hal ini benar-benar sebuah sikap yang memang selayaknya mewakili rakyat dan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pernyataan itu mengandung makna bahwa Indonesia sebagai Negara besar harus bangkit, bangun berbenah diri memposisikan dirinya sebagai Negara yang sepatutnya justru “membantu” Negara kecil seperti Singapura dalam pengelolaan wilayah udara kedaulatannya, bukan sebaliknya.
Pada saat ini dan menjelang masa ke depan, maka FIR sebenarnya sudah menjadi isu masa lalu, karena tantangan akan datang yang harus dihadapi akan menjadi jauh lebih rumit, bila Indonesia tidak segera berubah dan meningkatkan kualitasnya dalam aspek pengelolaan “national air and space” nya.
Sebagai akibat dari peristiwa tragedi 911, banyak Negara sekarang ini sudah melihat lebih nyata tentang bahaya terorisme pada tataran global.
Itu sebabnya mereka mulai memadukan sistem pengaturan lalu lintas udara penerbangan sipilnya dengan sistem pertahanan udara nasional yang sebagian besar dilakukan oleh atau dengan pelaksanaan operasi penerbangan militer.
Perpaduan tersebut dikenal dengan sebuah terminologi baru yaitu Civil Military ATFM (Air Traffic Flow Management) system.
Hal ini juga merupakan sebuah langkah antisipasi ke masa datang dimana otoritas penerbangan tidak akan lagi didelegasikan pada setiap Negara akan tetapi akan diberikan dengan mengacu kepada pembagian kawasan.
Dengan demikian, sekali lagi bila Indonesia tidak segera mengubah dengan cepat dalam meningkatkan kemampuannya mengelola wilayah udara kedaulatannya sendiri, maka Indonesia harus siap menyerahkan wilayah udara kedaulatan sepenuhnya kepada Negara lain untuk dikelola.
Dapat dibayangkan, bila hal tersebut menjadi sebuah kenyataan, maka bahkan penerbangan dari Jakarta ke Bandung pun harus menanti ijin terlebih dahulu dari Negara lain pemegang otoritas pengaturan lalu lintas penerbangan.
Semua upaya yang akan dilakukan pada hakikatnya akan menjadi lebih mudah, apabila ada usaha kuat untuk segera mencantumkan wilayah udara Indonesia terlebih dahulu kedalam dasar konstitusi Negara dalam hal ini UUD 1945.
Wilayah udara nasional harus dicantumkan dengan tegas sebagai bagian utuh dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sampai dengan saat ini, sebagaimana kita ketahui bersama, pasal 33 UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa wilayah kedaulatan NKRI mencakup tanah dan air serta segenap isi yang dikandungnya.
Wilayah Udara belum secara eksplisit disebut sebagai wilayah kedaulatan NKRI di UUD 1945 (AM Saefullah Wiradipradja).Bila demikian maka tidak aneh apabila muncul sebuah pertanyaan tentang udara kita siapa yang punya? Sebuah pertanyaan yang sangat menuntut untuk segera dijawab, atas nama martabat sebuah bangsa yang besar. Bangsa dari sebuah Negara besar yang memiliki lebih dari 50% wilayah udara di kawasan ASEAN.
Jakarta 25 Oktober 2016
Editor : Wisnu Nugroho
Baca juga tulisan Chappy Hakim
- Provokasi Udara Indonesia
- Chappy Hakim: Era Soekarno, Maskapai Indonesia Tertata Rapi
- Chappy Hakim: Indonesia Tak Cukup Beli Drone
- Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?
- Quo Vadis, Indonesia, A Friend of Everybody?