web stats
CaseFlight CommercialOpinionPeople

Komentar Capt. Stephanus untuk Pengadilan Sleman !

Pa Chappy;Membaca serta mengikuti perjalanan sidang PN Sleman ini memang unik, sidang melelahkan ini memakan waktu 9 bulan sejak perkara pidana ini di sidangkan dan 1,5 tahun sejak proses kepolisian.

Saya setuju bahwa “Sleman benar benar merobah dunia”Benar kadang saya bingung melihat kadang ini sidang Pidana tetapi menggunakan istilah-istilah yang patang plintut, sebagai contoh white bar di run way di istilahkan zebra cross ,,, touch down dibaca tutz don, glide slope dibaca glid slop …. saya khawatir pengertiannya merekapun berbeda …. pernah terjadi juga ada pertanyaan bouncing (baca boncing) itu terjadi di ketinggian berapa?? Maksud pertanyaannya ternyata di ketinggian jelajah (27.000 kaki) itu apakah terjadi guncangan?? Tetapi istilahkan guncangan itu dengan boncing,,, biar keren tapi salah. Memang benar itulah yang terjadi…….Mari kita simak pembacaan keputusan Hakim, menjawab pembelaan Tim Pembela Hukum yang mengatakan bahwa selain pasal2 KHUP haruslah mempertimbangkan Undang-undang Penerbangan yang ada serta peraturan ICAO, dikatakan bahwa mengacu pada pernyataan Ahli Hukum Bp. Martono bahwa pada Konvensi Chicago yang merupakan dasar peraturan ICAO mengatakan bahwa tetap mengakui Kedaulatan Negara jadi walaupun ada peraturan International tetap yang berlaku adalah peraturan atau hukum Nasional.

Jadi kesimpulannya bahwa tidak wajib mengikuti peraturan tersebut Indonesia. Padahal kalau kita simak secara utuh, jelas dikatakan bahwa tetap mengakui kedaulatan negara tetapi apabila ada perbedaan-perbedaan harus lah negara tersebut memberitahu perbedaan tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan, prakteknya kita atau RI sejak bergabung di tahun 1950, setau saya belum pernah mengajukan perbedaan-perbedaan tersebut, artinya RI wajib mengikuti seluruh peraturan yang telah disepakati bersama.

Belum lagi pernyataan Hakim yang mengatakan sah menurut hukum penggunaan barang bukti yang didapat dari KNKT, jelas bertentangan dengan aturan ICAO yang dituangkan dalam Annex 13 mengatakan bahwa barang bukti tidak dapat dijadikan barang bukti bahkan diperkuat pada Undang-undang Penerbangan No.1 tahun 2009 Pasal 359, dan juga membandingkan dengan kasus Lion Air yang terjadi diBatam yang mengalami kerusakan Nose Gear, dalam hal ini apabila Capt Marwoto memberitahu lebih awal akan terjadi kerusakan pastilah pihak Pemadam Kebakaran menyemprotkan busa dilandasan untuk mengurangi kecelakaan korban????????? Dan diakhiri dengan katanya tujuan menjatuhkan hukuman ini adalah untuk membuat efek jera Pilot melakukan hal yang sama.?????????

Apakah dengan menghukum pilot pasti membuat efek jera? Dapat saya pastikan belum tentu, selama akar permasalahan belum terungkap yaitu penyebab terjadinya kecelakaan itu sendiri. Lantas rekomendasi KNKT belumlah mengungkapkan mengapa (WHY) kejadian itu dapat terjadi, atau mengapa seorang Capt dengan pengalaman ribuan jam dapat melakukan hal tersebut, tentunya pasti ada alasannya yang pasti bukan disengaja, yang ada sekarang ini kalau kita membaca rekomendasi KNKT baru merupakan sebuah cerita atau kronologis bagaimana (HOW) kecelakaan itu terjadi yaitu mendarat dengan kecepatan tinggi. Karena hal itu ditunggu oleh para pilot lainnya untuk tidak melakukan hal yang sama (lesson learn).

Teori Human Factors mengatakan dengan memberikan hukuman belumlah tentu dapat mengungkapkan mengapa kesalahan itu dapat terjadi, karena pada dasarnya sifat manusia adalah membela dirinya sendiri apabila terdesak (berbohong), sangatlah manusiawi sekali dan maaf yang saya pantau di pengadilan yang terjadi hanya teori pembenaran sebaliknya pengakuan secara jujur hal ini yang paling berharga untuk mengungkapkan penyebab sebuah kejadian, dan ini hanya dapat apabila ada satu jaminan bahwa kejujuran itu dilindungi atau bukan untuk menghukum dirinya sendiri, lantas peraturan mana yang melindunginya jawabannya adalah Annex itu sendiri jelas tertulis bahwa hasil penyidikan bukan untuk dijadikan bahan penuntutan. Alat-alat atau instrument yang dipasang dipesawat merupakan Black Box (yang terdiri dari FDR dan CVR) mendapat perlindungan juga sebagai data mengungkapkan kejadian kecelakaan pesawat terbang, bukan untuk menuntut pilot dalam perbuatannya, kalau memang dapat dijadikan barang bukti seperti yang dikatakan Hakim, alangkah sialnya nasib para pilot karena sebenarnya dia bekerja dalam tekanan padahal manusia mana yang dapat bekerja dalam tekanan terlebih pada saat dia hendak membuat satu keputusan. Atau malah sebaliknya dia akan mematikan fungsi alat tersebut selama penerbangan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan bagi dirinya, mudah sekali caranya karena switch yang berupa circuit breaker (cb) ada dipanel belakang kursinya akan mematikan fungsi kerja alat yang berharga ribuan dollar itu, yang tau hanya 2 orang di ruang kemudi saja dan akan ada beribu alasan untuk itu yang dapat dipertanggung jawabkan dengan kebohongan.

Fakta berikut sejauh ini apakah dengan efek jera (menghukum) bisa menghilangkan pencuri ayam, pembunuh, koruptor dll ??? Rasanya istilah itu masih ada, tetapi fakta kecelakaan pesawat dapat ditekan dengan jumlahnya dari tahun ketahun, data rata-rata didunia mengatakan bahwa kecelakaan pesawat tercatat 1,6 % per seribu keberangkatan pesawat (per thousand departure) di tahun 2007, dimana ditahun tersebut Asia terbesar (termasuk Indonesia) menyumbang 3 % adalah yang tertinggi setelah Africa, angka ini sejak tahun 1960 menurun cukup signifikan berkat kemajuan Teknologi dan Human Factor tersebut yang berjalan pararel menjadikan pesawat terbang yang merupakan barang sangat mahal bergerak sangat cepat dan perpotensi sangat bahaya, tidak mempunyai istilah berhenti yang ada hanya naik, turun, kiri dan kanan menjadi suatu alat transport yang paling aman di dunia ini, berkat kehandalan teknologi dan manusia yang bekerja didalamnya.

Ironis nya dunia penerbangan sedang kampanye No Blaming Culture atau Just Culture (budaya tidak saling menyalahkan), tapi sejak keputusan kemarin justru membuat dunia penerbangan kita mundur jauh ke era tahun 50 an (era terbang dakota), bahkan teori human factors dunia penerbangan dijadikan percontohan bagi bidang lain seperti kedokteran, pabrik dll untuk keselamatan.

Melihat kejadian ini, bagaimana apabila para pilot sebelum menjalankan tugasnya menyodorkan selembar kertas untuk ditandatangani penumpangnya yang mungkin termasuk para Hakim, Jaksa dan Polisi agar menyetujui apabila terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan untuk tidak menggugat? Persis seperti dokter sebelum melakukan operasi ??????????
Akhirnya apa yang saya utarakan diatas bukan berarti bahwa seorang pilot tidak dapat di pidanakan, bisa atau dapat kalau dia berbuat hal-hal yang melanggar hukum pidana seperti menyelundup, narkoba dll, tetapi kalau dia sedang bertugas sebagai mana profesinya tentunya haruslah melalui tatacara atau prosedur yang ada, yang memvonis kesalahan atau lalai dalam tugasnya selayaknya profesi itu sendiri atau instansi yang terkail, itu sebabnya kami mendesak percepatan pembentukan Majelis Profesi sesuai dengan Undang-undang no 1 tentang Penerbangan, selanjutnya apabila kedapatan unsur pidana, silahkan PPNS yang berkoordinasi dengan polisi dapat menindak lanjuti kasus tersebut dengan mempergunakan keahlian dibidangnya dengan catatan tidak boleh menggunakan data2 yang sengaja dibuat untuk keselamatan penerbangan. Bukan kah mereka ahli dibidangnya? Tanpa mengurasi rasa hormat dan duka yang mendalam atas adanya korban pada peristiwa tersebut, biarkanlah profesi kami berbuat sesuatu karena yang mengerti hanya kami, sebelum lanjut pada tahapan berikut.

Capek lagi dehhhhhh.

Salam.
Stephanus

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button