counter create hit
ArticleDefense and SecurityMedia Coverage

Pembelajaran dari Insiden Laut di Natuna dan Tragedi Helikopter di Poso

Sabtu 19 Maret 2016,  Kapal Patroli Hiu 11 mengejar KM Kway Fey yang ditenggarai tengah melakukan pencurian ikan di perairan laut Natuna pada kawasan wilayah teritorial kedaulatan Republik Indonesia.  
 
Saat kapal asal China tengah diringkus dan 8 awaknya ditangkap, mendadak muncul kapal Coast Guard China yang menabrakkan kapalnya kearah kapal Kway Fey. Hal tersebut dilakukan, kemungkinan besar sebagai upaya agar kapal pencuri tidak dapat dibawa dan ditenggelamkan. 
 
Insiden ini sungguh sungguh merupakan pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia.
 
Patut dipahami bahwa perairan laut Natuna yang berdekatan dengan kawasan Selat Malaka adalah merupakan area perbatasan yang sangat rawan. Di situ merupakan alur pelayaran logistik paling ramai di kawasan Asia Timur Jauh dan merupakan garis perbatasan berbagai Negara di sekelilingnya.   
 
Seharusnya pengamanan di kawasan rawan konflik seperti itu tidaklah cukup hanya melakukan pengawasan yang bermoda patroli perairan saja. Terbukti bahwa daerah tersebut juga menjadi tempat ideal dalam memperoleh keuntungan untuk mengeruk kekayaan laut.   
 
Di sinilah sekali lagi upaya menjaga keamanan perbatasan terutama perbatasan rawan konflik tidak akan cukup dengan hanya menggelar kekuatan laut belaka. Pengintaian dan patroli udara akan jauh lebih memberikan kemudahan dalam pelaksanaan tugas semacam ini.   
 
Di samping  faktor kecepatan bertindak, keuntungan lainnya adalah jangkauan pengamatan menjadi jauh lebih luas. Dengan demikian, pelaksanaan penindakan akan jauh lebih memudahkan terutama sekali dalam koordinasi dan jalur komando pengendalian operasi.   
 
Sayangnya, pada wilayah udara di perairan Laut Natuna dan Selat Malaka, yang jelas-jelas merupakan halaman rumah kita sendiri, ternyata kewenangan pengaturan lalu lintas udaranya berada pada otoritas penerbangan Singapura.   
 
Tentu saja sangat logis bila Kementrian Kelautan dan Perikanan serta TNI Angkatan Laut menghadapi kendala besar dalam melaksanakan tugasnya. Kekuatan laut tidak akan berarti apa-apa tanpa kehadiran air superiority dan atau air supremacy.
 
 
Kecelakaan di Poso
Minggu 20 Maret 2016, Helikopter milik TNI Angkatan Darat jenis Bell 412 EP nomor HA 5171 mengalami kecelakaan di Poso, Sulawesi Tengah. Kepala Pusat Penerangan TNI menyatakan Heli dengan 13 penumpang itu tengah melaksanakan operasi gabungan dengan Polri untuk menangkap kelompok bersenjata pimpinan Santoso atau Operasi Tinombola.   
 
Dalam hal ini patut disadari bahwa ancaman terorisme sudah menjadi ancaman global. Sejak selesainya perang dingin dan terutama sekali pasca peristiwa 911 di tahun 2001, maka ancaman terorisme telah menjadi global common threat. Ancaman dari non state actor  (para teroris  berasal dari bermacam-macam negara) yang akan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja.   
 
Amerika Serikat, pasca 911 telah berbenah diri dalam menyusun strategi menghadapi serangan teroris antara lain dengan menyederhanakan koordinasi pelaksanaan operasi menanggulagi masalah antiterror terutama pada sistem komando dan pengendalian  di dalam negeri dengan membentuk sebuah institusi baru yang diberi nama Department of Homeland Security.   
 
Dengan begitu, seluruh potensi nasional yang dimilikinya dapat dengan mudah dikerahkan pada pelaksanaan setiap operasi antiteror dalam satu wadah koordinasi.
 
Di Indonesia sendiri, beberapa waktu lalu pada setiap angkatan (Darat, Laut dan Udara) telah dibangun dengan sangat istimewa satuan antiteror dalam rangka kewaspadaan negeri ini menghadapi tantangan global dalam bentuk terorisme.   
 
Sayangnya adalah pasca berpisahnya Polri dengan TNI tidak banyak lagi penugasan yang diberikan kepada satuan-satuan antiteror TNI tersebut.   
 
Definisi yang mengatakan bahwa semua urusan keamanan menjadi domainnya Polri dan urusan pertahanan menjadi domainnya TNI kemungkinan besar telah membuat kesulitan operasi operasi antiterror di dalam negeri untuk dapat menggunakan secara maksimal kekuatan yang dimiliki TNI dan Polri. Sementara itu justru pada saat yang sama perkembangan ancaman terror terus saja meningkat. 
 
Rule of engagement atau aturan pelibatan dalam konteks keikutsertaan satuan TNI dalam menanggulangi terorisme yang ujung tombaknya Polri dipercaya merupakan salah satu hambatan yang dihadapi.  
 
Satuan polisi tidak dipersiapkan untuk beroperasi sejenis operasi antigerilya misalnya, sementara itu satuan TNI pun tidak memiliki payung hukum dalam turut serta secara langsung pada tindakan preventif atau pencegahan terorisme yang dengan mudah akan terjebak dalam urusan pelanggaran HAM.   
 
Masalahnya adalah bahwa antara keamanan dan pertahanan negara, banyak sekali daerah yang saling tumpang tindih alias overlapping”.  Pada  area inilah kemudian terjadi kesenjangan yang sangat tidak jelas bagi tugas-tugas TNI dan Polri.
 
Dengan situasi dan kondisi yang seperti itu, maka banyak hal akan sangat sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik dan terkoordinasi.  
 
Walaupun satuan TNI memang sudah dipersiapkan dan dilatih untuk berperang dalam dan di medan-medan yang sulit, akan tetapi bila hal tersebut tidak dilakukan dalam satu konsep operasi yang utuh, maka dipastikan akan banyak rintangan tak terduga yang akan dihadapi di tengah jalan.  
 
Salah satu akibatnya, bisa saja (walau belum tentu demikian pada kenyaannya) akan berupa kecelakaan tragis seperti yang terjadi dengan Heli TNI AD tersebut. 
 
Nah, dari Insiden Natuna dan tragedi heli yang sangat tragis itu, kiranya dapat dipetik pelajaran untuk pelaksanaan tugas ke depan.   
 
Kejelasan akan tugas pokok masing-masing institusi penegak kedaulatan negara dan institusi penegak hukum dalam konteks keamanan dan ketertiban masyarakat serta kementerian yang bertanggung jawab terhadap aset kekayaan negara kiranya perlu untuk disempurnakan lebih jauh lagi.  
 
Aturan, regulasi dan ketentuan serta rumusan tugas pokok memang menuntut penyempurnaan dari waktu ke waktu seiring dengan atau terutama saat mendapat masukan dari apa yang terjadi dilapangan pada pasca pelaksanaan tugas. 
 
Kaji ulang dari kedua peristiwa tersebut sangat diperlukan bagi penyempurnaan pola operasi tugas-tugas sejenis di masa dekat mendatang. 
 
Pengalaman akan menjadi guru yang paling baik, Experience is the best Teacher. (Sumber –  Kompas.com – Editor – Wisnu Nugroho)




Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button