Siapa Memperalat Siapa?
Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok kembali berada pada titik panas yang jarang terlihat sejak normalisasi hubungan kedua negara setengah abad lalu. Perang dagang, terkenal dengan istilah populer US China Trade War yang semula hanya soal tarif kini meluas. Panggung sengketa telah menjadi perang teknologi, perang chip, perang standar industri, hingga perang narasi geopolitik. Washington memperketat kontrol ekspor semikonduktor, membatasi akses Tiongkok terhadap AI dan teknologi canggih, serta membangun aliansi seperti AUKUS dan QUAD sebagai penghalang strategis. Beijing merespons dengan percepatan self-reliance, memajukan industri chip domestik, memperluas pengaruh global melalui Belt and Road, dan memperkuat kesiapan militernya. Dunia menyaksikan bagaimana perang dagang ini telah berkembang menjadi kontestasi dominasi global, sebuah perebutan kepemimpinan abad ke-21 yang tidak lagi bisa disembunyikan di balik diplomasi santun.
Hubungan antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok selalu berada dalam wilayah abu-abu yang penuh mengandung banyak ketegangan laten. Di satu sisi keduanya saling membutuhkan, di sisi lain saling mencurigai. Ekonomi global selama empat dekade terakhir berdiri di atas fondasi hubungan yang kompleks, yang di permukaan tampak seperti kerja sama, namun di lapis lebih dalam sesungguhnya merupakan kompetisi panjang yang dibungkus dengan kehati-hatian strategis. Pertanyaan “siapa memperealat siapa” tidak sederhana untuk dapat dijawab, karena dinamika hubungan ini berubah dari dekade ke dekade, sejalan dengan fluktuasi kepentingan dan perubahan keseimbangan kekuatan global.
Pada awal hubungan ekonomi modern keduanya pada akhir 1970-an hingga 1990-an, tampaknya Amerika Serikat adalah pihak yang paling diuntungkan. Perusahaan-perusahaan Amerika memindahkan pabrik ke Tiongkok dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah industri. Tenaga kerja murah, jam kerja panjang, birokrasi yang efisien untuk investor asing, dan logistik yang semakin terintegrasi membuat China menjadi “pabrik dunia”. Rak-rak supermarket Amerika dipenuhi barang-barang murah buatan Tiongkok, mulai dari pakaian, elektronik rumah tangga, mainan, hingga komponen kendaraan. Konsumen Amerika menikmati harga rendah, perusahaan menikmati margin keuntungan tinggi, dan pemerintah Amerika merasa telah menemukan formula baru untuk mempertahankan daya saing industri tanpa harus membayar biaya produksi domestik yang jauh lebih mahal.
Pada tahap itu, dunia menganggap Tiongkok hanyalah pekerja keras dalam sistem global yang kendalinya berada di tangan Amerika. Tidak sedikit analis Barat menyebut bahwa Washington “memenangkan permainan”, karena ekonomi Amerika tetap tumbuh sementara biaya produksinya ditanggung oleh buruh Tiongkok. Banyak yang percaya bahwa China sedang diperalat oleh kapitalisme Barat untuk menjadi pemasok murah dalam rantai pasok global.
Namun sejarah bergerak seperti arus udara yang sulit diprediksi. Hubungan AS–China, yang semula terlihat stabil, perlahan berubah. Di balik peran sebagai basis manufaktur murah, Tiongkok merumuskan strategi jangka panjang yang tidak terlihat dari luar. Beijing tidak sekadar menjadi tukang jahit dunia, tetapi secara sistematis menyerap teknologi, merawat industri, dan membangun kapasitas nasional. Investasi besar-besaran diluncurkan dalam riset, pembangunan universitas, industri telekomunikasi, kecerdasan buatan, semikonduktor, energi bersih, hingga teknologi ruang angkasa. Dengan ritme yang teratur dan ambisi yang disisipkan dalam setiap rencana lima tahunan, Tiongkok mulai naik kelas. Tiongkok diam diam mengembangkan dengan cepat Education & Training System generasi mudanya sejalan dengan kegiatan Research & Development di bidang Teknologi. Awal 2000-an, mulai terlihat hasilnya, Tiongkok tidak lagi menjadi gudang produksi barang murah berkualitas kaleng kaleng. Negara itu mulai melahirkan teknologi sendiri, merek sendiri, dan inovasi sendiri. Dari pabrik murah, China berubah menjadi negara yang menguasai rantai pasok global. Amerika Serikat, yang sebelumnya yakin bahwa integrasi ekonomi akan “memperhalus” Tiongkok, justru mendapati bahwa Beijing memanfaatkan globalisasi jauh lebih efektif daripada perkiraan Washington. Ketika Amerika mengalihkan industrinya demi mencari biaya yang lebih rendah, China menggunakan kesempatan itu untuk membangun kekuatan industri nasional yang kemudian menjadi aset geopolitik. China mengembangkan konsep Berdikari dalam segala bidang.
Kini, dalam bidang telekomunikasi, kecerdasan buatan, teknologi finansial, baterai kendaraan listrik, manufaktur presisi, dan eksplorasi ruang angkasa, China bukan lagi pengikut. Dalam banyak sektor, mereka adalah pengendali ritme global. Huawei lebih dulu melompat ke jaringan 5G dibanding perusahaan Amerika. BYD menyalip Tesla. Program luar angkasa Tiongkok secara konsisten mengejar bahkan mendekati capaian NASA. Dunia menyaksikan transformasi besar, negara yang dulu dianggap sekadar pemasok tenaga kerja murah, kini berdiri sebagai kekuatan teknologi yang menantang dominasi Amerika Serikat.
Dari perspektif geopolitik, inilah paradoks besar hubungan AS–China. Pada masa awal integrasi, Amerika merasa memanfaatkan China untuk menggerakkan manufaktur global dengan biaya murah. Namun kini China memanfaatkan interdependensi ekonomi itu untuk memperkuat posisinya di panggung global. Amerika yang dulu merasa menjadi pemain utama kini melihat bahwa strategi jangka panjang China justru lebih matang dan lebih konsisten. Muncul perasaan bahwa China “mengambil alih permainan”, dan bagi banyak pengambil kebijakan di Washington, ini adalah ancaman yang tidak mereka bayangkan pada 1990-an.
Persaingan keduanya kemudian beralih dari ekonomi ke teknologi, lalu dari teknologi ke geopolitik. Perang dagang pada era Donald Trump hanyalah permukaan dari konflik yang jauh lebih dalam yakni pertarungan atas siapa yang akan memimpin abad ke-21. Amerika memperketat kontrol ekspor chip, membatasi perusahaan Tiongkok, dan memperkuat aliansi militer di Indo-Pasifik. China merespons dengan mempercepat investasi domestik, memperluas pengaruh di Asia, Afrika, Amerika Latin, serta memperkuat kapabilitas militernya terutama di laut dan udara.
Dalam analisis yang lebih reflektif, hubungan ini sebenarnya bukan sekadar soal siapa memperealat siapa. Keduanya saling memanfaatkan sesuai kebutuhan masing-masing pada zamannya. Ketika Amerika membutuhkan manufaktur murah, China menyediakan. Ketika China membutuhkan modal dan teknologi, Amerika ”terpaksa” memberi. Kini ketika China telah tumbuh menjadi kekuatan global baru, mereka menggunakan posisi itu untuk menegosiasikan ulang hubungan internasional yang selama puluhan tahun didominasi Amerika. Dunia berubah dari unipolar ke multipolar, dengan China sebagai salah satu pusat gravitasi utamanya.
Pertanyaannya kembali lagi tentang siapa memperealat siapa? Mungkin jawabannya bukan salah satu, melainkan keduanya. Dalam fase awal, Amerika memanfaatkan China untuk mengisi rak toko-toko dan melipatgandakan keuntungan perusahaan. Dalam fase berikutnya, China memanfaatkan Amerika sebagai sumber teknologi untuk mempercepat kebangkitan nasionalnya. Hari ini, keduanya tidak lagi saling memanfaatkan, melainkan berhadapan dalam kompetisi panjang yang menentukan bentuk masa depan dunia. Jika pada masa lalu interdependensi adalah jembatan kerja sama, kini interdependensi berubah menjadi medan perebutan pengaruh.
Pada akhirnya, hubungan Amerika–China adalah cerminan dinamika peradaban yang tidak ada hubungan statis dan tidak ada kemitraan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan nasional yang bergerak mengikuti perubahan zaman. Dunia kini berada di titik kritis, ketika dua kekuatan raksasa yang pernah saling memanfaatkan harus menentukan apakah mereka akan terus bersaing hingga merusak stabilitas global, atau kembali mencari titik temu seperti yang pernah mereka lakukan di era Nixon dan Zhou Enlai. Kembali sambil mengakhiri pertanyaan tendensius yang mengundang konflik tentang siapa memperalat siapa?
Jakarta 19 November 2025
Chappy Hakim, Pusat Studi Air Power Indonesia

