Kedaulatan negara di udara pada dasarnya merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang menegaskan bahwa setiap negara memiliki hak penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya. Prinsip ini telah ditegaskan dalam Konvensi Chicago 1944 dan menjadi salah satu pilar dalam sistem hubungan internasional modern. Namun, dalam praktik politik, kedaulatan udara sering kali tidak berjalan lurus dengan teori hukum. Keputusan-keputusan penting mengenai ruang udara kerap dipengaruhi oleh konfigurasi kekuasaan, kepentingan strategis, serta negosiasi antar elit politik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dalam kerangka ilmu politik, teori elit memberikan perspektif kritis untuk memahami bagaimana keputusan strategis mengenai kedaulatan udara diambil. Studi kasus pengelolaan Flight Information Region (FIR) Indonesia–Singapura dapat dijadikan contoh nyata tentang bagaimana kepentingan elit, baik domestik maupun internasional, berperan dominan dalam menentukan arah kebijakan negara.
Teori Elit dalam Ilmu Politik
Teori elit berangkat dari asumsi bahwa dalam setiap masyarakat, kekuasaan politik tidak pernah benar-benar berada di tangan rakyat banyak, melainkan terkonsentrasi pada segelintir orang atau kelompok. Vilfredo Pareto menekankan adanya sirkulasi elit, yakni pergantian segelintir kelompok dominan yang menguasai sumber daya kekuasaan. Gaetano Mosca menekankan keberadaan minoritas terorganisir yang mengendalikan mayoritas yang tidak terorganisir. Sementara itu, Wright Mills dalam karyanya The Power Elite menggambarkan bahwa di Amerika Serikat pasca Perang Dunia II, kekuasaan strategis terpusat pada tiga pilar utama yaitu elit politik, elit militer, dan elit korporasi. Ketika konsep ini ditarik ke dalam isu kedaulatan udara, jelas terlihat bahwa keputusan tentang ruang udara meskipun secara formal menyangkut kedaulatan bangsa pada kenyataannya ditentukan oleh elit tertentu. Keputusan itu sering diwarnai oleh pertimbangan strategis, politik, dan ekonomi, bukan semata-mata prinsip hukum yang menyatakan kedaulatan udara adalah mutlak dan eksklusif.
Kedaulatan Negara di Udara dalam Kerangka Politik Elit
Kedaulatan udara dapat dipahami bukan hanya sebagai norma hukum internasional, tetapi juga sebagai arena kekuasaan. Negara yang berdaulat secara hukum belum tentu berdaulat secara faktual apabila elit politiknya mengambil keputusan yang melemahkan posisi negara. Dalam konteks Indonesia, isu FIR menggambarkan secara jelas bahwa kedaulatan udara tidak hanya menyangkut aspek teknis pelayanan navigasi penerbangan, tetapi juga menyangkut permainan politik elit yang berinteraksi dengan kepentingan negara lain. Sejak awal, FIR di atas wilayah Natuna dan Kepulauan Riau dikelola oleh Singapura dengan alasan kapasitas Indonesia yang belum memadai. Secara hukum, FIR bukanlah masalah kedaulatan, melainkan soal pelayanan navigasi. Namun secara politik, penguasaan FIR menyentuh isu sensitif mengenai kedaulatan udara Indonesia. Instruksi Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 yang menegaskan perlunya percepatan pengambilalihan FIR memperlihatkan adanya kesadaran strategis bahwa masalah ini berkaitan dengan harga diri bangsa.
Namun dalam kenyataannya, perjanjian yang ditandatangani pada tahun 2022 justru kembali menegaskan delegasi pengelolaan sebagian wilayah udara Ex FIR kepada Singapura untuk jangka waktu 25 tahun ke depan. Meskipun disertai dengan koordinasi teknis dan kompensasi, keputusan ini memperlihatkan adanya kompromi politik yang tidak sejalan dengan semangat kedaulatan penuh dan eksklusif sebagaimana ditegaskan Konvensi Chicago 1944.
Studi Kasus FIR Indonesia–Singapura dalam Perspektif Teori Elit
Jika dilihat melalui lensa Pareto, keputusan ini mencerminkan pergeseran dalam “sirkulasi elit” di Indonesia, di mana elit politik tertentu mungkin lebih pragmatis dalam mengambil keputusan yang mengutamakan stabilitas diplomatik daripada simbol kedaulatan. Mosca akan menjelaskan kasus ini sebagai dominasi minoritas terorganisir, yakni elit pemerintahan yang memutuskan isu strategis tanpa melibatkan aspirasi mayoritas rakyat yang merasa bahwa kedaulatan udara adalah harga mati. Sementara Wright Mills akan melihat perjanjian FIR sebagai hasil kompromi antara elit politik Indonesia, elit militer yang memandang aspek pertahanan, serta elit ekonomi dan korporasi yang berkepentingan dengan kelancaran jalur perdagangan dan penerbangan internasional di kawasan tersebut.
Dengan demikian, isu FIR bukan hanya soal hukum internasional, tetapi juga soal politik elit. Singapura, dengan elit politik dan ekonominya yang solid, mampu mempertahankan pengaruh strategisnya atas FIR meskipun wilayah udara tersebut berada di atas wilayah kedaulatan Indonesia. Sebaliknya, elit Indonesia justru mengambil posisi kompromi yang menunjukkan lemahnya bargaining power dalam negosiasi internasional.
Refleksi Kritis
Kasus FIR memperlihatkan kesenjangan antara teori kedaulatan negara di udara dengan praktik politik. Secara normatif, udara adalah bagian integral dari kedaulatan yang utuh, mutlak, dan eksklusif. Namun secara empiris, kedaulatan udara bisa dinegosiasikan, didelegasikan, atau bahkan dikompromikan oleh keputusan elit. Hal ini memperlihatkan bahwa teori elit sangat relevan untuk menganalisis isu kedaulatan udara, karena keputusan strategis lebih sering dipengaruhi oleh kepentingan elit politik, militer, dan ekonomi, daripada oleh kepentingan rakyat atau prinsip hukum internasional.
Demikianlah. Teori elit memberikan pemahaman bahwa kedaulatan negara di udara bukan hanya soal prinsip hukum, melainkan juga soal siapa yang memegang kekuasaan untuk menentukan arah kebijakan. Dalam studi kasus FIR Indonesia Singapura, terlihat jelas bahwa perjanjian tahun 2022 mencerminkan dominasi elit dalam proses pengambilan keputusan strategis yang menyangkut kedaulatan bangsa. Perjanjian tersebut memperlihatkan bahwa meskipun hukum internasional menegaskan kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara, dalam praktik politik, kedaulatan itu dapat didefinisikan ulang oleh elit yang memegang kendali atas negara.
Jakarta 23 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI