(Chappy Hakim)
Belakangan ini, Indonesia gencar melakukan modernisasi alutsista, termasuk belanja pesawat tempur dari berbagai negara. Dari Eropa, pemerintah memesan Rafale buatan Prancis, dari Amerika Serikat, sejumlah F-15EX menjadi bagian paket kerja sama pertahanan, sementara dari Rusia, meski sempat dipertimbangkan, konon kabarnya pengadaan Su-35 akhirnya urung terealisasi karena tekanan geopolitik dan sanksi internasional. Langkah diversifikasi sumber ini mencerminkan upaya mencari keseimbangan antara kebutuhan operasional, ketersediaan teknologi, dan dinamika politik luar negeri. Sebelum kita ulas tentang seberapa efektif efisien belanja pesawat ini terhadap sistem Hanudnas kita, baik kita tinjau dulu persaingan tekonologi pesawat AS dan China.
Sangat menarik untuk mencermati bagaimana dua kekuatan besar dunia Tiongkok dan Amerika Serikat dalam mengembangkan pesawat tempur andalannya. Kedua negara ini bukan hanya pemain utama dalam industri pertahanan, tetapi juga kompetitor strategis yang saling berebut dominasi teknologi udara. Produk mereka, Chengdu J-20 “Mighty Dragon” dan Lockheed Martin F-35 Lightning II, mewakili filosofi perancangan dan strategi peperangan udara yang berbeda, dan perbandingan keduanya dapat memberikan perspektif berharga bagi Indonesia dalam merumuskan arah pembangunan kekuatan udara di masa depan.
Top of Form
Bottom of Form
Persaingan teknologi pesawat tempur antara Tiongkok dan Amerika Serikat kini terwujud dalam duel simbolis antara Chengdu J-20 “Mighty Dragon” dan Lockheed Martin F-35 Lightning II. Keduanya sama-sama berada di kelas generasi kelima, tetapi lahir dari filosofi perancangan, kebutuhan strategis, dan ekosistem tempur yang berbeda. J-20 dikembangkan oleh Chengdu Aerospace Corporation sebagai pesawat siluman berkemampuan superioritas udara jarak jauh, dirancang untuk mendukung strategi anti-access/area denial (A2/AD) di kawasan Asia Timur. Bentuknya yang memanjang, sayap canard, serta rancangan ruang senjata internal memungkinkan loading rudal jarak jauh untuk menyerang target sebelum lawan memasuki zona berbahaya. Sejak resmi masuk dinas pada 2017, Tiongkok telah memproduksi lebih dari dua ratus unit, dengan varian awal menggunakan mesin WS-10C dan kini mulai menguji prototipe bermesin WS-15 yang diklaim akan meningkatkan kemampuan supercruise dan akselerasi.
Di sisi lain, F-35 lahir dari program Joint Strike Fighter yang digarap Lockheed Martin untuk memenuhi kebutuhan multi-role, tidak hanya sebagai penempur, tetapi juga platform pengintaian, peperangan elektronik, dan pengendali pertempuran udara modern. Filosofinya berangkat dari konsep “flying sensor node” yang terintegrasi dalam jaringan tempur gabungan, memadukan sensor-fusion, kemampuan stealth yang matang, dan interoperabilitas dengan aliansi global. Keunggulannya bukan sekadar kemampuan terbang atau senjata yang dibawanya, melainkan pada sistem informasi dan kesadaran situasional yang dihasilkannya. Hingga 2025, lebih dari 1.200 unit F-35 telah diproduksi dan beroperasi di berbagai negara, dengan versi Block 4 yang terus diperbarui untuk menghadapi tantangan dekade 2030-an.
Perbandingan keduanya memperlihatkan perbedaan orientasi strategis yang tajam. J-20 unggul dalam jangkauan dan kecepatan, cocok untuk misi patroli jarak jauh atau pencegatan di wilayah laut yang luas tanpa dukungan tanker yang intensif. Rancangannya diarahkan untuk mengimbangi, bahkan melampaui, lawan pada fase BVR (beyond visual range) dengan rudal jarak jauh yang mampu diluncurkan dari luar jangkauan balasan. Sementara F-35, meski memiliki jangkauan lebih pendek, justru mengandalkan kekuatan kolaboratif: ia bekerja dalam formasi yang terhubung jaringan data, mampu mengarahkan tembakan dari platform lain, dan memadukan informasi dari berbagai sensor untuk memberikan gambaran medan tempur yang lengkap bagi seluruh unit dalam operasi. Dalam hal avionik, Amerika memimpin dengan sistem yang telah teruji, sementara Tiongkok terus berupaya menutup kesenjangan melalui modernisasi perangkat lunak dan sensor pada varian-varian terbaru J-20. Pertarungan ini tidak berhenti pada generasi kelima. Amerika Serikat telah menyiapkan F-47 NGAD (Next Generation Air Dominance), yang dikembangkan Boeing untuk menggantikan F-22 Raptor. Pesawat generasi keenam ini dirancang dengan teknologi yang lebih futuristik, termasuk sistem senjata berenergi terarah, drone pendamping, dan kemampuan siluman yang dioptimalkan untuk spektrum elektromagnetik yang lebih luas. Tiongkok juga bergerak cepat dengan menguji J-36 dan J-50, dua proyek ambisius yang diharapkan mampu menandingi atau bahkan melampaui kemampuan pesawat generasi keenam Barat. J-36 disebut-sebut memiliki konfigurasi tiga mesin untuk meningkatkan daya dorong dan fleksibilitas, sementara J-50 diarahkan menjadi penerus langsung J-20 dengan fokus pada stealth dan integrasi senjata baru.
Kesimpulannya, F-35 dan J-20 adalah representasi dua pendekatan berbeda terhadap supremasi udara. F-35 mengandalkan ekosistem jaringan, integrasi multi-peran, dan dukungan sekutu global untuk memenangkan pertempuran. J-20 memusatkan kekuatannya pada kemandirian strategis, jangkauan luas, dan kapabilitas serang jarak jauh untuk menciptakan zona tolak masuk di wilayah yang menjadi prioritas nasional Tiongkok. Di masa depan, kompetisi ini akan semakin sengit ketika kedua negara meluncurkan pesawat generasi berikutnya, yang akan menjadi tolok ukur baru dalam sejarah pertempuran udara modern. Pertanyaannya tinggal satu, siapa yang akan lebih dahulu menguasai langit di era perang berbasis jaringan dan teknologi hipersonik yang sudah di ambang pintu? Sang waktu akan menjawab pertanyaan ini.
Jakarta 11 Agustus 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia