Pendahuluan
Selama puluhan tahun saya bergelut dalam dunia militer, saya menyaksikan betapa struktur negara bukan hanya ditopang oleh aturan formal dan lembaga resmi, tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan tak kasat mata yang bekerja dari balik layar. Ketika saya mendengarkan pemaparan Kevin Shipp—mantan perwira CIA—tentang shadow government dan deep state, saya merasakan ada sesuatu yang sangat relevan dan menggelisahkan. Ia bicara tentang bagaimana lembaga intelijen dan elite ekonomi-politik bisa bergerak di luar jangkauan kontrol demokrasi. Dan itu bukan teori konspirasi. Itu realitas.
Struktur di Balik Struktur
Kevin Shipp menjelaskan dua lapis kekuasaan: shadow government dan deep state. Yang pertama adalah institusi-institusi resmi seperti CIA, NSA, dan lembaga keamanan dalam negeri Amerika Serikat yang beroperasi dengan sistem paralel, tertutup, dan sering kali tak terjangkau oleh parlemen maupun publik. Yang kedua adalah jaringan informal dari elite korporat, bankir, dan penguasa media yang punya cukup kekuatan untuk membentuk arah kebijakan negara demi kepentingan mereka sendiri.
Bayangkan, kebijakan luar negeri sebuah negara adidaya bisa ditentukan oleh korporasi pertahanan dan kelompok lobi yang tidak pernah dipilih rakyat. Siapa yang memegang remote control kekuasaan sesungguhnya? Rakyat, atau sekelompok elite yang menyebut dirinya “pelindung bangsa”?
Senjata Utama: Informasi
Dalam dunia penerbangan militer, saya belajar bahwa kontrol terhadap wilayah udara adalah mutlak. Tapi dalam perang modern,9 penguasaan informasi lebih berbahaya daripada misil. CIA, menurut Shipp, mengendalikan opini publik lewat propaganda, menekan media agar tunduk pada narasi negara, dan menyaring informasi yang dianggap “berbahaya” bagi stabilitas kekuasaan. Kebenaran dikaburkan, opini dibentuk, dan rakyat dijauhkan dari realitas.
Ini bukan semata masalah Amerika. Dunia kini terhubung dalam satu sistem informasi global. Ketika satu pusat kekuasaan berhasil memanipulasi persepsi publik di tingkat internasional, negara lain pun ikut tergiring, sadar atau tidak.
Whistleblower: Musuh Dalam Sistem
Mereka yang berani membocorkan kebusukan dari dalam sistem, sering kali justru menjadi musuh negara. Shipp sendiri mengaku mendapat tekanan, ancaman, bahkan pengawasan intensif ketika memutuskan berbicara. Ini mencerminkan bahwa sistem tidak toleran terhadap transparansi. Seperti halnya radar yang mendeteksi pesawat asing, sistem kekuasaan bayangan punya sensor terhadap siapa pun yang mencoba menyibak kegelapan.
Bahaya yang Nyata bagi Demokrasi
Dalam demokrasi, kita diajarkan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat dan dijalankan untuk rakyat. Tapi bagaimana jika ternyata “negara dalam” yang memutuskan segalanya? Kalau kebijakan nasional diatur oleh mereka yang tak bisa dipilih apalagi diberhentikan rakyat, maka demokrasi hanya tinggal nama.
Lebih gawat lagi, ketika media massa yang seharusnya menjadi alat kontrol dan pencerdas publik justru menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Media berubah menjadi pengeras suara elite, bukan lagi reflektor kebenaran.
Relevansi bagi Dunia, Termasuk Indonesia
Jangan berpikir ini hanya terjadi di Amerika. Kita tahu bagaimana kekuatan ekonomi, politik, dan militer juga menjalin hubungan simbiotik di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Pengaruh kartel bisnis dalam penentuan kebijakan nasional, operasi intelijen yang tidak transparan, dan budaya tutup mulut adalah pertanda bahwa bayang-bayang kekuasaan juga menghantui republik ini.
Dalam konteks kedaulatan udara pun, kita bisa melihat bagaimana keputusan penting kadang lebih tunduk pada lobi asing dan tekanan diplomatik ketimbang kepentingan nasional. Jika tidak hati-hati, kita akan menjadi bangsa besar yang hanya berdiri di panggung depan, sementara sutradaranya ada di belakang layar.
Penutup
Pernyataan Kevin Shipp adalah alarm. Kita tidak sedang melawan teroris atau musuh dari luar. Kita harus berani menghadapi kenyataan bahwa dalam tubuh negara sendiri, ada kekuatan yang berjalan diam-diam, menyusun langkah, dan menentukan arah tanpa mandat rakyat. Demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan. Demokrasi adalah keterbukaan, kontrol publik, dan keberanian melawan kekuasaan yang menyimpang.
Sebagaimana saya sering tekankan: kekuasaan tanpa pengawasan akan menjelma menjadi tirani, seberapa mulia pun niat awalnya. Dan seperti kata Edmund Burke: “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” Maka, mari kita lakukan sesuatu—sebelum semuanya terlambat.
Jakarta 30 April 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia