Oleh: Chappy Hakim
Dalam sejarah pemikiran politik, nama-nama besar para filsuf dan teoritikus kerap hadir bukan hanya lewat karya-karya besar mereka, tetapi juga melalui satu-dua kalimat pendek yang tajam, memukau, bahkan mengganggu. Kalimat-kalimat itu menjadi semacam “jargon” yang melampaui zaman, mewakili cara pandang, strategi, bahkan nilai-nilai yang mereka wariskan pada dunia. Seperti bintang di langit malam, masing-masing bersinar dengan cahaya khasnya, menuntun para pejalan dalam rimba kekuasaan dan kenegaraan.
Niccolò Machiavelli: Politik dan Legitimasi Cara
Jargon paling terkenal dalam dunia politik barangkali adalah milik Niccolò Machiavelli, seorang negarawan dan filsuf Italia abad ke-16, yang dikenal lewat karya Il Principe (Sang Penguasa). Meski secara harfiah ia tidak pernah menuliskan kalimat “tujuan menghalalkan segala cara,” namun semangat itu begitu terasa dalam seluruh pikirannya. Bagi Machiavelli, seorang pemimpin sejati tidak terikat oleh moralitas konvensional. Ia harus berani “jahat” bila situasi menuntut. Dalam dunia yang keras dan penuh intrik, seorang pangeran lebih baik ditakuti daripada dicintai, tulisnya. Jargon ini telah membelah tafsir antara kebijaksanaan realistik dan sinisme politik. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa Machiavelli mengajarkan bahwa kekuasaan merupakan ujud dari seni bertahan dalam realitas, bukan utopia.
Thomas Hobbes: Leviathan dan Negara sebagai Monster Rasional
Ketika Inggris dilanda perang saudara pada abad ke-17, Thomas Hobbes menulis Leviathan, buku yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang secara alami egois, kejam, dan hidup dalam “bellum omnium contra omnes,” perang semua melawan semua. Jargon terkenalnya: homo homini lupus manusia adalah serigala bagi sesamanya. Dari pandangan suram ini, Hobbes menyimpulkan bahwa hanya negara kuat yang bisa menjamin kedamaian, bahkan jika negara itu seperti Leviathan raksasa yang menakutkan. Hobbes adalah peletak dasar dari teori kontrak sosial yang memandang kekuasaan sebagai hasil dari kesepakatan demi stabilitas, bukan dari hak ilahi.
John Locke: Hak Asasi dan Negara Terbatas
Berbeda dari Hobbes, John Locke datang membawa cahaya pada pandangan tentang manusia dan negara. Ia menulis bahwa manusia secara alami memiliki hak hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, property). Jargon terkenalnya: pemerintah dibentuk untuk melindungi hak-hak alamiah manusia. Bila negara gagal menjalankan tugas itu, rakyat berhak mengganti pemerintah. Pemikiran Locke inilah yang kemudian menjadi fondasi liberalisme modern dan menginspirasi Revolusi Amerika. Dalam Locke, kita melihat kepercayaan bahwa negara adalah alat rakyat, bukan sebaliknya.
Jean-Jacques Rousseau: Kehendak Umum sebagai Kedaulatan Rakyat
Rousseau menulis dengan api dalam dada. “Manusia dilahirkan merdeka, namun di mana-mana ia dibelenggu.” Kalimat pembuka dalam Du Contrat Social itu adalah jargonnya yang abadi. Rousseau mengkritik ketimpangan dan kemunafikan masyarakat borjuis, seraya mengusulkan konsep “volonté générale” atau kehendak umum semacam suara kolektif rakyat yang harus dijadikan landasan tertinggi dalam pengambilan keputusan politik. Dalam Rousseau, demokrasi langsung dan kesetaraan adalah cita-cita tertinggi, meskipun dalam praktiknya dunia sering memilih jalan kompromi.
Karl Marx: Politik sebagai Refleksi Kelas
Dalam dunia modern, nama Karl Marx tetap menggema. Kalimat terkenalnya: “Sejarah seluruh masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas.” Bagi Marx, politik tidak bisa dipisahkan dari ekonomi. Negara, dalam pandangannya, adalah alat kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi. Ia menyerukan revolusi proletar sebagai jalan keluar dari eksploitasi kapitalis. Meskipun ide komunisme yang ia gagas menimbulkan perdebatan panjang dan praktik yang beragam, Marx telah membentuk cara pandang kritis terhadap politik dan kekuasaan dalam masyarakat industri.
Max Weber: Etika Tanggung Jawab dan Politik sebagai Panggilan
Max Weber, sosiolog Jerman abad ke-20, memberi warna baru dalam memahami politik. Ia membedakan antara “etika keyakinan” dan “etika tanggung jawab” dua cara memandang tindakan politik. Dalam esainya yang terkenal Politics as a Vocation, Weber menulis bahwa politik adalah upaya menaklukkan kekuasaan melalui kekuasaan. Namun ia juga menekankan bahwa politisi sejati adalah mereka yang memiliki hasrat, rasa tanggung jawab, dan pandangan jauh ke depan. Baginya, birokrasi dan rasionalisasi membawa perubahan besar dalam kekuasaan modern.
Antonio Gramsci: Hegemoni dan Perebutan Makna
Dari balik jeruji penjara, Gramsci menulis Prison Notebooks yang mengguncang dunia teori politik. Jargon terkenalnya adalah hegemoni dominasi budaya yang tampak “alami” padahal sesungguhnya merupakan bentuk kekuasaan yang tersembunyi. Bagi Gramsci, kelas penguasa tidak hanya mengontrol ekonomi, tapi juga makna, norma, dan cara berpikir. Untuk melawan, kelas tertindas harus membentuk counter-hegemony sebuah narasi tandingan yang mampu menggugah kesadaran kolektif. Di sinilah politik menjadi medan tempur ide.
Michel Foucault: Kekuasaan Ada di Mana-Mana
Michel Foucault membawa lensa baru dalam melihat kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang hanya ada di lembaga negara, melainkan tersebar dalam wacana, institusi, bahkan dalam tubuh manusia. Jargon terkenalnya: power is everywhere. Kekuasaan, menurutnya, bukan sekadar represif, tetapi juga produktif menciptakan norma, membentuk identitas, dan mendisiplinkan perilaku. Dengan pendekatan genealogi dan arkeologi pengetahuan, Foucault menantang semua bentuk kebenaran yang diklaim absolut. Dalam Foucault, politik menjadi medan disiplin dan perlawanan yang kompleks.
Demikianlah Dari Machiavelli hingga Foucault, kita melihat bentangan pemikiran yang luas tentang apa itu politik, siapa yang berkuasa, dan bagaimana kekuasaan dijalankan. Ada yang melihat negara sebagai monster rasional, ada pula yang melihatnya sebagai pelindung hak, atau sebagai benteng bagi kelas dominan. Masing-masing membawa jargon dan warisan pemikiran yang hidup hingga hari ini. Namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan bahwa politik bukan sekadar tentang aturan dan prosedur, melainkan tentang bagaimana manusia hidup bersama, berkonflik, berkompromi, dan mencari jalan untuk membangun dunia yang lebih adil atau lebih kuat. Dalam dunia yang terus berubah, pemikiran mereka tetap relevan. Tidak untuk ditelan mentah-mentah, tetapi untuk menjadi cermin reflektif dalam menghadapi dilema-dilema politik modern. Karena politik, seperti yang pernah dikatakan Weber, adalah panggilan. Dan seperti yang diyakini Machiavelli, panggilan itu kadang memerlukan keberanian untuk memilih jalan yang sulit meski tak selalu benar sekaligus tidak selalau salah dalam pandangan umum.
Referensi:
- Machiavelli, Niccolò. Il Principe. Florence: 1532.
- Hobbes, Thomas. Leviathan. 1651.
- Locke, John. Two Treatises of Government. 1689.
- Rousseau, Jean-Jacques. Du Contrat Social. 1762.
- Marx, Karl & Engels, Friedrich. The Communist Manifesto. 1848.
- Weber, Max. Politics as a Vocation. 1919.
- Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. 1971.
- Foucault, Michel. Discipline and Punish & Power/Knowledge. 1975.
Jakarta 21 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia