Gelombang pengakuan internasional terhadap Negara Palestina memasuki fase baru sepanjang 2024–2025, ditandai pergeseran signifikan di negara-negara Barat yang sebelumnya menahan diri. Setelah dekade panjang dukungan mayoritas Global South, kini sejumlah negara demokrasi mapan termasuk Britania Raya, Kanada, Australia, dan Portugal mengumumkan pengakuan resmi yang terkoordinasi menjelang Sidang Majelis Umum PBB pekan ini. Momentum ini bukan sekadar simbolik, ia menata ulang kalkulus diplomatik, memperkuat legitimasi hukum-politik Palestina, dan menekan jalur negosiasi ke arah solusi dua negara.
Dari Eropa Barat ke Persemakmuran
Pada 21 September 2025, Perdana Menteri Keir Starmer mengumumkan Britania Raya mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, dengan rujukan garis 1967 dan penegasan bahwa Hamas tidak akan punya peran dalam pemerintahan Palestina mendatang. Langkah London dijustifikasi sebagai upaya “menjaga peluang perdamaian tetap hidup” di tengah krisis Gaza. Dalam hitungan jam, Kanada di bawah PM Mark Carney menyusul, sebuah pergeseran tajam dari kebijakan lama Ottawa yang disertai paket prasyarat reformasi Otoritas Palestina (pemilu 2026, demiliterisasi, eksklusi Hamas). Australia mengumumkan pengakuan dalam koordinasi serupa, menandai konsolidasi posisi di antara sekutu-sekutu tradisional Barat. Portugal kemudian meresmikan pengakuan, menyebutnya sebagai konsistensi prinsip kebijakan luar negeri Lisbon yang mendukung solusi dua negara. Keempat pengumuman ini dilakukan berdekatan, jelas dirancang untuk memberi bobot politik kolektif menjelang forum PBB. Secara taktis, paket pengakuan 2025 mengandung “garis pagar” (guardrails) yakni dukungan solusi dua negara, tekanan penghentian permukiman ilegal, tuntutan pembebasan sandera, dan dorongan untuk konsolidasi otoritas sipil non-ekstremis di Palestina. Dengan desain seperti ini, pengakuan ditampilkan bukan sebagai “hadiah politik”, melainkan instrumen mendorong arsitektur perdamaian yang praktis.
Karibia & Eropa mendorong arus utama
Gelombang di tahun 2025 berdiri di atas fondasi tahun 2024, ketika sembilan negara, Armenia, Slovenia, Irlandia, Norwegia, Spanyol, Barbados, Jamaika, Trinidad & Tobago, dan Bahamas secara resmi menambah daftar pengakuan. Di Eropa, Irlandia, Norwegia, Spanyol, Slovenia memberi bobot geopolitik besar. Karibia, Barbados, Jamaika, Trinidad & Tobago, Bahamas memperlihatkan koherensi regional yang jarang. Kasus Jamaika terdokumentasi jelas lewat siaran resmi Kemenlu (MFAFT) pada 23 April 2024, yang menegaskan komitmen pada solusi dua negara. Barbados menindaklanjutinya dengan menjalin hubungan diplomatik penuh beberapa bulan kemudian. Klaster 2024 ini menggeser “baseline” dukungan internasional sehingga, memasuki 2025, pengakuan oleh negara-negara G7/Persemakmuran menjadi lebih politis layak.
Angka agregat & status PBB
Pada September 2025, sekitar 151 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Negara Palestina berarti lebih dari 78% keanggotaan PBB. Sejak November 2012, Palestina berstatus negara pengamat bukan anggota di Majelis Umum, yang memberi akses ke sejumlah badan dan instrumen hukum internasional. Eskalasi pengakuan oleh negara-negara Barat menambah bobot politik upaya lama untuk memajukan keanggotaan penuh PBB, yang sejauh ini tersendat oleh dinamika Dewan Keamanan dan veto tetap. Ada tiga lapis motif yang menonjol. Pertama, motif kemanusiaan dan hukum humaniter operasi militer berkepanjangan di Gaza. Krisis sipil, dan ekspansi permukiman Tepi Barat memperkuat argumen bahwa status-quo tidak lagi dapat dipertahankan, sementara pengakuan dilihat sebagai cara memberi insentif pada jalur politik. Kedua, motif stabilisasi regional yaitu pengakuan. Hal ini diharapkan memperbaiki leverage aktor moderat Palestina, mempersempit ruang kelompok bersenjata, dan membuka kembali horizon diplomasi. Ketiga, motif domestik: tekanan opini publik dan dinamika partai. Ini terutama di Eropa Barat dan Persemakmuran yang mendorong pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan dengan persepsi keadilan dan legalitas internasional, tetapi tanpa melepaskan komitmen keamanan Israel.
Secara diplomatik, pengakuan membuka jalan pembentukan atau peningkatan hubungan setingkat kedutaan, akses bantuan pembangunan terarah, dan koordinasi reformasi institusional Palestina (pemilu, tata kelola, sektor keamanan). Secara hukum-internasional, semakin banyak pengakuan akan memperkuat klaim kenegaraan. Termasuk tentang wilayah, penduduk, pemerintahan serta kapasitas traktat (treaty-making) dan pemanfaatan forum hukum internasional. Secara politik, ia mengubah ekosistem negosiasi. Israel menghadapi lingkungan internasional yang kian menganggap “dua negara” bukan sekadar opsi, melainkan norma dasar yang harus difasilitasi, sementara kepemimpinan Palestina mendapat insentif untuk konsolidasi pemerintahan yang representatif dan non-kekerasan agar dukungan berlanjut.
Hambatan & kontestasi
Pengakuan memang tidak menyelesaikan isu paling sulit. Terutama dalam hal garis batas final, status Yerusalem, pemukiman, pengungsi, dan pengaturan keamanan. Penolakan keras dari pemerintah Israel dan sebagian sekutu tetap menjadi kenyataan politik, termasuk tekanan dagang/keamanan terhadap negara-negara yang mengakui. Di PBB, veto DK masih menjadi penghalang keanggotaan penuh meski dukungan di Majelis Umum terus melebar. Karena itu, gelombang pengakuan cenderung disandingkan dengan prasyarat reformasi internal Palestina yang mendepankan otoritas sipil, pemilu, dan akuntabilitas agar pengakuan memiliki “daya serap” institusional. Dalam jangka pendek, beberapa ibu kota Eropa, Paris paling menonjol telah memberi sinyal pengakuan sebagai “kontribusi penanda” menuju perdamaian. Sementara negara kecil-menengah Eropa lain mengeksplorasi format pengakuan bersyarat (mis. pengakuan diikuti peta jalan reformasi). Di wilayah Karibia dan Amerika Latin, arus 2024 berpotensi berlanjut pada penguatan hubungan diplomatik dan kerja sama pembangunan. Semua ini mengarah pada normalisasi posisi Palestina dalam praktik hubungan internasional. Meskipun penyelesaian final tetap menuntut negosiasi substantif yang saat ini masih terhambat dinamika konflik di lapangan.
Singkatnya , pada21 Sept 2025: UK, Kanada, Australia, dan Portugal mengumumkan pengakuan terkoordinasi—pergeseran besar di blok Barat. Setelah itu, Sepanjang 2024, lonjakan pengakuan datang dari Eropa (Irlandia, Norwegia, Spanyol, Slovenia) dan Karibia (Barbados, Jamaika, Trinidad & Tobago, Bahamas). Agregat global 151/193 anggota PBB kini mengakui Palestina, status di PBB tetap sebagai negara pengamat karena keanggotaan penuh tersendat di DK.
Pertanyaannya adalah apakah kesemua itu akan langsung dapat berdampak pada penyelesaiaan secara menyeluruh konflik di timur tengah yang selama ini terus berkepanjangan ?
Jakarta 22 September 2025
Chappy Hakim
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI