Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Militer dan Pusaran Kekuasaan Politik
    Article

    Militer dan Pusaran Kekuasaan Politik

    Chappy HakimBy Chappy Hakim08/05/2025No Comments4 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Oleh: Chappy Hakim

    Dalam sejarah Indonesia, militer bukan hanya pilar pertahanan, tetapi juga aktor penting dalam panggung kekuasaan. Sejak kelahirannya sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tahun 1945, militer tumbuh bersama Republik, dibentuk dari semangat perjuangan bersenjata dan idealisme menjaga kedaulatan. Namun, sejarah juga mencatat, bahwa kedekatan militer dengan kekuasaan sipil kerap menjadi pedang bermata dua yakni menjaga stabilitas di satu sisi, namun berpotensi merusak demokrasi di sisi lain.

    Selama era Soekarno, militer menjadi mitra strategis dalam Demokrasi Terpimpin. Soeharto kemudian melangkah lebih jauh dengan mendesain Dwi Fungsi ABRI, menjadikan militer sebagai kekuatan sosial-politik yang menyatu dalam semua lini pemerintahan. Militer mengisi jabatan sipil, duduk di parlemen, hingga mengatur kehidupan sosial masyarakat. Orde Baru menjadikan militer sebagai tulang punggung kekuasaan, dengan stabilitas sebagai dalih utama. Reformasi 1998 mencoba memutus warisan ini. TNI dan Polri dipisah, Dwi Fungsi dihapus, dan supremasi sipil ditegakkan sebagai norma baru. Tapi apakah semuanya berjalan sesuai harapan?

    Dua dekade setelah reformasi, kita menyaksikan gejala “kembalinya bayang-bayang militerisme” dalam bentuk yang lebih halus. Pelibatan TNI dalam urusan sipil kembali meningkat. Dari ketahanan pangan, pengelolaan bencana, hingga proyek infrastruktur strategis nasional. Istilah “Operasi Militer Selain Perang” (OMSP) menjadi pintu masuk bagi perluasan peran militer di luar fungsi pertahanan. Sekilas tampak sah dan masuk akal, namun jika tidak dikawal dengan ketat, ini adalah jalan kembali ke logika Dwi Fungsi yang dulu telah kita sepakati untuk ditinggalkan.

    Di sisi lain, keterlibatan purnawirawan TNI dalam politik elektoral juga terus mencuat. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, hingga Prabowo Subianto, semua adalah contoh bagaimana militer tetap menjadi kekuatan politik laten yang diperhitungkan. Purnawirawan kerap menjadi simbol kekuatan, jaringan, dan legitimasi, yang dengan mudah dipolitisasi dalam kontestasi elektoral. Bahkan, dalam Pemilu 2024, dukungan terbuka purnawirawan terhadap calon tertentu menunjukkan bahwa garis antara militer dan politik belum benar-benar dipisahkan.

    Lebih dari itu, muncul pula fenomena yang oleh sejumlah pengamat disebut sebagai “Partai Coklat” metafora atas ekspansi kekuasaan Polri ke ruang-ruang strategis yang dulunya dikuasai militer. Dalam diam, rivalitas antara TNI dan Polri dalam hal kekuasaan, sumber daya, dan pengaruh pun makin mengeras. Munculnya ketegangan dalam pengelolaan intelijen, jabatan sipil strategis, hingga penanganan Pilkada menjadi gejala dari struktur kekuasaan yang belum matang. Jika tidak dikelola dengan bijak, konflik laten antarinstitusi ini bisa menjadi sumber instabilitas politik baru.

    Sementara itu, revisi Undang-Undang TNI yang sedang dibahas justru memunculkan kekhawatiran baru. Draf RUU tersebut memberi celah yang terlalu luas bagi pelibatan militer dalam urusan sipil tanpa akuntabilitas yang jelas. Di tengah ketidaksiapan sipil dan lemahnya pengawasan, pasal-pasal semacam ini berpotensi membuka ruang legalisasi “neo-Dwi Fungsi”, yang bisa mengembalikan militer sebagai pemain utama dalam kekuasaan negara.

    Apa yang seharusnya kita lakukan?

    Pertama, sudah saatnya Indonesia menyusun Buku Putih Pertahanan yang baru, komprehensif, dan transparan. Dokumen ini harus memetakan tantangan aktual dan masa depan termasuk ancaman non-militer seperti krisis energi, siber, dan perubahan iklim serta menetapkan batasan tegas antara fungsi militer dan urusan sipil. Tanpa visi jangka panjang, TNI akan terus diseret ke dalam arus kekuasaan yang berubah setiap lima tahun.

    Kedua, peran purnawirawan militer dalam politik perlu diletakkan dalam kerangka etika dan tanggung jawab simbolik. Secara hukum mereka memang bebas berpolitik. Namun sebagai mantan pengemban senjata negara, mereka juga membawa warisan institusional yang harus dijaga. Dukungan terbuka terhadap calon tertentu, apalagi dengan simbol dan narasi militer, bisa menciptakan persepsi publik yang salah: bahwa militer masih menjadi kekuatan politik terselubung.

    Ketiga, sistem pengawasan terhadap TNI perlu diperkuat, baik oleh parlemen, media, maupun masyarakat sipil. Jika pengawasan ini lemah, maka militer bisa tergelincir dalam agenda-agenda di luar tugas konstitusionalnya. Belajar dari teori Peter D. Feaver tentang agency theory, hubungan sipil-militer harus dibangun dalam relasi principal–agent yang sehat, di mana militer tunduk pada kehendak otoritas sipil yang demokratis dan konstitusional.

    Terakhir, pendidikan politik di tubuh militer perlu ditingkatkan. Profesionalisme militer bukan sekadar urusan alutsista dan teknologi, melainkan juga soal pemahaman nilai-nilai demokrasi, HAM, dan supremasi hukum. Gagasan dari Alfred Stepan tentang “new professionalism” mengingatkan kita bahwa justru pelibatan militer dalam pembangunan nasional sering dibenarkan secara moral tetapi jika tanpa pengawasan sipil yang kuat, justru menjadi ancaman nyata bagi demokrasi.

    Militer Indonesia adalah kebanggaan bangsa. Ia lahir dari perjuangan rakyat dan telah membuktikan kesetiaannya terhadap NKRI. Tapi kesetiaan terbaik adalah yang diwujudkan melalui profesionalisme, bukan keterlibatan dalam politik praktis. Kita tidak ingin sejarah kelam militerisme terulang kembali, meski dalam wajah dan narasi yang berbeda.

    Reformasi 1998 telah memberi kita pelajaran berharga: bahwa kekuasaan tanpa kontrol adalah resep bencana. Dan bahwa supremasi sipil bukan berarti melemahkan militer, tetapi justru menguatkan negara.  Kini saatnya kita kembali meneguhkan komitmen itu. Jangan biarkan krisis menjadi dalih untuk membuka jalan bagi kebangkitan kekuasaan bersenjata. Militer yang kuat adalah yang tunduk pada konstitusi, bukan pada godaan kekuasaan.

    Jakarta 4 Agustus 2025

    Chappy Hakim

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleMembangun Sinergi Pusat-Daerah
    Next Article Menerima Hidup Sebagaimana Adanya “When Things Don’t Go Your Way”
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Menerima Hidup Sebagaimana Adanya “When Things Don’t Go Your Way”

    08/05/2025
    Article

    Membangun Sinergi Pusat-Daerah

    08/05/2025
    Article

    Obituari: Marsma TNI Fadjar

    08/04/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.