Pameran Buku Kedirgantaraan Karya Tulis Chappy Hakim
Wilayah Udara Indonesia selalu biru di mata mereka yang percaya pada masa depan, tetapi juga selalu menyimpan tanda tanya bagi mereka yang paham bahwa langit bukan sekadar pemandangan ia adalah wilayah kedaulatan. Di sanalah jalur kehidupan modern berdenyut, dari lalu lintas penerbangan sipil hingga manuver pertahanan udara strategis. Namun, di tengah hingar-bingar politik dan ekonomi, pembicaraan tentang langit sering tenggelam, seolah ia hanya milik pilot dan teknokrat. Padahal, udara dan antariksa adalah masa depan umat manusia. Jika kita ingin berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar, kita harus memandang wilayah udara sebagai ruang hidup yang harus dipahami, dicintai, dan dikuasai.
Ketika Republik ini berdiri pada 17 Agustus 1945, para pendirinya menyadari bahwa kemerdekaan bukanlah garis akhir, melainkan garis awal. Proklamasi hanyalah pintu gerbang untuk memasuki perjalanan panjang membangun kedaulatan sejati, bukan hanya di darat dan laut, tetapi juga di udara. Dalam delapan puluh tahun perjalanannya, Indonesia telah menempuh berbagai ujian, mulai dari mempertahankan kemerdekaan, membangun jati diri sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, hingga merespons perubahan teknologi dan geopolitik global yang begitu cepat.
Di tengah semua itu, satu hal yang sering luput dari perhatian publik adalah kesadaran bahwa air and space, udara dan antariksa adalah domain strategis yang akan menentukan masa depan umat manusia. Peradaban modern tidak lagi hanya bergerak di darat dan laut. Masa depan akan ditentukan oleh siapa yang menguasai langit. Sebagaimana nenek moyang kita adalah pelaut ulung yang menguasai samudra Nusantara, maka anak cucu kita harus menjadi insan dirgantara yang menguasai udara dan antariksa.
Itulah semangat yang melandasi penyelenggaraan Pameran Buku Kedirgantaraan Chappy Hakim di Perpustakaan Nasional RI pada 11–12 Agustus 2025. Pameran ini menjadi bagian dari rangkaian perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia. Namun bagi saya pribadi, pameran ini lebih dari sekadar menata deretan buku di meja dan rak pameran. Ia adalah upaya menyampaikan pesan strategis kepada generasi muda Indonesia, bahwa literasi dan kedirgantaraan harus berjalan beriringan jika kita ingin berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Sejak pertama kali menulis artikel di harian Kompas pada 22 Juni 1988, saya menyadari bahwa kekuatan pena bisa melampaui batas ruang dan waktu. Tulisan bukan hanya alat dokumentasi, tetapi juga wahana pendidikan, penyebaran gagasan, dan pembentukan opini publik. Saya kemudian menulis puluhan buku yang sebagian besar mengangkat tema kedirgantaraan, pertahanan negara, strategi air power, dan isu-isu kebangsaan yang berkaitan dengan ruang udara. Mengapa saya memilih fokus itu? Karena saya melihat bahwa di negeri ini, literasi tentang udara masih tertinggal jauh dibanding literasi maritim atau darat. Padahal, dalam lanskap pertahanan dan pembangunan, udara bukan sekadar jalur penerbangan sipil atau area teknis yang hanya dimengerti oleh insinyur penerbangan dan pilot. Udara adalah ruang kedaulatan. Udara adalah jalur logistik strategis. Udara adalah arena diplomasi dan bahkan merupakan teater atau panggung peperangan modern.
Sayangnya, kesadaran ini masih minim di kalangan publik. Diskusi tentang kedirgantaraan sering kali hanya muncul ketika ada kecelakaan pesawat atau bila sedang ada Air Show belaka. Jarang sekali kita membicarakan visi jangka panjang tentang bagaimana Indonesia mengelola, mempertahankan, dan memanfaatkan ruang udaranya secara optimal. Inilah yang mendorong saya untuk menuangkan pengalaman dan pemikiran ke dalam buku, karena buku memberi kesempatan untuk membahas isu-isu ini secara mendalam, tanpa terjebak dalam hiruk-pikuk berita harian yang cepat terlupakan.
Ruang Dialog
Pameran di Perpustakaan Nasional ini menampilkan kurang lebih 50 buku karya saya, yang mencakup berbagai topik, dari strategi pertahanan udara, refleksi perjalanan penerbangan nasional, hingga kepemimpinan dan humaniora. Menariknya, pameran ini juga memajang karya istri, anak, dan menantu saya. Ini bukan sekadar kebetulan, tetapi cerminan bahwa literasi bisa menjadi tradisi keluarga. Saya percaya bahwa menulis dan membaca adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Dalam dunia yang bergerak cepat, di mana informasi berlimpah tetapi sering dangkal, buku menjadi jangkar yang menjaga kedalaman dan ketajaman berpikir. Dengan menghadirkan buku-buku ini secara fisik, pameran menciptakan ruang dialog antara penulis dan pembaca, antara generasi lama dan generasi baru.
Kurator pameran, Dr. Nasir Tamara, seorang jurnalis senior yang telah lama mengamati dinamika politik dan kebudayaan Indonesia menyusun penataan buku sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat memahami alur perkembangan pemikiran saya, dari karya pertama hingga yang terbaru. Penataan ini penting karena buku bukan hanya koleksi kata, tetapi juga jejak perjalanan intelektual dan emosional penulisnya.
Mendidik Insan Dirgantara
Tema sentral pameran ini adalah mengajak generasi muda untuk mencintai dan menguasai kedirgantaraan. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin terdengar abstrak. Namun mari kita lihat kenyataan, seluruh sistem logistik modern, perdagangan internasional, pariwisata, dan bahkan keamanan pangan, sangat bergantung pada mobilitas udara. Lebih jauh lagi, perkembangan teknologi drone, satelit, dan kendaraan antariksa akan mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi dalam beberapa dekade mendatang. Apakah Indonesia akan menjadi pemain atau sekadar penonton dalam arena ini? Jawaban atas pertanyaan itu bergantung pada sejauh mana kita mempersiapkan generasi muda kita hari ini. Literasi kedirgantaraan bukan hanya mengajarkan mereka tentang pesawat atau roket, tetapi juga tentang strategi nasional, etika teknologi, dan diplomasi udara. Itulah sebabnya saya selalu menekankan bahwa “air and space adalah masa depan umat manusia”. Jika kita ingin menjadi bangsa yang berdaulat di abad ke-21, kita tidak punya pilihan lain selain menguasai langit.
Perpustakaan sebagai Garda Depan Literasi Strategis
Pemilihan Perpustakaan Nasional RI sebagai lokasi pameran bukan kebetulan. Perpustakaan adalah simbol pengetahuan yang terbuka bagi semua. Di sinilah masyarakat bisa mengakses sumber informasi yang bebas dari bias kepentingan jangka pendek. Saya mengapresiasi Prof. Dr. Aminuddin, Kepala Perpusnas, yang menyambut gagasan ini dengan tangan terbuka. Pembukaan pameran akan dilakukan oleh Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Atip Latipulhayat, yang selama ini juga aktif mendorong pembaruan pendidikan di Indonesia. Kehadiran beliau menggarisbawahi bahwa literasi kedirgantaraan tidak bisa berdiri sendiri, ia harus menjadi bagian dari ekosistem pendidikan nasional. Dengan dukungan institusi seperti Perpusnas, saya berharap pesan tentang pentingnya kedirgantaraan dapat menjangkau audiens yang lebih luas, tidak hanya kalangan militer atau penerbangan, tetapi juga pelajar, mahasiswa, peneliti, dan masyarakat umum.
Lebih dari Sekadar Buku
Selain menampilkan buku, pameran ini juga mengadakan sesi bincang-bincang dan interaksi langsung dengan saya sebagai penulis. Sesi ini penting karena memberi kesempatan bagi pengunjung untuk mengajukan pertanyaan, mendiskusikan ide, bahkan berdebat secara sehat. Saya percaya bahwa diskusi langsung seperti ini dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan memicu lahirnya gagasan-gagasan baru. Dalam setiap pertemuan dengan anak muda, saya selalu mengatakan bahwa masa depan Indonesia tidak akan ditentukan oleh seberapa banyak sumber daya alam yang kita miliki, tetapi oleh seberapa cepat kita mampu mengubah pengetahuan menjadi kekuatan strategis. Dan dalam konteks abad ini, kekuatan strategis itu banyak ditentukan oleh penguasaan teknologi udara dan antariksa.
Demikianlah bagi saya, pameran ini adalah momen refleksi. Selama puluhan tahun, saya mengabdi di dunia penerbangan dan pertahanan. Saya telah melihat langsung betapa vitalnya udara bagi kedaulatan negara. Namun saya juga menyadari bahwa pemahaman publik tentang isu ini masih perlu diperluas. Melalui buku-buku ini, saya ingin meninggalkan jejak pemikiran yang dapat dibaca, dipelajari, dan saya harap dapat ditindaklanjuti oleh generasi mendatang. Pameran ini bukan sekadar perayaan karya pribadi, tetapi undangan terbuka untuk bersama-sama membangun masa depan Indonesia yang berdaulat di udara. Ketika kita merayakan 80 tahun kemerdekaan, mari kita ingat bahwa kemerdekaan sejati adalah kemampuan untuk menentukan nasib sendiri di semua domain: darat, laut, udara, dan antariksa. Dan untuk itu, kita harus menguasai langit, sebagaimana dulu nenek moyang kita menguasai samudra. Buku adalah sayap pengetahuan. Dan dengan sayap itulah, kita dapat terbang menuju masa depan.
Jakarta 10 Agustus 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia