Pelajaran dari Perang Udara India–Pakistan dan Masalah Kedaulatan Wilayah Udara Nasional
Air War atau perang udara mutakhir antara India dan Pakistan menunjukkan perkembangan signifikan dalam konstelasi kekuatan udara regional, di mana Angkatan Udara Pakistan berhasil menjatuhkan pesawat Rafale milik India dengan menggunakan pesawat J-10C dan sistem pertahanan udara buatan Tiongkok.
Kejadian ini serta merta memunculkan pertanyaan strategis terkait pilihan alutsista Indonesia dan status aktual pengelolaan wilayah udara nasional, khususnya di kawasan perbatasan kritis seperti Selat Malaka. Uraian ini hendak menegaskan bahwa pembangunan sistem pertahanan udara nasional (SisHanUdNas) tidak dapat dilepaskan dari kendali penuh atas wilayah udara. Tanpa kedaulatan operasional di wilayah udara sendiri, investasi dalam sistem senjata pertahanan udara mutakhir menjadi tidak relevan. Tulisan ini menawarkan kerangka pemikiran strategis dalam membangun SisHanUdNas Indonesia secara utuh, bertahap, dan berlandaskan pada kondisi geografis dan ancaman nyata.
Konteks Global dan Pertanyaan Strategis Indonesia
Perang udara terbaru di kawasan Kashmir antara India dan Pakistan memberikan kejutan besar dalam lanskap sistem persenjataan dari sebuah kekuatan udara modern. Pesawat tempur J-10C buatan Tiongkok yang dioperasikan Angkatan Udara Pakistan (PAF) berhasil menjatuhkan jet tempur Rafale milik Angkatan Udara India (IAF), salah satu simbol kecanggihan alutsista standar NATO buatan Prancis. Hal ini bukan saja menunjukkan kemampuan tempur Pakistan dan kualitas teknologi Tiongkok, tetapi juga memicu diskursus luas tentang efektivitas dan relevansi pembelian alutsista oleh negara-negara berkembang—termasuk Indonesia—dalam konteks sistem pertahanan yang lebih luas.
Pembelian pesawat Rafale oleh Indonesia yang tengah berjalan menjadi sorotan, terutama jika dibandingkan dengan kondisi faktual wilayah udara nasional Indonesia yang sebagian masih dikuasai negara lain. Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Singapura tahun 2022 yang menyerahkan pengelolaan ruang udara di atas wilayah perbatasan kritis Selat Malaka kepada Singapura memperlihatkan adanya paradoks besar: Indonesia berinvestasi dalam alutsista mahal tanpa memiliki wewenang penuh untuk menggunakannya secara strategis di wilayah yang paling rawan. Kawasan yang merupakan prioritas utama dalam peta bangunan sistem pertahanan udara yang baku.
Masalah Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia
Salah satu hambatan utama dalam pembangunan sistem pertahanan udara nasional adalah keterbatasan wewenang atas ruang udara nasional. Wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dari permukaan laut hingga ketinggian 37.000 kaki, secara operasional masih didelegasikan kepada Singapura untuk dikelola dalam fungsi pelayanan lalu lintas udara (air traffic control), untuk 25 tahun dan akan diperpanjang, sebagaimana ditegaskan dalam perjanjian bilateral tahun 2022.
Ketergantungan ini secara langsung melemahkan kapasitas operasional TNI Angkatan Udara dalam melakukan patroli, latihan, dan penegakan hukum udara di kawasan strategis tersebut. Dengan tidak adanya otoritas penuh atas wilayah sendiri, pembangunan sistem pertahanan udara menjadi tidak efektif. Ini ibarat memiliki senjata canggih namun tidak memiliki wewenang membawanya dan berlatih ke medan tempur yang sebenarnya.
Pertahanan Udara sebagai Sub Sistem Pertahanan Nasional
Pertahanan udara (HanUd) bukan sekadar pesawat tempur atau rudal anti-serangan udara, tetapi merupakan sistem terintegrasi yang menjadi subsistem dari sistem pertahanan nasional (SishanNas). Keberhasilan sistem ini tergantung pada perencanaan jangka panjang, pemahaman medan geografis, serta terintegrasi dengan berbagai elemen: radar, komando kendali (command and control), pangkalan induk, pangkalan aju, serta komunikasi dan intelijen udara.
Sebagaimana banyak diulas oleh para ahli militer, pertahanan udara hanya efektif jika didasarkan pada penguasaan medan dan pengalaman operasional yang matang. Proses ini memerlukan waktu bertahun-tahun dan konsistensi lintas rezim pemerintahan. Artinya, pembangunan sistem HanUd bukan proyek instan yang diselesaikan dalam masa jabatan lima tahunan, melainkan sebuah proses strategis yang memerlukan doktrin nasional yang kuat dan kedaulatan penuh sebagai syarat mutlak.
Pesawat Tempur sebagai Alutsista, Bukan Sistem
Sering terjadi kesalahpahaman dalam persepsi publik maupun pengambil kebijakan bahwa kekuatan udara identik dengan jumlah pesawat tempur yang dimiliki. Padahal, pesawat tempur hanyalah satu dari banyak komponen dalam sistem pertahanan udara. Sebagai alat utama sistem senjata (alutsista), pesawat tidak akan mampu memberikan efek strategis apabila tidak didukung oleh sistem jaringan yang memadai: radar pengintai, sensor deteksi dini, sistem pelacakan, dan komando pengendalian terpadu.
Dalam kasus Indonesia, memiliki pesawat seperti Rafale tidak otomatis berarti memiliki superioritas udara, terutama jika pesawat tersebut tidak dapat diterbangkan secara bebas di kawasan kritis yang harus dijaga. Oleh karena itu, pembangunan sistem pertahanan udara harus dimulai dari building the system, bukan buying the platform.
Urgensi Rebut Kembali Kendali Wilayah Udara Nasional
Langkah paling strategis dalam memperkuat pertahanan udara Indonesia adalah memastikan terlebih dahulu bahwa pengelolaan wilayah udara nasional, khususnya pada critical border seperti Selat Malaka, kembali sepenuhnya di bawah kendali Indonesia. Tanpa langkah ini, Indonesia akan selalu berada dalam posisi tidak berdaya secara strategis.
Tentu saja upaya ini membutuhkan pendekatan diplomatik, teknis, dan pertahanan secara paralel. Pemerintah harus mendorong negosiasi ulang yang tegas namun berbasis hukum internasional, mengacu pada Chicago Convention 1944 dan Undang-Undang Penerbangan Nasional No. 1 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Harus ada upaya persuasif dalam mengajak untuk segera meninggalkan warisan sistem kolonial yang terbiasa dengan menduduki wilayah teritori negara lain untuk kepentingannya sendiri. Hubungan antar negara sudah selayaknya berlandas pada mutual respect dan mutual understanding. Harus saling menghormati kepentingan nasional masing masing.
Pelajaran dari Pakistan dan Reorientasi Strategi Pertahanan RI
Keberhasilan Pakistan dalam membangun sistem pertahanan udaranya adalah hasil kerja keras bertahun tahun dari konsistensi, kemauan politik, dan pemahaman akan pentingnya kedaulatan operasional. Pakistan tidak hanya membeli pesawat J-10C dari Tiongkok, tetapi juga membangun doktrin, pelatihan, dan sistem pendukung untuk menjadikannya bagian dari sistem pertahanan udara yang tangguh.
Kiranya Indonesia perlu belajar dari pendekatan ini, dan menghentikan praktik pembelian alutsista tanpa pembentukan sistem terlebh dahulu. Alih-alih mengejar “kebanggaan simbolik”, kebijakan pertahanan Indonesia harus berpijak pada realitas ancaman, geografi, dan kemampuan mengelola wilayah sendiri.
Demikianlah, kiranya harus dipahami bahwa Pertahanan udara Indonesia tidak dapat dibangun secara utuh tanpa kedaulatan operasional atas wilayah udara nasional. Pengadaan pesawat tempur canggih seperti Rafale hanya akan memiliki nilai strategis jika Indonesia mampu menggunakan pesawat tersebut secara bebas dan efektif di wilayah udara kritis yang menjadi garis depan dan sentral graviti dari pertahanan nasional. Oleh karena itu, prioritas kebijakan pertahanan saat ini adalah menata kembali kendali wilayah udara nasional dan membangun sistem pertahanan udara secara bertahap, terintegrasi, dan berdasarkan doktrin nasional yang kokoh.
Daftar Pustaka
- International Civil Aviation Organization. Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention), 1944.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
- Gibson, Edward. Boundary Control and Subnational Authoritarianism. Cambridge University Press, 2013.
- Chappy Hakim. Tanah Air dan Udara Kita. Jakarta: PSAPI Press, 2022.
- SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Military Expenditure and Arms Transfers Reports, 2023.
- Jane’s Defence Weekly. India-Pakistan Air Clash: Tactical Assessment and Lessons, 2025.