Oleh: Chappy Hakim
(Pemerhati Kesehatan, Aviasi, dan Ketahanan Nasional)
Bagi kebanyakan orang, kabar bahwa dirinya harus menjalani operasi bukanlah hal yang mudah diterima. Apalagi jika menyangkut organ tubuh yang kurang familiar, seperti kantung empedu. Tidak sedikit pasien yang merasa cemas, bingung, bahkan menunda tindakan medis hanya karena mendengar istilah “operasi empedu”. Padahal, justru penundaan itulah yang sering kali berbahaya. Di sinilah pentingnya edukasi publik yang berbasis pada ilmu pengetahuan, bukan pada ketakutan atau mitos yang tak berdasar.
Kantung empedu adalah organ kecil berbentuk seperti buah pir yang terletak di bawah hati. Fungsinya adalah menyimpan empedu—cairan yang diproduksi oleh hati dan berfungsi membantu pencernaan, terutama dalam mengolah lemak. Saat seseorang makan, khususnya makanan berlemak, kantung empedu berkontraksi dan melepaskan empedu ke dalam usus halus agar proses pencernaan berjalan optimal. Namun, dalam kondisi tertentu, empedu bisa mengalami gangguan, seperti pembentukan batu empedu (kolelitiasis) atau peradangan (kolesistitis). Bila sudah menimbulkan nyeri, mual, demam, hingga gangguan pencernaan kronis, maka tindakan medis berupa kolesistektomi atau pengangkatan kantung empedu kerap menjadi solusi yang disarankan oleh dokter.
Kolesistektomi adalah salah satu prosedur bedah yang paling umum dilakukan di dunia. Seiring kemajuan teknologi medis, kini prosedur ini lebih sering dilakukan secara laparoskopik, yaitu melalui sayatan kecil dan menggunakan kamera serta alat khusus yang dimasukkan ke dalam rongga perut. Menurut Soper & Stockmann (2021), lebih dari 90% tindakan kolesistektomi di negara maju dilakukan secara laparoskopik dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi dan pemulihan yang cepat.
Dalam kebanyakan kasus, operasi ini berlangsung selama satu hingga dua jam dan pasien bisa pulang dalam waktu 24–48 jam setelah tindakan. Namun bila kondisi pasien lebih kompleks—misalnya terjadi infeksi parah, abses, atau perlengketan jaringan—maka prosedur terbuka (open cholecystectomy) masih dibutuhkan dan biasanya memerlukan masa rawat inap yang lebih lama.
Meski demikian, yang paling menarik untuk disoroti adalah respons masyarakat terhadap saran medis semacam ini. Di banyak komunitas, termasuk di Indonesia, masih terdapat kesalahpahaman dan rasa takut yang berlebihan terhadap tindakan bedah. Hal ini diperparah oleh informasi yang salah di media sosial atau pengalaman subjektif yang disebarkan tanpa filter ilmiah. Akibatnya, banyak pasien yang datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah parah, padahal penyakit ini bisa ditangani lebih mudah bila ditindaklanjuti sejak dini.
Dalam konteks inilah edukasi kesehatan publik memegang peran sentral. Informasi dasar tentang apa itu empedu, apa fungsinya, dan kapan perlu dioperasi harus disampaikan dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat umum. Termasuk juga penjelasan bahwa hidup tanpa kantung empedu tetap memungkinkan dan relatif normal. Tubuh manusia memiliki kapasitas adaptasi yang luar biasa. Tanpa kantung empedu, cairan empedu akan langsung dialirkan dari hati ke usus kecil tanpa disimpan terlebih dahulu. Hal ini mungkin memerlukan penyesuaian, namun bukan sesuatu yang membahayakan secara medis.
Menurut panduan dari American College of Gastroenterology (2020), sebagian besar pasien yang telah menjalani kolesistektomi dapat kembali beraktivitas normal dalam waktu 1–2 minggu (laparoskopik) atau 4–6 minggu (operasi terbuka). Efek samping ringan yang mungkin timbul pascaoperasi meliputi diare, perut kembung, atau perubahan pola buang air besar, terutama jika pasien tidak memperhatikan pola makan. Oleh karena itu, salah satu kunci pemulihan adalah diet sehat: rendah lemak, tinggi serat, dan minum air putih cukup. Seiring waktu, sistem pencernaan akan menyesuaikan diri dan gejala biasanya menghilang.
Masalahnya tidak terletak pada kemampuan tubuh untuk pulih, tetapi pada kesiapan mental dan pengetahuan pasien. Banyak orang merasa takut kehilangan bagian dari tubuhnya, seolah-olah itu berarti kehilangan fungsi hidup. Padahal, banyak bagian tubuh manusia yang bisa diangkat tanpa menurunkan kualitas hidup secara signifikan—termasuk kantung empedu, usus buntu, bahkan satu ginjal.
Lebih dari itu, penundaan operasi empedu bisa berakibat fatal. Batu empedu yang terus tumbuh bisa menyumbat saluran empedu atau menyebabkan infeksi serius hingga sepsis. Beberapa kasus bahkan berujung pada pecahnya kantung empedu, yang merupakan kondisi darurat medis. Oleh karena itu, keputusan untuk segera menjalani operasi ketika memang dibutuhkan harus dilandasi oleh pemahaman ilmiah dan komunikasi yang baik antara pasien dan dokter.
Sayangnya, tingkat literasi kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang mengandalkan informasi dari sumber yang tidak kredibel dalam mengambil keputusan kesehatan. Di sinilah seharusnya media massa berperan lebih aktif, tidak hanya dalam memberitakan, tetapi juga dalam mendidik. Artikel kesehatan yang berbasis bukti ilmiah, ditulis dengan bahasa populer, dan disebarkan secara luas akan membantu masyarakat membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi medis.
Di sisi lain, tenaga medis juga perlu membekali diri dengan kemampuan komunikasi yang empatik. Menjelaskan risiko dan manfaat operasi, memandu pasien melalui tahapan persiapan, dan memberikan informasi tertulis yang bisa dibawa pulang adalah bagian dari pelayanan holistik yang dibutuhkan pasien modern. Tidak cukup hanya mengandalkan kompetensi teknis. Dokter dan tenaga medis dituntut untuk menjadi komunikator yang andal.
Menutup tulisan ini, perlu kita renungkan bahwa keputusan medis seperti operasi empedu bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, ini adalah langkah menuju kualitas hidup yang lebih baik. Banyak pasien yang setelah operasi justru merasa lebih ringan, lebih nyaman, dan terbebas dari gejala-gejala menyiksa yang selama ini mereka anggap sebagai “normal”.
Maka, bila Anda atau orang terdekat Anda harus menjalani operasi empedu, jangan buru-buru panik. Galilah informasi dari sumber yang sahih, bicaralah secara terbuka dengan dokter, dan pahamilah bahwa tubuh Anda mampu melewati proses ini dengan baik. Kesehatan bukan semata soal fisik, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami dan merawat diri sendiri dengan bijaksana.
Referensi
- Soper, N. J., & Stockmann, P. T. (2021). Laparoscopic Cholecystectomy: Techniques and Outcomes. Journal of Gastrointestinal Surgery, 25(3), 549–556.
- Greenberger, N. J., & Desanctis, A. N. (2022). Gallstone Disease and Cholecystitis. In Current Medical Diagnosis and Treatment. McGraw-Hill.
- American College of Gastroenterology. (2020). Clinical Guidelines: Management of Gallbladder Disorders. https://gi.org
Jakarta 31 Mei 2025
Dikutip dari berbagai sumber tulisan tentang Kesehatan