Dalam dunia yang makin terhubung lewat satelit dan sinyal orbit, ruang antariksa kini tak lagi hanya milik ilmuwan dan insinyur. Ia telah berubah menjadi medan persaingan baru antarnegara. Siapa yang menguasai orbit, ia akan menguasai komunikasi, pertahanan, logistik, dan bahkan arah geopolitik masa depan. Karena itulah, ruang antariksa bukan sekadar ranah teknologi—tetapi domain strategis nasional.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terletak tepat di garis khatulistiwa—sebuah posisi geografis yang ideal untuk peluncuran satelit dan pengembangan infrastruktur orbit rendah. Namun keunggulan ini akan tinggal potensi belaka jika tidak disertai strategi nasional yang terarah dan tata kelola yang kokoh. Sudah saatnya kita berhenti memandang antariksa sebagai urusan “jauh di atas sana”, dan mulai mengaitkannya langsung dengan ketahanan nasional kita.
Dimensi Pertahanan dan Kedaulatan
Pemanfaatan antariksa kini menyentuh sektor vital: satelit pengawasan dan komunikasi untuk pertahanan, sistem navigasi militer, mitigasi bencana, serta pengawasan wilayah laut dan udara. Tanpa kemandirian dalam infrastruktur ini, Indonesia akan selalu bergantung pada sistem asing, seperti GPS milik Amerika Serikat atau Beidou milik Tiongkok.
Bahkan dalam konflik bersenjata pun, orbit memiliki peran strategis. Baru-baru ini, konflik udara India–Pakistan pada Mei 2025 menunjukkan bagaimana informasi berbasis satelit digunakan untuk sistem komando kendali dan navigasi drone tempur. Perebutan dominasi udara kini tidak lagi hanya mengandalkan jet dan pilot, tapi kemampuan mengintegrasikan data orbit dalam waktu nyata.
Pelajaran bagi Indonesia sangat jelas: tanpa kendali atas langit dan luar angkasa, kedaulatan adalah ilusi.
Lebih dari itu, negara-negara besar telah mengembangkan sistem senjata antisatelit (ASAT) sebagai bagian dari doktrin militer mereka. Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan India pernah menguji coba rudal yang mampu menghancurkan satelit di orbit rendah bumi. Jika suatu hari Indonesia menjadi target disruption terhadap sistem komunikasi satelitnya dalam konflik regional, kita akan berada dalam posisi rentan tanpa memiliki sistem cadangan maupun kapasitas pertahanan antariksa.
Dalam konteks ini, penguatan pertahanan udara nasional tidak cukup hanya mengandalkan radar dan peluru kendali dari darat. Kita membutuhkan arsitektur pertahanan yang terintegrasi dengan orbit, termasuk kemampuan deteksi dini berbasis satelit, sistem penjejak objek luar angkasa (space situational awareness), dan mekanisme perlindungan terhadap satelit sipil maupun strategis. Inilah fondasi dari kedaulatan modern: bukan hanya menjaga batas di bumi, tetapi juga di langit dan antariksa.
Tantangan Kelembagaan Kita
Sayangnya, tata kelola ruang udara dan antariksa kita masih tersebar. Kementerian Perhubungan menangani navigasi sipil, Kementerian Pertahanan menangani strategi pertahanan udara, BRIN mengembangkan teknologi satelit, sementara TNI AU menjaga wilayah udara nasional. Tanpa forum koordinasi strategis lintas instansi, tidak akan pernah ada satu arah kebijakan yang utuh.
Sudah waktunya kita menghidupkan kembali Dewan Penerbangan, yang dahulu pernah dibentuk lewat PP No. 5 Tahun 1955. Namun kini perlu diperluas menjadi Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional—sebuah wadah kebijakan tinggi yang menghimpun Kemhan, Kemhub, TNI AU, BRIN, Kominfo, BSSN, dan unsur akademisi serta swasta. Dewan ini harus menjadi garda depan dalam membangun arah strategis nasional di bidang ruang udara dan ruang angkasa
Cermin FIR Singapura
Sebagai pengingat, selama puluhan tahun sebagian wilayah udara Indonesia—khususnya di sekitar Kepulauan Riau—dikelola oleh otoritas penerbangan Singapura dalam skema FIR (Flight Information Region). Meskipun telah ada perjanjian baru tahun 2022, fakta ini menunjukkan bahwa kedaulatan udara pun bisa tergerus bila kelembagaan kita lemah. Jangan sampai situasi serupa terjadi di domain antariksa, ketika ruang orbit kita justru dikuasai oleh negara lain karena kita lamban bertindak.
Lebih dalam dari sekadar soal kendali teknis lalu lintas udara, kasus FIR Singapura mencerminkan ketimpangan kapasitas infrastruktur dan sumber daya manusia yang membuat Indonesia terpaksa tunduk pada pengaturan kolonial warisan ICAO selama lebih dari empat dekade. Ini menjadi alarm keras: bahwa dalam geopolitik udara dan antariksa, niat politik saja tidak cukup tanpa kesiapan teknis dan kelembagaan nasional yang kuat. Dalam ruang tanpa batas seperti udara dan orbit, keterlambatan bertindak sama saja dengan menyerahkan kedaulatan secara diam-diam.
Menatap Masa Depan
Langit tidak boleh lagi kita pandang sebagai batas. Ia harus dilihat sebagai ruang strategis yang harus dikuasai, dijaga, dan dimanfaatkan demi keselamatan serta kehormatan bangsa. Dunia tengah bergerak cepat ke luar atmosfer. Jika Indonesia ingin dihormati dalam percaturan global, kita harus berada di sana—bukan sebagai penumpang, tapi sebagai navigator masa depan.
Langkah menuju kemandirian dan kedaulatan antariksa memang tidak mudah, tetapi bukan mustahil. Indonesia pernah membangun industri pesawat terbang dari nol, dan kini saatnya membangun arsitektur antariksa nasional yang terintegrasi—mulai dari regulasi, teknologi, hingga sistem pertahanan. Dengan komitmen politik yang kuat, dukungan anggaran berkelanjutan, dan penguatan kelembagaan seperti Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional, kita bisa memastikan bahwa langit Indonesia—baik yang terlihat maupun tak terlihat—benar-benar berada dalam genggaman bangsa sendiri.
Jakarta, 26 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia