Bukan Mengulang Konflik Kekuasaan
Oleh: Chappy Hakim
Di tengah derasnya arus desentralisasi pascareformasi, relasi antara pemerintah pusat dan daerah terus menjadi medan tarik-menarik yang belum kunjung menemukan titik keseimbangan. Indonesia memang menganut bentuk negara kesatuan, namun wajah geografis sebagai negara kepulauan dan keberagaman sosiokultural dari Sabang hingga Merauke membuat kebutuhan akan otonomi daerah menjadi keniscayaan. Otonomi bukanlah pemberian, melainkan sebuah kebutuhan strategis untuk mendekatkan negara kepada rakyatnya.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, relasi antara pusat dan daerah lebih sering diwarnai oleh ketegangan daripada sinergi. Pusat mencurigai daerah sebagai sumber ketidaktertiban administratif, sementara daerah menilai pusat terlalu dominan dan menutup ruang aspirasi lokal. Hasilnya adalah kebijakan yang tidak berpijak pada kebutuhan nyata masyarakat, pelayanan publik yang tersendat, serta pembangunan yang pincang.
Konflik kewenangan antara pusat dan daerah bukanlah hal baru. Dari masa Orde Lama yang diliputi semangat federalisme, hingga Orde Baru yang menitikberatkan sentralisasi kekuasaan, Indonesia terus mencari bentuk terbaik dalam mengelola negara besar ini. Setelah reformasi 1998, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan disempurnakan melalui UU No. 23 Tahun 2014 mencoba memberi ruang bagi daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Namun ruang itu perlahan menyempit kembali, terutama dalam sektor strategis seperti energi, sumber daya alam, pendidikan, dan perizinan investasi.
Kita bisa menengok bagaimana kewenangan pengelolaan SMA/SMK yang semula dipegang kabupaten/kota, ditarik ke provinsi. Atau bagaimana kasus Blok Masela memperlihatkan dominasi pusat dalam pengambilan keputusan atas proyek strategis, tanpa memperhitungkan harapan daerah. Aturan hukum yang seharusnya menjadi perekat, justru menjadi pemicu ketegangan. Regulasi pusat acapkali seragam dan tidak kontekstual, sementara ribuan peraturan daerah dibatalkan karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan nasional. Dalam ruang ini, bukannya kolaborasi yang tumbuh, melainkan frustrasi antarlevel pemerintahan.
Mengapa ini terus berulang? Pertama, karena masih ada kesenjangan persepsi tentang makna otonomi. Di satu sisi, daerah menuntut kewenangan yang luas, tetapi belum semua siap secara kapasitas birokrasi. Di sisi lain, pusat enggan sepenuhnya melepaskan kontrol atas sektor strategis yang menyangkut sumber pendapatan utama negara. Di sinilah letak paradoks desentralisasi kita: otonomi diberikan secara formal, tetapi dikunci melalui kebijakan teknokratis pusat.
Kedua, struktur administrasi kita masih sangat vertikal. Banyak kementerian memiliki unit operasional hingga tingkat kabupaten. Alih-alih memperkuat peran dinas daerah, justru terjadi duplikasi kewenangan dan pemborosan anggaran. Ketiga, ada ketergantungan fiskal yang tinggi. Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih minim, sehingga ruang gerak daerah dalam mengatur prioritas pembangunan juga terbatas. Ini membuat konsep “otonomi yang mandiri” hanya sebatas jargon dalam dokumen perencanaan.
Namun demikian, konflik bukanlah kutukan abadi. Ia bisa diubah menjadi ruang pembelajaran kelembagaan, asal kita memiliki kesungguhan untuk membangun tata kelola yang adil dan adaptif. Negara sebesar dan sekompleks Indonesia tidak bisa dikelola dengan pendekatan top-down yang kaku. Dibutuhkan paradigma baru yang menempatkan daerah sebagai mitra sejajar dalam pembangunan, bukan sekadar pelaksana kebijakan pusat.
Pertama, kita perlu menyusun ulang peta kewenangan secara transparan. UU Pemerintahan Daerah dan regulasi turunannya harus dikaji ulang agar tidak melahirkan multitafsir. Prinsip subsidiarity, yakni menyerahkan urusan kepada level pemerintahan yang paling dekat dan paling mampu, mesti dijadikan dasar utama. Kedua, pemerintah pusat harus memperkuat kapasitas aparatur daerah melalui pelatihan, digitalisasi layanan, dan peningkatan pengawasan berbasis teknologi. Ketiga, alokasi fiskal mesti lebih berpihak kepada daerah penghasil dan tertinggal. Keadilan anggaran menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya otonomi yang sehat.
Ke depan, relasi pusat-daerah tidak boleh lagi didasarkan pada rasa saling curiga. Pemerintah pusat tidak boleh memandang daerah sebagai anak nakal yang harus dikontrol terus-menerus, sementara pemerintah daerah juga harus menjauh dari mentalitas “minta jatah” dan memperkuat tata kelola internalnya. Perlu ruang dialog yang terbuka, setara, dan berkelanjutan.
Kita tak butuh lebih banyak aturan melainkan lebih banyak pertemuan. Kita tak butuh dominasi melainkan distribusi kepercayaan. Negara ini terlalu luas dan terlalu berharga jika hanya dikelola dari Jakarta. Setiap jengkal tanah Indonesia punya potensi, dan potensi itu hanya bisa mekar jika diberi kepercayaan untuk tumbuh dengan cara dan karakternya sendiri.
Semangat desentralisasi sejatinya bukan memisahkan, tetapi menyatukan. Bukan melemahkan pusat, tetapi memperkuat negara dari pondasi paling bawah yakni rakyat. Konflik kewenangan hanya akan berhenti ketika kita semua, baik di pusat maupun daerah, menyadari bahwa kita bukan sedang berebut kekuasaan melainkan sedang bersama-sama membangun Indonesia.
Untuk sampai pada titik keseimbangan tersebut, kita membutuhkan keteladanan dari para pemimpin di semua level pemerintahan. Keteladanan yang bukan hanya piawai berbicara tentang kolaborasi, tetapi juga membuktikan dalam praktik bagaimana kepemimpinan yang partisipatif, terbuka, dan berbasis data mampu mengurai benang kusut konflik kewenangan. Kepemimpinan yang memosisikan rakyat sebagai subjek, bukan objek pembangunan, akan menjadi kunci keberhasilan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Selain itu, penting untuk memperkuat pendidikan politik masyarakat. Rakyat harus paham bahwa desentralisasi bukan sekadar soal pembagian kekuasaan, tetapi menyangkut bagaimana suara mereka bisa didengar dan dilayani secara lebih cepat dan tepat. Kesadaran politik yang tumbuh dari bawah akan memicu perbaikan dari atas. Jika masyarakat mampu menuntut akuntabilitas dari pemerintah daerah, maka pusat pun akan lebih percaya menyerahkan kewenangan tanpa rasa waswas.
Akhir kata, membangun Indonesia bukan hanya tugas elite di Jakarta atau birokrat di daerah. Ini tugas kolektif seluruh bangsa. Maka diperlukan semangat gotong royong dalam konteks negara modern: pusat dan daerah saling menopang, bukan saling menegasi. Bila hal ini terwujud, maka kita akan memiliki arsitektur pemerintahan yang tidak hanya kuat dalam struktur, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Dan itulah wajah Indonesia yang seharusnya: besar karena bersatu, maju karena bersinergi.
Jakarta, 8 Agustus 2025
Chappy Hakim