Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Pertahanan Nasional
Kerja sama alutsista antara Indonesia dan China mulai menunjukkan tanda-tanda konkret yang tidak bisa lagi dipandang sekadar wacana. Sejumlah pertemuan tingkat tinggi antara pejabat pertahanan kedua negara, sinyal pembelian alutsista pasca kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing. Rencana produksi bersama PT Pindad dengan beberapa perusahaan pertahanan China, menandai bahwa landasan kerja sama ini sudah diletakkan. MoU di bidang keamanan maritim, termasuk kerja sama antara Bakamla dan China Coast Guard, semakin memperjelas arah hubungan pertahanan kedua negara. Semua ini masih dalam tahap awal, tetapi memberikan gambaran bahwa ada potensi kuat yang sedang dibangun. Dorongan utama di balik langkah ini adalah kebutuhan modernisasi alutsista Indonesia yang kian mendesak. Banyak sistem senjata kita yang sudah berusia tua, biaya pemeliharaannya makin mahal, dan efektivitasnya semakin terbatas. Dalam konteks negara kepulauan dengan laut yang begitu luas, Indonesia tidak bisa membiarkan sistem pertahanannya tertinggal. China, sebagai salah satu produsen alutsista terbesar dunia, menawarkan alternatif yang sulit diabaikan. Harga yang lebih kompetitif dibandingkan negara Barat, janji transfer teknologi, serta kesempatan untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri menjadikan tawaran China terasa relevan.
Di samping itu, politik luar negeri Indonesia yang menganut prinsip “bebas aktif” juga menuntut diversifikasi dalam pengadaan alutsista. Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan satu sumber, apalagi ketika pengadaan dari negara Barat sering kali dibarengi syarat politik yang ketat. China, dalam hal ini, muncul sebagai mitra potensial. Ditambah dengan keterbatasan anggaran pertahanan Indonesia, opsi kerja sama dengan Beijing semakin terlihat masuk akal. Jalan menuju kerja sama alutsista biasanya tidaklah mudah. Tantangan yang dihadapi cukup besar dan kompleks. Pertama, persoalan standar dan kompatibilitas. Sistem senjata harus mampu beroperasi secara terpadu dengan alutsista yang sudah dimiliki Indonesia. Jika terjadi perbedaan besar dalam sistem komunikasi, radar, atau logistik, integrasi bisa terhambat dan berimplikasi pada efektivitas operasi. Kedua, pengawasan mutu dan keandalan. Produk pertahanan China memang berkembang pesat, tetapi masih menyisakan pertanyaan mengenai kualitas dan reliabilitasnya dalam operasi jangka panjang. Tanpa dukungan suku cadang, pelatihan, serta perawatan yang konsisten, alutsista akan cepat kehilangan daya guna. Ketiga, kerja sama erat dengan China juga membawa implikasi geopolitik. Hubungan pertahanan tidak pernah steril dari kepentingan politik. Banyak pihak akan menyoroti apakah langkah ini membuat Indonesia terlalu dekat dengan China, dan apakah hal itu akan mengundang tekanan dari negara lain, termasuk atau terutama Amerika Serikat. Kekhawatiran tentang kedaulatan dan keamanan, misalnya dalam hal intelijen dan kerahasiaan teknologi, juga tidak bisa diabaikan. Keempat, keterbatasan anggaran nasional tetap menjadi faktor utama. Meski tawaran China lebih murah, pengadaan alutsista tetap memerlukan investasi besar yang bersaing dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan berbagai related program lainnya. Terakhir, transfer teknologi yang dijanjikan tidak selalu mudah. Proses produksi, sertifikasi, pelatihan teknisi, hingga pemeliharaan butuh waktu panjang, komitmen serius, dan disiplin tinggi. Melihat kondisi tersebut, kemungkinan besar kerja sama Indonesia China akan terwujud, tetapi dalam bentuk terbatas. Bentuk yang paling realistis adalah pembelian alutsista tertentu, kemitraan dalam produksi atau perakitan sebagian komponen, serta kerja sama di bidang keamanan maritim dan patroli perbatasan. Untuk mencapai tahap produksi penuh atau lisensi pengembangan sistem senjata kelas atas, Indonesia memerlukan strategi jangka panjang, pengawasan mutu yang ketat, serta mitigasi risiko politik yang cermat. Hal itu adalah kelemahan Indonesia selama ini.
Dalam konteks rumor pembelian 42 jet tempur J-10 dari China, pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa tawaran tersebut memang ada, tetapi statusnya masih dalam tahap evaluasi. Belum ada kontrak atau keputusan final. Angka 42 unit maupun status bekas hanyalah isu yang berkembang di media dan belum dikonfirmasi resmi. Pemerintah sedang menilai semua aspek antara lain kondisi pesawat, dukungan suku cadang, biaya operasional, hingga kompatibilitas dengan sistem TNI AU. Dengan kata lain, pengadaan alutsista tidak bisa dilakukan hanya untuk mengejar sensasi angka besar atau sekadar memenuhi isu politik, melainkan harus berbasis pada kebutuhan nyata pertahanan nasional. Sinyal pembelian alutsista dari China juga semakin kuat pasca kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing pada November 2024, yang didampingi oleh Kepala Staf Angkatan Laut. Kunjungan ini membuka peluang baru, termasuk kemungkinan pengadaan kapal selam. Dari sisi positif, kapal selam dari China bisa mempercepat modernisasi pertahanan laut dengan biaya relatif lebih murah dan memberi ruang bagi transfer teknologi yang mendukung industri pertahanan dalam negeri. Namun kita tidak boleh abai bahwa kapal selam adalah alutsista yang sangat kompleks. Bukan hanya soal harga beli, tetapi juga kesiapan logistik, ketersediaan suku cadang, kemampuan perawatan jangka panjang, dan implikasi geopolitiknya. Karena itu, langkah terbaik bagi Indonesia adalah memanfaatkan peluang kerja sama tersebut tanpa menimbulkan ketergantungan, sambil memastikan semua keputusan tetap berpijak pada kepentingan kedaulatan nasional.
Dalam membandingkan kekuatan militer, jelas China berada jauh di atas Indonesia. Anggaran pertahanan China mencapai lebih dari 220 miliar dolar AS per tahun, sementara Indonesia hanya sekitar 9 sampai dengan 10 miliar dolar. China memiliki arsenal nuklir, kapal induk, ratusan kapal perang, serta ribuan jet tempur modern seperti J-20. Sebaliknya, Indonesia masih berfokus pada pertahanan konvensional, dengan kekuatan utama di laut dan udara untuk menjaga kedaulatan wilayah kepulauan. Tetapi perbandingan ini tidak serta-merta membuat hubungan keduanya timpang. Indonesia tidak berniat menjadi pesaing militer China, melainkan membangun relasi sebagai mitra strategis. Kekuatan militer Indonesia dirancang sesuai kebutuhan nasional: menjaga ruang udara dan maritim sebagai negara kepulauan yang besar. Di sisi lain, Sputnik News menilai bahwa China bisa menjadi pesaing serius Amerika Serikat di pasar senjata Indonesia. Penilaian ini ada benarnya. China tidak hanya menawarkan harga lebih kompetitif, tetapi juga membuka peluang kerja sama industri dan dukungan logistik jangka panjang. Namun daya tarik biaya tidak boleh menutup mata kita dari risiko kualitas dan reliabilitas produk. Alutsista bukan sekadar barang dagangan, tetapi instrumen strategis pertahanan. Karena itu, interoperabilitas, dukungan purna jual, dan kesiapan pemeliharaan jangka panjang harus menjadi syarat mutlak. Amerika Serikat tetap unggul dalam teknologi, reputasi, dan pengalaman integrasi sistem, meski harganya mahal dan sering disertai syarat politik. Kondisi ini justru memberi Indonesia posisi tawar yang lebih kuat yaitu semakin banyak opsi, semakin besar peluang untuk memperoleh kesepakatan yang lebih menguntungkan. Lalu bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi peluang kerja sama ini? Pertama, dengan tetap membuka diri terhadap semua opsi, termasuk dari China, tetapi tanpa kehilangan prinsip dasar dalam aspek kedaulatan yang tidak bisa dikompromikan. Kedua, setiap kerja sama harus ditimbang secara menyeluruh, tidak hanya dari segi biaya awal, tetapi juga jangka panjangnya mencakup logistik, suku cadang, interoperabilitas, dan keamanan teknologi. Ketiga, diversifikasi harus benar-benar diterapkan agar Indonesia tidak tergantung pada satu negara pemasok alutsista. Keempat, transfer teknologi harus menjadi prioritas, bukan sekadar janji dalam dokumen kerja sama. Hanya dengan begitu, industri pertahanan dalam negeri bisa berkembang dan memberi manfaat strategis.
Pada akhirnya, kerja sama alutsista dengan China memang menawarkan peluang yang tidak kecil. Tetapi jalan menuju terwujudnya kerja sama ini dipenuhi tantangan yang perlu dihadapi dengan kehati-hatian. Bagi Indonesia, prinsipnya jelas sekali bahwa semua keputusan harus berorientasi pada kepentingan pertahanan nasional, menjaga kedaulatan, dan mendukung kemandirian bangsa. Alutsista bukan sekadar soal membeli, melainkan soal strategi jangka panjang untuk memastikan Indonesia mampu menjaga ruang udara, laut, dan daratan dengan mandiri. Kita bisa bekerja sama dengan siapa saja, tetapi tidak boleh bergantung pada siapa pun. Itulah jalan terbaik bagi bangsa yang besar seperti Indonesia. Yang sangat penting dari semua itu adalah sudah saatnya Indonesia menyusun ulang perencaan konsep pertahanan keamanan negara jangka panjng, agar pengadaan alutsista benar benar akan tepat sasaran. Perencanaan yang berbasis pada kemajuan teknologi mutakhir yang sudah memaksa setiap negara