PAGI tadi saya menurunkan satu artikel tentang “fenomena pom bensin” disalah satu Koran terbitan ibukota. Intisari tulisan saya itu adalah tentang bagaimana pom bensin Pertamina baru mau berubah setelah hadirnya pom bensin seperti Shell dan Petronas.
Sebelum kehadiran pom bensin asing tersebut, bisa dikatakan pom bensin Pertamina yang merupakan satu-satunya pilihan untuk membeli bensin, pada umumnya, tidak semua, adalah tempat yang kumuh, pelayanan yang se adanya, serta nyaris semrawut. Belum lagi keluhan para pelanggan yang hampir setiap hari muncul di surat pembaca maupun dalam percakapan hari-hari dikalangan masyarakat. Mulai dari antrian yang tidak tertib, berbaurnya sepeda motor dan mobil sampai dengan meteran pengukur isi bahan bakar yang banyak tidak berfungsi alias mati. Pada umumnya hanya ukuran liter saja yang hidup, sementara besaran rupiah yang harus dibayarkan biasanya mati. Lebih jauh lagi, banyak juga yang mengeluhkan tidak cocoknya jumlah liter yang diisikan dengan kenyataan bahan bakar yang masuk ke tangki bensin kendaraan bermotor.
Plang atau papan nama yang sudah karatan, pelataran yang kotor dan fasilitas toilet yang jorok sudah merupakan pemandangan yang biasa. Belum lagi petugas yang tidak simpatik dalam melayani, serta juga uang kembalian yang dengan seenaknya dibulatkan keatas, dengan alasan tidak ada uang kecil. Itu semua adalah gambaran dari pom bensin kita beberapa waktu yang lalu. Kritik dan himbauan sudah bosan untuk disampaikan dan berakhir dengan tanpa hasil. Hal ini patut saja harus di maklumi, karena para pelanggan atau konsumen, tidak punya pilihan lain selain harus mengisi di SPBU Pertamina. Jadi ya… ngapain harus memberikan pelayanan yang bagus, kalau dengan pelayanan seadanya saja laku koq? Ngapain harus bersih dan tertib, kalau kerja seenaknya saja sudah bisa dapat untung koq? Emangnya Gue Pikirin?
Begitu keran ijin untuk membuka SPBU dibuka bagi perusahaan non pertamina, maka serentak bermunculanlah, SPBU seperti Shell dan Petronas dibeberapa tempat. Kehadiran pom bensin non pertamina ini segera saja memunculkan respon yang luar biasa dari masyarakat. Masalah nya sederhana, yaitu mereka menghadirkan sesuatu yang sangat berbeda untuk ukuran pom bensin yang sudah ada. Kondisi pom bensin ini ternyata 180 derajat berbeda dengan pom bensin Pertamina. Pelayanan yang prima menjadi pedoman dasar dalam menghadapi para pelanggan nya. Bahan bakar yang dijual ternyata lebih bersih dan ukurannya sesuai standar baku. Pendek kata “customer satisfaction” adalah focus dari kegiatan mereka.
Beruntungnya adalah, kemudian Pertamina banting setir , berbenah diri dan berusaha merubah penampilan untuk tidak kalah bersaing. Tentunya pilihan itu memang harus diambil, karena apabila tidak melakukan koreksi kearah yang lebih baik, maka pilihannya adalah ya… tutup alias bangkrut.
Pelajaran yang dapat di petik disini adalah ternyata, untuk berubah menjadi lebih baik itu, kita harus dipaksa terlebih dahulu. Tidak bisa hanya dengan kritikan atau himbauan. Celakanya, kalau dikriktik malah marah dan tersinggung, dan kemudian membalas dengan membabi buta. Jadi kayaknya , kita itu baru mau introspeksi kalau sudah kepepet, sudah tidak punya pilihan lain. Pokoknya harus dipaksa dulu, baru mau berubah.
Itulah semua yang saya coba promosikan dengan “Fenomena Pom Bensin”.
Saya banyak menerima respon melalui sms dari teman-teman yang membaca artikel tersebut. Salah satu respon di sms yang sangat menarik itu adalah berupa usulan, agar kita membuka ijin untuk Changi membuka airport disini, sehingga Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng juga segera berbenah diri. Demikian pula Senat Amerika agar membuka cabang di Senayan, agar DPR kita juga kemudian berbenah diri, karena ternyata Agus Condro pun, tidak berhasil untuk dapat membelokkan arah etos kerja DPR yang amburadul tersebut. Logika yang rada tidak logis ini ternyata ada juga mengandung logika apabila ditinjau dari sudut pandang yang logis, begitu ‘ngkali. Mudah-mudahan, kita semua tidak terjebak dalam penghayatan yang sangat membingungkan ini. Apa iya, kita tidak mau berubah menjadi lebih baik , kecuali kalau terpaksa? Kalau sudah kepepeet?