Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Kedaulatan Udara Indonesia: Sebuah Catatan Strategis
    Article

    Kedaulatan Udara Indonesia: Sebuah Catatan Strategis

    Chappy HakimBy Chappy Hakim05/21/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Isu pengelolaan Flight Information Region (FIR) Singapura memang sudah berakhir dengan ditandatanganya perjanjian RI dan Singapura pada tahun 2022. Namun dalam isi perjanjian tersebut tercantum RI menyerahkan wilayah EX FIR Singapura dari permukaan laut hingga 37000 Ft kepada otorita penerangan Singapura untuk 25 tahun dan akan diperpanjang.  Harus dipahami bahwa masalah FIR bukan sekadar perkara teknis penerbangan, melainkan menyangkut inti dari kedaulatan negara di udara. Selama lebih dari lima dekade, wilayah udara di atas Kepulauan Riau yang secara hukum merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia justru dikelola oleh otoritas penerbangan asing—yaitu Singapura. Keadaan ini telah menimbulkan banyak ketidaknyamanan dan bahkan perlakuan yang tidak pantas terhadap pilot Indonesia, baik sipil maupun militer, di ruang udara miliknya sendiri.

    FIR memang merupakan istilah teknis yang biasa dikenal oleh para pengatur lalu lintas udara (ATC) dan pilot. Namun, dalam praktik dan realitas geopolitik, FIR berkaitan langsung dengan kontrol ruang udara dan kapasitas negara dalam menjamin national security. Oleh karena itu, pemahaman bahwa FIR hanyalah soal keselamatan penerbangan adalah kekeliruan besar yang sudah terlalu lama dipelihara, baik oleh pihak asing maupun oleh sebagian orang Indonesia sendiri.

    Perintah Presiden RI tahun 2015 agar FIR Singapura diambil alih merupakan momentum penting dalam sejarah kedirgantaraan nasional. Instruksi itu bukan sekadar keputusan administratif, melainkan sebuah political statement—sikap negara yang menyangkut kepentingan nasional Indonesia secara langsung. Namun sayangnya, hingga kini belum terlihat ada kemajuan signifikan yang transparan dalam pelaksanaannya. Lebih mengecewakan lagi, beberapa suara di dalam negeri justru menggaungkan narasi yang mirip dengan argumen dari Singapura, seolah menjadi perpanjangan tangan kepentingan asing.  Maka jadilah ujudnya seperti tercantum dalam perjanjian pemerintah RI dengan Singapura di tahun 2022.  Sebuah pola yang hanya berganti baju layaknya.

    Masalah FIR Singapura pertama kali saya alami sendiri sebagai pilot TNI AU sejak tahun 1974. Saat itu, saya harus mengikuti instruksi dari otoritas penerbangan Singapura ketika sedang terbang di atas wilayah udara Indonesia. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin sebuah Angkatan Udara harus meminta izin kepada negara lain untuk terbang di wilayah udaranya sendiri?

    Ketimpangan ini bukan hanya soal teknis, tetapi menyentuh harga diri dan martabat bangsa. Puluhan tahun pilot Indonesia mengalami pelecehan dalam bentuk birokrasi rumit, perlakuan diskriminatif, dan batasan-batasan yang ditentukan oleh negara asing atas pergerakan di langit Indonesia. Dalam perspektif pertahanan, hal ini bahkan lebih serius: bagaimana mungkin TNI AU bisa menjalankan air defence identification zone, combat readiness, atau penegakan hukum udara jika wilayah operasi mereka diatur oleh pihak luar?

    Pernyataan yang menyebut FIR tidak berkaitan dengan kedaulatan adalah narasi menyesatkan. FIR Singapura mencakup wilayah udara kedaulatan Indonesia; maka secara logika, pengelolaannya juga menyangkut kedaulatan. Apalagi, dalam praktiknya, FIR sering kali bersinggungan dengan kepentingan militer dan keamanan nasional. Bahkan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 secara eksplisit menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayah teritorialnya. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pun menegaskan hal yang sama.

    Bahkan pihak Singapura sendiri dahulu sangat reaktif terhadap tulisan-tulisan saya yang mengkritisi pengelolaan FIR. Namun setelah keluar perintah Presiden, mereka diam. Ini bisa diartikan bahwa Singapura menyadari bahwa perintah tersebut adalah state policy yang tidak bisa ditawar lagi. Namun diamnya Singapura tidak berarti mereka menyerah. Bisa dipastikan mereka melakukan konsolidasi internal untuk memastikan bahwa transisi pengelolaan FIR tidak akan merugikan mereka secara strategis maupun ekonomis.

    Sebaliknya, di Indonesia justru muncul suara-suara yang melemahkan kebijakan nasional itu sendiri. Suara-suara ini, entah karena ketidaktahuan atau agenda lain, mengulang narasi Singapura bahwa FIR hanyalah urusan keselamatan penerbangan. Narasi ini sangat naif dan membahayakan kepentingan nasional. FIR bukan sekadar jalur lalu lintas udara, tetapi juga menyangkut hak kontrol, pengawasan militer, dan pembangunan sistem pertahanan negara.

    Tidak ada satu negara pun di dunia yang mengelola wilayah udara negara lain, kecuali dalam kondisi sangat khusus dan biasanya bersifat sementara. Negara seperti Timor Leste dan pulau Christmas Australia tidak bisa disamakan karena kasusnya berbeda: di sana pengelolaan FIR oleh negara lain adalah pilihan sukarela untuk bekerjasama. Indonesia tidak pernah secara sukarela menyerahkan FIR-nya, apalagi secara permanen.

    Dalam sistem pertahanan udara nasional (Sishanudnas), penguasaan wilayah udara merupakan elemen krusial. Tanpa kontrol FIR, TNI AU tidak bisa melaksanakan patroli udara secara mandiri, tidak bisa mengidentifikasi ancaman dengan cepat, dan tidak memiliki kebebasan untuk menegakkan hukum nasional di udara. Kita hanya bisa ‘berharap’ bahwa otoritas Singapura akan kooperatif—sebuah posisi yang sangat lemah untuk sebuah negara sebesar Indonesia.

    Bila kita ingin benar-benar berdaulat, maka penguasaan ruang udara harus kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dalam hubungan internasional, memang kita perlu membangun kerja sama berdasarkan prinsip mutual respect dan mutual cooperation. Tetapi kerja sama bukan berarti menyerahkan kedaulatan. Sebuah negara bisa menjadi mitra yang baik, tanpa harus tunduk pada kehendak negara lain. Masih banyak cara untuk menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi yang harmonis tanpa harus mengorbankan integritas wilayah sendiri.

    Masalah FIR ini adalah simbol dari perjuangan yang lebih besar: perjuangan untuk mengembalikan harga diri dan kedaulatan bangsa di udara. Setelah sekian puluh tahun wilayah udara kita dikelola negara lain, kini saatnya kita mengambil kembali hak kita yang sah. Para pilot, teknisi, perwira AU, dan semua insan dirgantara telah bertahun-tahun menanggung beban psikologis dan operasional dari status FIR Singapura ini. Banyak dari mereka yang merasa tidak dihargai di tanah airnya sendiri, seolah-olah bekerja di bawah bayang-bayang kekuasaan asing.

    Perintah Presiden tahun 2015 adalah momentum penting, namun perlu dukungan semua pihak untuk memastikan implementasinya berjalan sesuai arah yang benar. Akademisi, pejabat pemerintah, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas perlu menyadari bahwa penguasaan FIR bukan hanya isu teknis, tetapi menyangkut harkat dan martabat bangsa. Jangan sampai ada lagi yang secara sadar maupun tidak, menjadi corong kepentingan asing di tanah air sendiri.

    Sudah waktunya negara-negara berkembang berpikir lebih maju dan meninggalkan cara pandang pasif terhadap warisan kolonial. FIR adalah bagian dari tata kelola kolonial yang lahir untuk mengendalikan wilayah negara lain demi kepentingan negara penguasa. Model ini tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan dan kesetaraan antarbangsa dalam hukum internasional modern.

    Kita tetap akan bersahabat dan menjalin hubungan antarnegara yang saling menghormati, tetapi mengelola wilayah teritorial negara lain adalah praktik kolonialisme yang harus segera diakhiri. Saatnya Indonesia berdiri tegak, menata langitnya sendiri, dan membangun masa depan dirgantara nasional yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.

    Jakarta 20 Mei 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleKEDAULATAN NEGARA DI UDARA: SEBUAH KEPASTIAN HUKUM DAN KEPERLUAN STRATEGIS
    Next Article Menghadapi Operasi Empedu: Antara Kecemasan dan Harapan
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Menghadapi Operasi Empedu: Antara Kecemasan dan Harapan

    05/31/2025
    Article

    KEDAULATAN NEGARA DI UDARA: SEBUAH KEPASTIAN HUKUM DAN KEPERLUAN STRATEGIS

    05/21/2025
    Article

    Sekolah Rakyat

    05/21/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.