
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, pengelolaan wilayah udaranya masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan kontrol atas Flight Information Region (FIR) di perairan Selat Malaka dan Natuna. Salah satu pengalaman yang mempertegas realitas ini terjadi pada tahun 1974 ketika Letnan Udara Dua Chappy Hakim yang bertugas sebagai pilot Angkatan Udara mendapat instruksi untuk menunggu izin terbang dari otoritas penerbangan Singapura saat akan menerbangkan pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Tanjung Pinang menuju Natuna. Kejadian ini mengungkap fakta bahwa sebagian wilayah udara kedaulatan Indonesia berada di bawah pengelolaan Singapura, sebuah warisan kolonial yang masih berlanjut.
FIR adalah sistem pengelolaan lalu lintas udara yang bertujuan untuk menjaga keselamatan penerbangan. Secara teknis, wilayah udara Indonesia terbagi dalam FIR Jakarta dan FIR Makassar. Namun, di bagian barat Indonesia, terdapat wilayah udara yang dikelola oleh otoritas penerbangan Singapura, yang dikenal sebagai FIR Singapura. Ini merupakan peninggalan perjanjian antara pemerintah kolonial Inggris di Singapura dan pemerintah Hindia Belanda di Batavia sejak tahun 1946. Hingga kini, pengelolaan FIR Singapura tetap berada di bawah kendali Singapura, meskipun Indonesia telah lama merdeka dan menjadi anggota ICAO (International Civil Aviation Organization).
Sejak tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengambil alih FIR Singapura. Pada tahun 1955, Presiden Soekarno membentuk Dewan Penerbangan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1955, yang menandakan kesadaran tinggi akan pentingnya kedaulatan udara. Namun, hingga beberapa dekade berikutnya, Indonesia masih harus mendapatkan izin dari Singapura untuk menerbangkan pesawat di wilayah kedaulatannya sendiri. Hal ini menghambat kebebasan operasional pesawat militer Indonesia, terutama dalam patroli perbatasan dan misi pertahanan nasional.

Pada tahun 2003, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) mengusulkan penghentian perjanjian DCA (Defense Cooperation Agreement) termasuk mengenai Military Training Area (MTA) dengan Singapura karena banyaknya pelanggaran dan kesalahpahaman dalam implementasinya. Usulan ini berangkat dari kekhawatiran bahwa kontrol Singapura atas FIR berpotensi melemahkan kedaulatan udara Indonesia, terutama dalam hal patroli dan pengamanan wilayah perbatasan.
Perjuangan untuk mengambil alih FIR Singapura mendapatkan momentum baru ketika pada tahun 2009, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam Pasal 458, ditegaskan bahwa dalam 15 tahun setelah undang-undang ini diundangkan, pendelegasian wilayah udara Indonesia kepada negara lain harus dihentikan, yang berarti pada tahun 2024, FIR Singapura seharusnya telah dikembalikan ke Indonesia.

Pada 8 September 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan percepatan pengambilalihan FIR Singapura dengan persiapan sumber daya manusia dan teknologi navigasi udara. Berbagai diskusi dan seminar pun dilakukan, termasuk expert meeting di Universitas Indonesia pada tahun 2019 yang melibatkan para ahli hukum udara dan keamanan nasional (Chappy Hakim, Prof. Hasjim Djalal, MA.; Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M, Ph.D.; Dr.Hasan Wirajuda, SH, MALD, LL.M.; Prof. Atip Latipulhayat, Prof Dr Makarim Wibisono dan Dr. Supri Abu SH. MH) Kemudian Temu pakar di Universitas Padjadjaran dipimpin oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Atip Latipulhayat juga membahas pentingnya pengambilalihan FIR dari perspektif keamanan nasional. Mayoritas ahli sepakat bahwa FIR Singapura harus dikembalikan ke Indonesia dengan memperhatikan kesiapan SDM dan infrastruktur teknologi yang diperlukan.
Namun, pada 25 Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa FIR Jakarta kini mencakup seluruh wilayah udara Indonesia, termasuk perairan Kepulauan Riau dan Natuna. Sayangnya, bersamaan dengan pernyataan tersebut, Indonesia kembali mendelegasikan pengelolaan wilayah eks FIR Singapura kepada Singapura untuk ketinggian dari zero level hingga Flight Level 370 (37.000 kaki) selama 25 tahun dengan kemungkinan perpanjangan. Keputusan ini mencerminkan ketidaksiapan Indonesia dalam mengelola wilayah udara kedaulatannya sendiri, meskipun sebelumnya telah ada arahan untuk mengambil alih FIR sepenuhnya.
Keputusan ini jelas jelas melanggar UU no 1 tentang penerbangan tahun 2009, dan serta merta menuai pro dan kontra. Pihak yang mendukung berpendapat bahwa delegasi FIR semata-mata demi keselamatan penerbangan, seperti yang juga dilakukan oleh 55 negara lain di dunia. Bahkan, Indonesia sendiri mengelola FIR wilayah udara Christmas Island milik Australia dan wilayah udara Timor Leste. Namun, perbandingan ini tidak sepenuhnya relevan, mengingat FIR Singapura mencakup wilayah udara kedaulatan Indonesia yang seharusnya berada di bawah kendali penuh pemerintah Indonesia.
Kendala utama, katanya dalam pengambilalihan FIR Singapura adalah kesiapan teknis dan sumber daya manusia Indonesia dalam mengelola lalu lintas udara di kawasan tersebut. Untuk mengambil alih FIR, Indonesia harus memiliki sistem navigasi udara yang mumpuni, radar yang canggih, serta tenaga ahli yang kompeten. Tahun 2022 argumen ini gugur total setelah hasil penilaian ICAO pada USOAP menyatakan Indonesia meraih Tingkat above global average yang berarti Indonesia memiliki kemampuan diatas rata rata dunia.
Persoalan ini semakin kompleks karena adanya tekanan diplomasi dan kepentingan ekonomi dari Singapura, yang selama ini mendapatkan manfaat besar dari pengelolaan FIR.
Pada akhirnya, upaya pengambilalihan FIR Singapura bukan hanya soal teknis penerbangan, tetapi juga menyangkut kedaulatan negara, harga diri bangsa, dan kepentingan strategis nasional. Keputusan untuk tetap mendelegasikan FIR kepada Singapura selama 25 tahun ke depan menunjukkan bahwa tantangan dalam mewujudkan kedaulatan udara Indonesia masih jauh dari selesai. Diperlukan keseriusan dari pemerintah, komunitas penerbangan, serta masyarakat luas untuk memastikan bahwa pada saatnya, Indonesia harus dapat sepenuhnya mengelola wilayah udara kedaulatannya sendiri tanpa campur tangan negara lain.
Jakarta 13 Maret 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia