Bahaya penggunaan senjata nuklir pada masa kini tidak lagi dapat dipandang sebagai isu teoritis yang hanya relevan pada era Perang Dingin. Sepanjang tahun 2024 hingga 2025, dunia menyaksikan rangkaian peristiwa yang memperlihatkan betapa rapuhnya stabilitas strategis global. Konflik konvensional yang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina, krisis bersenjata yang melibatkan negara-negara pemilik senjata nuklir seperti India dan Pakistan, serta percepatan modernisasi arsenal nuklir oleh kekuatan besar dunia telah menimbulkan kekhawatiran nyata akan menurunnya ambang penggunaan nuklir. Risiko ini bukan semata dalam skenario perang total, melainkan juga pada level taktis yang dapat terjadi sewaktu-waktu di tengah eskalasi konflik regional.
Konsep ambang nuklir merujuk pada titik di mana suatu negara menilai penggunaan senjata nuklir sebagai opsi yang dapat diterima untuk mencapai tujuan politik dan militer. Jika pada masa lalu ambang itu terutama terkait dengan ancaman eksistensial terhadap keberlangsungan sebuah negara, maka kini faktor-faktor lain turut memengaruhinya. Doktrin militer, modernisasi persenjataan, perkembangan perang hibrida, serta kerentanan institusional di pusat pengambilan keputusan menjadi variabel penting yang menentukan naik turunnya ambang ini. Dalam kondisi krisis multidomain, ambang tersebut dapat menurun secara drastis. Sementara mekanisme pengekangan yang efektif justru berperan meningkatkan titik batas itu. Perubahan inilah yang membuat dinamika ambang nuklir semakin tidak pasti dan sulit diprediksi.
Rusia, misalnya, melalui doktrinnya tetap menyatakan bahwa nuklir hanya akan digunakan dalam keadaan ekstrem. Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan bagaimana retorika dan sinyal nuklir dijadikan instrumen politik dalam perang konvensional melawan Ukraina. Modernisasi arsenal yang masif semakin memperbesar faktor ketidakpastian. China pun tengah memperluas persenjataan nuklirnya dengan laju yang mengkhawatirkan. Meski Beijing berulang kali menegaskan prinsip No-First-Use, ketidaktransparanan strategi dan operasi di balik layar membuat komunitas internasional ragu. Amerika Serikat, di sisi lain, menghadapi dilema besar terkait masa depan rezim pengendalian senjata seperti New START yang kini berada dalam ketidakpastian. Semua faktor ini membentuk lanskap strategis yang penuh tanda tanya, di mana gesekan kecil dapat memicu efek domino yang berujung pada krisis nuklir.
Kawasan-kawasan dunia saat ini menyimpan potensi nyata sebagai titik nyala. Di Eropa Timur, perang Rusia Ukraina telah memperlihatkan bagaimana retorika nuklir digunakan sebagai alat intimidasi. Melemahnya rezim arms-control hanya menambah kecemasan akan kemungkinan salah perhitungan. Di Asia Selatan, India dan Pakistan menunjukkan pola interaksi berbahaya, di mana perang konvensional berlangsung di bawah bayang-bayang ancaman nuklir. Doktrin yang berbeda, India dengan kebijakan formal NFU, sementara Pakistan dengan full spectrum deterrence telah membuat stabilitas krisis semakin rapuh. Begitu pula di Asia Timur, dinamika Taiwan dan modernisasi militer China, ditambah keterlibatan aliansi seperti AUKUS dan QUAD, menghadirkan risiko eskalasi yang bisa berkembang di luar kendali.
Mekanisme eskalasi yang mempercepat ambang penggunaan nuklir semakin nyata terlihat. Upaya mempertahankan dominasi dalam eskalasi sering kali mendorong pihak-pihak terlibat untuk menurunkan ambang penggunaan. Serangan non-nuklir seperti cyber attack, operasi presisi, atau serangan terhadap sistem komando dan kendali bisa dengan mudah dipersepsikan sebagai ancaman eksistensial, sehingga membuka jalan menuju respons nuklir. Di tengah kondisi itu, delegasi otoritas militer atau bahkan otomatisasi sistem dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, menciptakan celah berbahaya bagi kesalahan identifikasi maupun sinyal yang keliru.
Seluruh situasi tersebut semakin diperburuk oleh disintegrasi rezim arms-control internasional. Perjanjian-perjanjian besar yang dulu menjadi penopang stabilitas global kini kehilangan efektivitas. New START (Strategic Arms Reduction Treaty), misalnya, berada dalam ketidakjelasan, sementara perlombaan senjata baru semakin nyata. Laporan lembaga internasional seperti SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) menegaskan bahwa dunia sedang memasuki fase baru di mana perlombaan nuklir bukan didorong oleh keinginan langsung untuk berperang, melainkan oleh kombinasi doktrin, teknologi, dan krisis multidomain yang kian rumit. Struktur ini membuat probabilitas penggunaan senjata nuklir meningkat, bahkan tanpa adanya niat eksplisit dari pemimpin negara untuk melakukannya.
Bagi Indonesia, implikasi dari dinamika ini tidak bisa dipandang enteng. Sebagai negara besar di jantung Indo-Pasifik, Indonesia berada di jalur yang rawan terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Risiko berupa gangguan terhadap jalur perdagangan maritim, kontaminasi lingkungan lintas batas, hingga gelombang pengungsi adalah kemungkinan yang harus diantisipasi. Selain itu, tekanan geopolitik dapat memaksa Indonesia untuk mengambil posisi dalam blok-blok besar yang saling berhadap-hadapan. Dalam situasi demikian, kebijakan paling realistis bagi Indonesia adalah memperkuat netralitas strategis sekaligus mengintensifkan diplomasi preventif. Peran mediasi, keterlibatan dalam jalur diplomasi formal maupun track II, serta peningkatan kesiapsiagaan sipil dalam menghadapi ancaman radiasi dan kontaminasi nuklir menjadi sangat penting. Indonesia juga harus aktif mendorong penguatan mekanisme kawasan, baik dalam kerangka ASEAN maupun kerja sama internasional melalui IAEA (International Atomic Energy Agency) , untuk menciptakan sistem peringatan dini dan protokol mitigasi non-militer yang efektif.
Isu proliferasi nuklir turut menambah kompleksitas. Penyebaran kemampuan nuklir ke lebih banyak negara atau bahkan aktor non-negara terjadi akibat kombinasi ancaman keamanan, motif politik, serta peluang teknis yang semakin terbuka. Pasar gelap material nuklir, celah pengawasan, hingga kemungkinan kolaborasi antara negara dan kelompok non-negara memperbesar ancaman. Proliferasi tidak hanya meningkatkan risiko perang nuklir, tetapi juga membuka peluang terjadinya terorisme nuklir, yang dampaknya akan jauh lebih sulit dikendalikan. Dalam konteks ini, keberadaan Zona Bebas Senjata Nuklir (NWFZ) menjadi instrumen penting. Di Asia Tenggara, Perjanjian Bangkok tentang SEANWFZ merupakan pilar yang relevan, meskipun efektivitasnya tetap bergantung pada kepatuhan negara anggota dan komitmen eksternal dari kekuatan besar. Tanpa verifikasi dan transparansi yang kuat, NWFZ hanya akan menjadi deklarasi politik tanpa bobot nyata di tengah krisis.
Dalam situasi global disorder saat ini, NWFZ masih dapat berfungsi sebagai peredam proliferasi di tingkat regional. Ia memberi legitimasi kolektif untuk menolak perlombaan senjata nuklir dan menciptakan norma bahwa kepemilikan nuklir tidak dapat diterima. Namun, untuk menjadikannya efektif, dukungan negara-negara pemilik senjata mutlak diperlukan, baik melalui jaminan negatif, komitmen non-penempatan, maupun partisipasi dalam mekanisme verifikasi internasional. Tanpa itu, zona bebas senjata nuklir hanya sebatas aspirasi yang rapuh.
Keseluruhan dinamika ini menunjukkan bahwa bahaya nuklir kini lebih nyata daripada sebelumnya. Modernisasi arsenal, ketidakpastian doktrin, keruntuhan rezim arms-control, dan proliferasi yang sulit dibendung membentuk lingkungan strategis yang sarat risiko. Namun, jalan untuk mencegah malapetaka tetap ada. Diplomasi aktif, transparansi, kesiapan sipil, dan penguatan kerja sama kawasan harus ditempatkan sebagai prioritas. Bagi Indonesia, pilihan yang bijak bukanlah ikut dalam perlombaan persenjataan, melainkan memperkuat kapasitas diplomasi dan menjadi penggerak regional untuk menahan gelombang eskalasi. Hanya dengan cara itu Indonesia dapat menjaga posisi strategisnya di Indo-Pasifik sekaligus ikut berperan dalam mencegah krisis global yang bisa berujung pada bencana nuklir.
Jakarta 27 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia