Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Belajar Ilmu Politik sebagai penggilan Nurani
    Article

    Belajar Ilmu Politik sebagai penggilan Nurani

    Chappy HakimBy Chappy Hakim07/21/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Oleh: Chappy Hakim

    Ketika kita berbicara tentang politik, sering kali yang terlintas di benak adalah intrik, perebutan kekuasaan, atau bahkan janji-janji kosong para politisi. Namun sesungguhnya, politik jauh lebih dalam daripada sekadar kontestasi pemilu atau pertarungan kursi kekuasaan. Politik adalah seni mengelola kehidupan bersama. Dan ilmu yang mempelajarinya, yakni ilmu politik, adalah jendela penting untuk memahami bagaimana suatu bangsa diatur, bagaimana kekuasaan dibagi, dan bagaimana keputusan yang menyangkut jutaan orang dibuat.  Ilmu politik bukan hanya milik para pejabat, anggota dewan, atau akademisi yang duduk di balik meja. Ia adalah milik setiap warga negara yang peduli pada nasib bangsanya. Ilmu ini mengajarkan kita untuk tidak sekadar menjadi penonton, melainkan pelaku aktif dalam panggung sejarah, karena kehidupan bernegara selalu berkaitan erat dengan politik, dari harga sembako, kebebasan berpendapat, hingga kebijakan luar negeri.

    Memahami Politik Lewat Lensa Teori

    Sebagaimana ilmu lainnya, ilmu politik dibekali berbagai teori yang membantu kita membaca realitas kekuasaan. Ada banyak teori, dan masing-masing menawarkan cara pandang yang berbeda. Di antaranya adalah sebagai berikut, Pertama, teori klasik, warisan dari para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Bagi mereka, politik adalah soal mencari bentuk pemerintahan yang paling adil, yang dapat membawa manusia menuju kebaikan bersama. Aristoteles bahkan menyusun tipologi pemerintahan  mulai dari monarki, aristokrasi, hingga demokrasi  dan menjelaskan kelebihan dan kelemahannya. Kedua, muncul realisme politik, yang memandang kekuasaan sebagai inti dari politik itu sendiri. Di sinilah nama Niccolò Machiavelli mengemuka. Dalam karyanya Il Principe, ia tidak bicara tentang apa yang seharusnya, melainkan apa yang sebenarnya terjadi bahwa kekuasaan harus diraih dan dipertahankan, kadang dengan cara-cara yang tidak selalu mulia.

    Selanjutnya, hadir teori perilaku politik, yang mencoba menjadikan politik sebagai ilmu yang empirik dan dapat diukur. Tokoh-tokohnya seperti David Easton dan Gabriel Almond berupaya meneliti sistem politik dengan pendekatan ilmiah, melihat proses input-output kekuasaan seperti aliran sistemik. Tak kalah penting adalah teori kelembagaan atau institutionalisme. Teori ini mengarahkan perhatian pada institusi formal seperti parlemen, partai politik, dan birokrasi. Namun dalam versi barunya  dikenal sebagai new institutionalism  kita juga diajak melihat norma, budaya, dan kebiasaan yang memengaruhi perilaku politik dalam institusi.

    Ada pula teori elite, yang mengatakan bahwa tak peduli betapa demokratisnya suatu sistem, pada akhirnya kekuasaan tetap terkonsentrasi pada segelintir orang saja. Tokoh seperti C. Wright Mills mengungkap bagaimana di Amerika Serikat, kekuasaan sejati berada di tangan tiga kelompok yakni elite politik, elite ekonomi, dan elite militer  yang saling bertukar tempat namun tetap di lingkaran yang sama. Kemudian, di dunia belakangan ini, berkembang pula teori ketergantungan. Pemikir seperti Andre Gunder Frank dan Fernando Henrique Cardoso menunjukkan bahwa negara-negara dunia ketiga terperangkap dalam sistem global yang timpang. Mereka bukan miskin karena malas, tetapi karena struktur internasional memang tidak adil sejak awal. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah teori demokrasi partisipatif, yang muncul sebagai kritik atas demokrasi prosedural. Teori ini mengajak warga negara untuk tidak berhenti pada bilik suara, tetapi terus aktif mengawasi, terlibat, dan mengambil bagian dalam proses politik sehari-hari.

    Para Pemikir Besar

    Ilmu politik juga tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari pemikiran para tokoh besar yang memberi dasar intelektual bagi pemahaman kita tentang kekuasaan dan negara. Di masa klasik, kita mengenal Plato, yang membayangkan sebuah negara ideal yang dipimpin oleh para filsuf. Lalu Aristoteles, yang mencoba memahami politik berdasarkan kenyataan, bukan angan-angan. Pada era Renaisans, muncul Machiavelli, yang mengungkap wajah politik apa adanya dengan segala keculasan dan keniscayaan taktik. Di masa pencerahan, Thomas Hobbes mengingatkan kita tentang bahaya manusia tanpa negara, yang digambarkannya sebagai kehidupan yang “brutal, kasar, dan pendek.” Sebaliknya, John Locke menawarkan konsep hak asasi manusia dan pemerintah yang dibatasi oleh hukum. Jean-Jacques Rousseau menambahkan gagasan bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan sejati melalui kehendak umum. Ia menjadi inspirasi besar dalam gerakan Revolusi Prancis.

    Memasuki zaman modern, Karl Marx menunjukkan bahwa di balik politik, tersembunyi pertarungan kelas. Bagi Marx, negara hanyalah alat kelas penguasa untuk mempertahankan status quo. Sementara itu, Max Weber mengurai dengan tajam soal legitimasi kekuasaan: apakah ia bersumber dari tradisi, karisma, atau hukum. Ia juga menggambarkan birokrasi modern sebagai pedang bermata dua  efisien, namun bisa menjadi mesin tanpa jiwa.  Tak ketinggalan Robert Dahl, yang memperkenalkan konsep polyarchy sebagai bentuk demokrasi yang nyata dalam praktik, dan Samuel Huntington, yang menelusuri hubungan sipil dan militer dalam menjaga demokrasi.

    Menjadi Warga yang Sadar Politik

    Mengapa semua ini penting? Karena politik adalah panggung tempat masa depan bangsa dipertaruhkan. Menjadi buta politik, sebagaimana pernah diingatkan oleh Aristoteles, adalah menyerahkan nasib kita kepada orang-orang yang mungkin tidak peduli pada kepentingan rakyat.  Dengan memahami ilmu politik, kita dapat melihat lebih jernih permainan kekuasaan. Kita tak mudah tertipu janji, tak gampang terpukau oleh retorika, dan tahu kapan saatnya bersuara. Ilmu politik bukan hanya soal teori di ruang kuliah, tapi soal hidup sehari-hari: soal pajak, pendidikan, jalan rusak, dan bahkan soal harga beras.  Di negeri yang masih terus mencari bentuk terbaik dari demokrasi, pemahaman politik yang sehat adalah kebutuhan mendesak. Kita tak boleh terus menjadi penonton, apalagi korban. Kita harus menjadi warga negara yang sadar, terlibat, dan tak mudah dibungkam. Itulah mengapa ilmu politik bukan sekadar bidang studi, melainkan sebuah panggilan nurani.

    REFERENSI

    1. Almond, Gabriel A., dan Bingham G. Powell. Comparative Politics: A Developmental Approach. Boston: Little, Brown and Company, 1966.
    2. Easton, David. The Political System: An Inquiry into the State of Political Science. New York: Alfred A. Knopf, 1953.
    3. Dahl, Robert A. Democracy and Its Critics. New Haven: Yale University Press, 1989.
    4. Mills, C. Wright. The Power Elite. New York: Oxford University Press, 1956.
    5. Huntington, Samuel P. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Cambridge: Harvard University Press, 1957.
    6. Machiavelli, Niccolò. Il Principe [The Prince]. Florence, 1532.
    7. Weber, Max. Politics as a Vocation, dalam From Max Weber: Essays in Sociology. Diedit oleh H. H. Gerth dan C. Wright Mills. New York: Oxford University Press, 1946.
    8. Marx, Karl, dan Friedrich Engels. Manifesto of the Communist Party. London: 1848.
    9. Locke, John. Two Treatises of Government. London: Awnsham Churchill, 1689.
    10. Hobbes, Thomas. Leviathan. London: Andrew Crooke, 1651.
    11. Rousseau, Jean-Jacques. The Social Contract. Paris: 1762.
    12. Pateman, Carole. Participation and Democratic Theory. Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
    13. Frank, Andre Gunder. Capitalism and Underdevelopment in Latin America. New York: Monthly Review Press, 1967.
    14. Cardoso, Fernando Henrique, dan Enzo Faletto. Dependency and Development in Latin America. Berkeley: University of California Press, 1979.
    15. Pareto, Vilfredo. The Mind and Society. New York: Harcourt, Brace & Co., 1935.
    16. Mosca, Gaetano. The Ruling Class. New York: McGraw-Hill, 1939.

    Jakarta 21 Juli 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticlePara Pemikir Ilmu Politik dan Jargon-Jargon Terkenalnya Tidak selalu Benar dan tidak selalu Salah
    Next Article Menjaga Kesehatan di Tahun 2025
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Menemukan Smartphone yang Tepat di Era Teknologi Mutakhir

    07/21/2025
    Article

    Menjaga Kesehatan di Tahun 2025

    07/21/2025
    Article

    Para Pemikir Ilmu Politik dan Jargon-Jargon Terkenalnya Tidak selalu Benar dan tidak selalu Salah

    07/21/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.