Sejak manusia membentuk komunitas politik yang disebut negara, kebutuhan akan pertahanan telah menjadi salah satu pilar utama eksistensinya. Sebuah negara tidak hanya berdiri untuk melindungi kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya rakyatnya, tetapi juga untuk menjamin keamanan dari ancaman, baik yang datang dari dalam maupun luar. Dalam konteks inilah, angkatan perang menjadi instrumen vital yang dimiliki setiap negara. Angkatan perang adalah manifestasi konkret dari kedaulatan, simbol ketegasan negara dalam menjaga batas wilayah, serta penjamin stabilitas nasional. Keberadaan angkatan perang tidak dapat dilepaskan dari hukum internasional dan prinsip kedaulatan. Sejak Konvensi Westphalia 1648, kedaulatan negara mencakup hak penuh untuk mempertahankan diri. Prinsip ini ditegaskan kembali dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memberikan hak kepada setiap negara untuk membela diri dari agresi. Artinya, angkatan perang bukan sekadar organisasi militer, melainkan alat negara yang diakui secara global untuk memastikan keberlangsungan hidup bangsa.
Di era modern, kebutuhan akan angkatan perang semakin kompleks. Ancaman terhadap negara tidak lagi semata-mata berbentuk invasi bersenjata, tetapi juga mencakup terorisme, konflik perbatasan, serangan siber, hingga kompetisi geopolitik yang melibatkan perebutan sumber daya. Oleh karena itu, setiap negara, besar maupun kecil, dituntut memiliki angkatan perang yang proporsional dengan kondisi geografis, politik, dan ekonominya. Tanpa keberadaan militer yang profesional dan terlatih, sebuah negara akan berada dalam posisi rentan terhadap tekanan dan intervensi asing. Dengan demikian, angkatan perang merupakan kebutuhan dasar bagi negara modern. Ia bukan hanya perisai dari ancaman, tetapi juga alat diplomasi, kekuatan penangkal, dan simbol kemandirian. Keberadaan angkatan perang menegaskan bahwa sebuah negara siap menjaga kedaulatannya, melindungi rakyatnya, serta berperan aktif dalam menjaga stabilitas kawasan maupun perdamaian dunia.
Angkatan Bersenjata Diraja Brunei, atau Royal Brunei Armed Forces (RBAF), merupakan tulang punggung pertahanan nasional Brunei Darussalam. Angkatan ini resmi berdiri pada 31 Mei 1961 dengan nama Askar Melayu Brunei. Empat tahun kemudian, gelar “Diraja” disematkan, menjadikannya Askar Melayu Diraja Brunei. Seiring dengan kemerdekaan penuh Brunei dari protektorat Inggris pada 1 Januari 1984, nama ini berubah menjadi Angkatan Bersenjata Diraja Brunei. Perubahan tersebut bukan sekadar simbol, melainkan penegasan bahwa Brunei memiliki kedaulatan penuh dalam menjaga keamanan dan pertahanan negaranya. Struktur organisasi RBAF terbagi ke dalam tiga matra, yaitu darat, laut, dan udara. Tentara Darat Diraja Brunei (Royal Brunei Land Force/RBLF) adalah matra tertua yang lahir seiring pembentukan ABDB pada 1961. Tugas utamanya adalah menjaga keamanan darat, termasuk perbatasan dengan Malaysia, serta memberikan bantuan kepada kepolisian dalam penegakan keamanan internal. Seiring waktu, RBLF berkembang menjadi tiga batalion tempur dan satu batalion dukungan logistik. Meski jumlahnya hanya sekitar tiga ribu personel, kekuatan ini diperkuat dengan hubungan erat bersama Brigade Gurkha milik Inggris yang tetap ditempatkan di Brunei sejak pemberontakan di tahun1962.
Tentara Laut Diraja Brunei (Royal Brunei Navy/RBN) bermula dari sebuah unit kecil yang disebut Boat Section pada 1965. Kini, RBN berbasis di Muara Naval Base dan memiliki tanggung jawab penting melindungi perairan Brunei, termasuk wilayah laut yang kaya minyak dan gas di Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil laut. Kapal patroli modern yang dibeli dari Jerman dan Inggris menjadi tulang punggung armada laut Brunei. Kehadiran RBN sangat strategis, mengingat letak Brunei di jalur maritim internasional dan kepentingan nasionalnya pada eksplorasi sumber daya lepas pantai. Sementara itu, Tentara Udara Diraja Brunei (Royal Brunei Air Force/RBAirF) awalnya adalah bagian kecil dari sayap udara ABDB pada 1965. Matra ini baru berdiri sebagai angkatan udara independen pada 1991. RBAirF berperan menjaga ruang udara dan mendukung mobilitas militer dengan helikopter dan pesawat angkut ringan. Brunei telah melengkapi angkatan udaranya dengan helikopter Sikorsky Black Hawk, helikopter Bell 212, serta pesawat latih Pilatus PC-7 Mk.II. Dalam beberapa tahun terakhir, armada udara diperkuat dengan pesawat angkut Airbus C295MW yang mulai diterima pada akhir 2023 dan awal 2024.
Selain ketiga matra tersebut, Brunei juga mengembangkan pasukan pendukung dan lembaga pendidikan militer. Training Institute RBAF melatih prajurit dari tingkat dasar hingga lanjutan, sementara Defence Academy mendidik calon perwira. Dalam tradisi nasional, keanggotaan ABDB dibatasi hanya bagi warga Brunei beretnis Melayu atau bumiputera, mencerminkan peran ABDB tidak hanya sebagai instrumen pertahanan tetapi juga simbol identitas negara. Dalam konteks modernisasi, Brunei tidak membangun angkatan perang dengan ambisi ofensif. Sebaliknya, strategi pertahanannya berorientasi pada deterrence dan perlindungan kedaulatan. Pada awal 2000-an, Sultan mengalokasikan dana besar untuk membeli alutsista dari Inggris, menjadikan Brunei salah satu pembeli senjata terbesar di luar kawasan Timur Tengah. Brunei juga aktif dalam kerja sama internasional, khususnya melalui Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Malaysia. Hubungan erat juga dijalin dengan Singapura, Australia, dan Amerika Serikat dalam latihan militer bersama.
Secara keseluruhan, Angkatan Bersenjata Diraja Brunei adalah contoh klasik negara kecil yang mampu membangun sistem pertahanan efektif dan proporsional dengan kebutuhan strategisnya. Dukungan finansial dari hasil minyak dan gas memungkinkan Brunei untuk memiliki peralatan modern, meski jumlah personelnya relatif kecil. Lebih dari itu, ABDB juga berfungsi sebagai simbol kedaulatan, pilar stabilitas, dan penjamin kepentingan nasional Brunei di tengah dinamika keamanan Asia Tenggara.
Referensi
- Bull, H. (2002). The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics. New York: Palgrave.
- Clausewitz, C. von. (1976). On War (M. Howard & P. Paret, Eds. & Trans.). Princeton: Princeton University Press.
- Collins, A. (Ed.). (2019). Contemporary Security Studies (5th ed.). Oxford: Oxford University Press.
- Huntington, S. P. (1957). The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Cambridge: Harvard University Press.
- Janowitz, M. (1960). The Professional Soldier: A Social and Political Portrait. Glencoe: Free Press.
- Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.
- Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 26 Juni 1945.
- Waltz, K. N. (1979). Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley.
- Williams, P. D. (Ed.). (2018). Security Studies: An Introduction (3rd ed.). London: Routledge.
- Yergin, D. (2020). The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations. New York: Penguin Press.
Jakarta 24 Agustus 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia
(Disusun dan dirangkum dari berbagai sumber termasuk AI)

