
Ada satu kenyataan sederhana namun mendasar tentang manusia yaitu kita adalah makhluk yang sangat ringkih. Bukan hanya karena tubuh kita mudah sakit dan usia kita terbatas, tetapi terutama karena tidak pernah benar-benar tahu dari mana kita datang dan ke mana akan pergi setelah mati. Ketidaktahuan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia penuh dengan kegelisahan dan kecemasan. Kita berjalan di dunia seperti menelusuri ruang yang samar meraba arah, mencari pegangan, berharap ada sesuatu yang dapat dan mampu memberi makna dan keyakinan.
Mungkin saja, saya tidak tahu pasti, konon dari kegelisahan itulah kepercayaan dalam bentuk keyakinan spiritual bermunculan. Manusia membutuhkan jawaban, petunjuk, dan rasa aman bagi dirinya. Mereka membutuhkan narasi yang menjelaskan asal-usul dan tujuan hidup. Tetapi seiring waktu, aliran kepercayaan dan keyakinan spiritual tidak tumbuh sebagai satu jalan saja. Kenyataannya ia bercabang, terpecah menjadi banyak aliran, mazhab, interpretasi, bahkan kelompok-kelompok baru yang beraneka rupa. Tidak semua membawa manusia kepada kebaikan. Ada yang justru menyesatkan, memanfaatkan ketakutan manusia akan kematian, menjual janji keselamatan, atau memaksa orang mengikuti praktik-praktik yang justru menjauhkan mereka dari nilai nilai luhur kemanusiaan. Dalam kerumitan itulah manusia sering tersesat, dan semakin merasa rapuh dalam menjalani hidup. Manusia terjebak dalam alur hidup yang tampak seolah hanya sekedar ritual dalam mencari pahala dan menghindarkan dosa. Sebuah arena pertarungan sengit antara meraih dan mengejar pahala serta upaya untuk menghindarkan berbuat dosa.
Di tengah keragaman ajaran yang saling bersilang, saya memilih untuk menyederhanakan hidup. Saya percaya bahwa inti spiritualitas bukanlah pada label, ritual, atau aliran, melainkan pada kemampuan seseorang untuk berbuat baik. Dari titik inilah seluruh renungan di bawah ini berangkat.
Kemarin saya bertemu seorang sahabat lama. Ia datang dengan wajah berbinar, seperti seseorang yang baru kembali dari perjalanan jauh sambil membawa sebuah kisah yang menurutnya sangat penting untuk saya dengar. Ia baru saja mengikuti sebuah pengajian yang dipimpin seorang ustadz terkenal, salah satu nama yang sedang “happening”, yang ceramahnya beredar di mana-mana. Dengan penuh semangat ia menceritakan kisah seorang laki-laki yang selamat dari sekaratul maut dan konon keselamatan itu, disebabkan karena kebaikan-kebaikan yang selalu dilakukan selama hidupnya. Ia menyampaikannya dengan nada dramatis, penuh kekaguman, seolah kisah itu membawa pesan penting yang secara khusus ditujukan kepada saya. Mungkin saja ia ingat bahwa saya tampaknya tidak pernah terlihat menjalankan salat lima waktu, jarang ikut pengajian, bahkan sering menghindar bila diajak. Barangkali pula itu sebabnya ia merasa perlu membawa “kabar baik” itu kepada saya, laksana seseorang yang ingin menyelamatkan orang lain dari bahaya. Saya terharu dan sangat menghormatinya.
Saya mendengarkan dengan penuh seksama, tentu saja. Tetapi setelah ia selesai bercerita, saya langsung merasa bahwa semua itu sebenarnya sederhana saja. Bagi saya, inti hidup tidaklah serumit kisah-kisah dramatis tentang malaikat, mukjizat, dosa, dan pahala yang sering disampaikan dalam ceramah-ceramah oleh para selebriti. Hidup, setidaknya bagi saya, hanyalah perjalanan singkat yang ingin saya jalani dengan satu prinsip, berusaha keras untuk berbuat baik kepada siapa pun. Titik.
Jalaluddin Rumi seorang penyair, sufi, dan pemikir spiritual terbesar dalam sejarah manusia, lahir tahun 1207 di Balkh (kini wilayah Afghanistan) dan wafat tahun 1273 di Konya, Turkiye. Dia pernah menyampaikan sebuah pelajaran agung tentang kebaikan. Ia mengatakan bahwa berbuat baiklah engkau kepada siapa saja termasuk kepada orang yang tidak berbuat baik kepadamu. Sebab kebaikan bukanlah cermin yang memantulkan perlakuan orang lain, melainkan cahaya yang memancar dari dalam diri kita sendiri. Kebaikan tidak menunggu balasan, tidak memilih penerima, dan tidak menimbang siapa yang layak atau tidak. Ia hadir sebagai anugerah, sebagai jalan, sebagai cara menjaga kemurnian jiwa diri kita sendiri. Kebaikan yang sekaligus mengandung makna menghormati orang lain sebagaimana layaknya menghormati diri sendiri.
Saya sudah berada pada usia ketika langkah mulai melambat, tetapi pikiran justru terasa semakin jernih. Saya tidak lagi merasa perlu menjadi “hamba yang sempurna” menurut standar siapa pun. Saya tidak merasa harus tampak saleh, menghadiri pengajian, atau melakukan ritual yang maknanya tidak sepenuhnya saya pahami, sebagian besar karena saya tidak mengerti bahasa Arab, sebagian lagi karena ritual itu tidak benar-benar selaras dengan suara hati saya. Saya tidak ingin membohongi diri sendiri dengan berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan diri saya. Tetapi saya percaya sepenuh hati bahwa Tuhan yang saya kenal adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dan Tuhan dengan atribut Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka dengan logika manusia yang paling sederhana, bagaimana mungkin Ia mengirim seseorang ke neraka hanya karena ia tidak menunaikan ritual kepercayaan, sementara orang itu sepanjang hidupnya membantu sesama dan berkomitmen pada kebaikan? Tuhan dalam banyak kitab suci digambarkan sebagai Tuhan yang penuh rahmat, bukan hakim yang menunggu setiap kesalahan yang diperbuiat hamba-Nya. Saya tidak percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia hanya untuk menjebak mereka dengan kewajiban-kewajiban yang membingungkan. Saya percaya Tuhan melihat hati manusia bukan tampilan luar, bukan ritual yang dilakukan sekadar sebagai daftar kewajiban yang terkadang bahkan dilakukan tanpa ketulusan hati, alias terpaksa.
Bagi saya, semua agama pada akhirnya pasti mengajarkan prinsip yang sama yaitu untuk berbuat baik, bersikap etis, tidak menyakiti sesama, dan hidup dengan kejujuran, menghormati satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan pada cara, ritual, bahasa doa, atau gaya dakwah hanyalah variasi kemasan. Pesannya tetap sama, jadilah manusia yang baik. Saya tidak perlu membayar dan membuang waktu untuk mendengar kisah-kisah panjang nan dramatis dari seorang selebritas untuk sampai pada pemahaman yang sudah saya pahami sejak lama bahwa hidup seharusnya dijalani melalui jalur kebaikan. Barangkali sahabat saya menganggap saya “kurang religius” karena saya tidak menjalankan ritual seperti dirinya. Tetapi saya telah belajar bahwa kebaikan tidak memerlukan panggung. Tidak perlu diumumkan. Tidak perlu dicatat sebagai amal formal. Tidak perlu mendapatkan pengakuan dari selebriti mana pun. Kebaikan sejati tumbuh dari kesadaran batin yang hening. Dalam renungan proses pengambilan keputusan-keputusan kecil setiap hari untuk tidak menyakiti orang lain, membantu meski tidak diminta, jujur meski terkadang sulit, dan tetap ramah meski sedang lelah.
Saya sama sekali tidak menentang ritual pengajian, dan tidak mengkritik mereka yang rajin beribadah. Itu jalan mereka masing masing. Tetapi saya juga berharap orang memahami bahwa jalan menuju Tuhan tidak hanya satu. Tidak semua orang menempuhnya melalui ritual tertentu. Ada yang melalui perenungan. Ada yang melalui pelayanan. Ada yang melalui perbuatan-perbuatan baik yang sunyi, tak terlihat. Dan saya percaya bahwa jalan saya jalan sederhana untuk berusaha berbuat baik kepada siapa pun adalah jalur yang tidak mengganggu orang lain. Mungkin atau bahkan pasti tidak memancing tepuk tangan, tetapi memberi ketenangan bagi hati saya. Agama dan atau kepercayaan serta keyakinan adalah milik masing masing perorangan yang merupakan pilihan sediri. Saya sangat menghormati hal tersebut.
Jika suatu hari saya kembali kepada Sang Pencipta, saya ingin datang bukan sebagai seorang yang sempurna dalam ritual, melainkan sebagai seseorang yang sungguh-sungguh berusaha untuk tidak menyakiti siapa pun, dan yang dengan tulus mencoba berbuat baik dalam cara-cara kecil yang semesta alam izinkan. Saya percaya Tuhan mengerti. Tuhan melihat hati sesuatu yang hanya Dia yang benar-benar tahu. Dan jika kelak, di “gerbang terakhir,” saya ditanya mengapa ritual saya tidak sempurna, jawaban saya sederhana “Saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi manusia yang baik, kepada semua orang.” Itu saja. Dan saya yakin sepenuhnya bahwa hidup seperti itu tidak akan membawa seseorang ke neraka. Tidak mungkin. Sebab pada akhirnya, agama adalah usaha manusia untuk menjadi baik. Dan Tuhan, saya yakin, jauh lebih memahami daripada yang kita bayangkan.
Lagi pula, bukan rahasia bahwa banyak orang yang sangat rajin dalam ritual tidak pernah terlambat salat, selalu di masjid, rajin mengikuti ceramah namun pada saat yang sama sebagian dari mereka justru menjadi orang orang yang korup dan atau melakukan hal hal yang tidak berakhlak. Lalu bagaimana? Apa yang harus kita simpulkan dari itu semua? Mungkin jawabannya sederhana, ritual bisa memoles permukaan, tetapi kebaikanlah yang memperlihatkan hati. Dan Tuhan, yang maha pengasih dan penyayang akan melihat hati.
Pada akhirnya, hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan kecemasan yang tidak perlu. Kita semua berjalan dengan keyakinan, harapan, dan cara masing-masing dalam mencari jalan pulang kepada-Nya. Karena itu, marilah kita nikmati hidup ini sebaik-baiknya, enjoy every minute of your life tanpa harus saling menghakimi pilihan orang lain. Jalani hidup dengan damai sesuai agama, keyakinan, dan kepercayaan kita masing-masing. Selama kita menjaga hati, tidak menyakiti siapa pun, dan terus berusaha menjadi manusia yang lebih baik setiap hari, maka langkah kita akan selalu berada di jalan yang benar. Hidup adalah anugerah, dan tugas kita hanyalah menjalaninya dengan penuh syukur, penuh kebaikan, dan penuh ketulusan.
Jakarta, 20 November 2025
