Oleh: Chappy Hakim
Marsekal TNI (Purn), Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)
Pada dasarnya, Flight Information Region atau FIR adalah wilayah informasi penerbangan yang dibentuk untuk menjamin keselamatan penerbangan sipil internasional. Penetapan FIR dilakukan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) berdasarkan tiga prinsip utama yakni efisiensi, keselamatan, dan kesiapan teknis suatu negara dalam memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Dari prinsip-prinsip itu, FIR secara formal memang bukan batas kedaulatan negara. Ia hanyalah mekanisme administratif agar lalu lintas udara dunia dapat berjalan dengan aman dan teratur. Karena itu, sangat masuk akal bila banyak orang beranggapan bahwa FIR tidak ada kaitannya dengan kedaulatan negara di udara.
Namun, pandangan tersebut menjadi tidak sederhana ketika kita berbicara tentang FIR Singapura. Sebagian besar wilayah udara dalam FIR Singapura berada di atas wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Artinya, di ruang udara kita sendiri, pengaturan lalu lintas sipil dikendalikan oleh otoritas penerbangan asing. Pada titik inilah, isu FIR berubah dari sekadar urusan teknis menjadi persoalan politik dan kedaulatan nasional. Pada titik inilah pula, maka pendapat bahwa FIR tidak ada kaitannya dengan kedaulatan negara menjadi kabur pengertiannya, alias tidak lagi relevan.
Jejak Kolonial di wilayah udara Indonesia
Akar dari masalah ini dapat ditelusuri ke tahun 1946, saat Asia Tenggara masih berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris dan Belanda. Dalam pertemuan kedua kekuatan kolonial tersebut, yang kemudian disahkan oleh ICAO pada 1948, disepakati pembagian pengelolaan wilayah udara berdasarkan pertimbangan teknis, bukan geopolitik. Inggris yang menguasai Singapura, mendapat mandat mengelola sebagian wilayah udara yang kini berada di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Dalam risalah tersebut bahkan disebutkan bahwa penerbangan militer tetap menjadi kewenangan Hindia Belanda dan diatur dari Tanjung Pinang. Artinya, sejak awal, pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Inggris pun masih memisahkan urusan sipil dan militer sebuah bentuk penghormatan terhadap unsur kedaulatan di udara dari negara lain. Setelah Indonesia merdeka, struktur itu tidak pernah benar-benar direvisi. Akibatnya, sebagian wilayah udara kedaulatan RI tetap berada di bawah kontrol administratif otoritas asing, bahkan mencakup penerbangan sipil dan militer. Kondisi ini terus berlangsung hingga kini, dan bahkan diperkuat melalui perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa FIR Singapura memang “dikembalikan” kepada Indonesia dan diberi nama FIR Jakarta, tetapi pengelolaannya pada kawasan dari permukaan laut hingga ketinggian 37.000 kaki justru kembali didelegasikan kepada otoritas penerbangan sipil Singapura selama 25 tahun dan dapat diperpanjang. Secara diplomatis, perjanjian itu disebut sebagai langkah maju. Namun secara substantif, ia adalah pengulangan sejarah kolonial dalam kemasan baru yang lebih parah.
Kedaulatan yang Tak Boleh Dibagi
Konvensi Chicago 1944, Pasal 1 dengan tegas menyatakan:
“Every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Prinsip ini menegaskan bahwa kedaulatan udara bersifat absolut dan eksklusif. Indonesia memperkuat prinsip itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menegaskan ruang udara nasional berada sepenuhnya di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pakar hukum udara antara lain Prof. Dr. Atip Latipulhayat,S.H,LL.M.,Ph.D menjelaskan, kedaulatan udara mengandung tiga pilar utama terdiri dari control of the air, use of airspace, dan law enforcement. Artinya, negara berdaulat harus mampu mengendalikan, memanfaatkan, dan menegakkan hukum di wilayah udaranya sendiri. Ketika sebagian ruang udara dikelola negara lain, sekecil apa pun, maka salah satu pilar kedaulatan itu telah goyah. Kedaulatan tidak bisa dinegosiasikan, apalagi disubkontrakkan.
Langit yang Bernilai Strategis
Kawasan udara yang termasuk dalam FIR Singapura bukan ruang kosong. Ia merupakan salah satu jalur penerbangan internasional paling padat di dunia menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Australia. Di sinilah ratusan pesawat melintas setiap hari, membawa manusia, barang, dan arus ekonomi global. Dari perspektif geopolitik, kawasan ini adalah critical border, perbatasan strategis yang sangat sensitif karena berbatasan langsung dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Dalam konteks pertahanan, siapa yang menguasai langit di atas Natuna dan Riau akan memiliki keunggulan dalam pengawasan, intelijen, dan kesiapan militer. Oleh karena itu, isu FIR bukan hanya tentang navigasi sipil, melainkan juga tentang national security tentang kemampuan sebuah bangsa menjaga ruang strategisnya sendiri di tengah dinamika kawasan Indo-Pasifik yang semakin kompleks dari hari ke hari.
Pertarungan Politik dan Kepentingan Elite
Mengapa pendelegasian seperti ini bisa terjadi? Jawabannya tidak bisa dilepaskan dari aspek politik. Jean Bodin, pemikir abad ke-16, menyebut kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang tidak bisa dibagi. Tetapi dalam dunia modern, realitasnya sering kali berbeda. Kedaulatan bisa menjadi alat tawar di meja diplomasi. C. Wright Mills menyebut fenomena ini sebagai power elite jaringan kecil dari kalangan politik, militer, dan ekonomi yang sering kali membuat keputusan besar tanpa partisipasi publik yang luas. Sedangkan Graham Allison, dalam model bureaucratic politics, menjelaskan bahwa kebijakan negara sering kali merupakan hasil tarik-menarik antar lembaga yang memiliki kepentingan berbeda. Begitu pula dengan isu FIR, di satu sisi ada diplomasi dan tekanan internasional dan di sisi lain ada semangat menjaga kedaulatan nasional. Hasil akhirnya sering kali adalah kompromi politik, bukan keputusan strategis berbasis kemandirian dari sebuah kepentingan nasional.
Wilayah Udara sebagai Simbol Kemerdekaan
Pendelegasian sebagian wilayah udara Indonesia kepada otoritas asing bukan sekadar persoalan administratif. Ia adalah cermin dari bagaimana kita menilai kemerdekaan itu sendiri. Dari sisi sejarah, ini adalah warisan kolonial yang belum tuntas. Dari sisi hukum, pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan udara yang mutlak. Dari sisi pertahanan, sebuah potensi ancaman terhadap keamanan nasional.Kedaulatan negara tidak boleh ditawar, apalagi disewakan. Sebab kedaulatan bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal harga diri bangsa. Negara yang benar-benar merdeka adalah negara yang menguasai langitnya sendiri karena dari langitlah kehormatan dan martabat sebuah bangsa bermula.
Jakarta, 12 November 2025
Chappy Hakim

