Sejak awal abad ke-20, angkasa raya tidak lagi dipandang sekadar ruang kosong di atas kepala manusia. Langit berubah menjadi arena perebutan supremasi, medan tak kasatmata tempat negara-negara besar berlomba untuk menunjukkan siapa yang layak disebut sebagai kekuatan utama dunia. Sejarah penerbangan militer membuktikan bahwa setiap lompatan teknologi pesawat tempur selalu diiringi dengan perebutan pengaruh politik global. Amerika Serikat, misalnya, menghadirkan F-22 Raptor dan F-35 Lightning II sebagai ikon generasi kelima yang tak hanya ditujukan untuk pertempuran, melainkan juga sebagai simbol keunggulan industri dan sains. Rusia dengan tradisi panjang Sukhoi-nya menampilkan Su-57, berusaha mempertahankan reputasi lama sebagai raksasa di udara. Sementara Eropa mengusung Eurofighter Typhoon dan Rafale, buah dari kerja sama antarnegara yang menjadikan kedirgantaraan sebagai wujud kemandirian kolektif.
Dalam persaingan tanpa henti itulah, China tampil sebagai pemain baru yang penuh ambisi. Dari negara yang dahulu hanya bergantung pada lisensi dan teknologi bekas Soviet, kini Negeri Tirai Bambu berdiri sejajar dengan kekuatan lama. Ia berani menantang dominasi Barat dengan melahirkan karya sendiri. Pertandingan ini menyerupai sebuah kejuaraan yang tidak mengenal akhir tentang siapa pun yang sanggup memadukan kecepatan, kemampuan siluman, daya jelajah jauh, serta kecanggihan avionik, dialah yang berhak menyandang predikat pemimpin. Pesawat tempur bukan lagi sekadar mesin perang, tetapi juga pesan politik, tanda kebangkitan, dan sarana diplomasi kekuatan yang berbicara lebih keras dari pidato maupun dokumen resmi. Dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, China menjelma menjadi salah satu pusat kekuatan kedirgantaraan dunia. Keberhasilan mereka membangun pesawat tempur modern menjadi cermin dari transformasi besar dalam strategi pertahanan dan teknologi nasional. Dari sekian banyak produk, dua yang paling mencuri perhatian adalah Chengdu J-10 dan Chengdu J-20. Kedua pesawat ini kerap disebut sebagai tonggak penting dalam perjalanan panjang industri pertahanan udara China. Namun, keduanya sesungguhnya lahir dari kebutuhan dan konteks sejarah yang berbeda. J-10 menandai masa transisi, ketika China mulai beranjak dari ketergantungan pada Rusia menuju kemandirian industri. Sementara J-20 mencerminkan tekad besar untuk masuk dalam gelanggang pesawat tempur generasi kelima, sejajar dengan produk Amerika Serikat maupun Rusia.
Konsep Dasar dan Generasi
J-10 dapat digolongkan sebagai pesawat tempur generasi keempat. Ia dikembangkan sejak era 1980-an hingga 1990-an sebagai jawaban atas kebutuhan Angkatan Udara PLA untuk mengganti armada lama MiG-19 dan MiG-21 yang sudah ketinggalan zaman. Dengan J-10, China ingin memiliki jet tempur serbaguna yang mampu melaksanakan berbagai misi sekaligus, baik di udara maupun untuk serangan permukaan. Berbeda dengan itu, J-20 sejak awal ditujukan sebagai pesawat generasi kelima. Filosofinya melampaui sekadar kemandirian teknologi, ia adalah simbol ambisi besar China untuk menempatkan diri sebagai kekuatan global. Keberadaan teknologi siluman, sistem sensor mutakhir, dan konsep network centric warfare membuat J-20 dirancang untuk medan pertempuran modern yang mengandalkan informasi, kecepatan, dan kejutan. Perbedaan mendasar antara J-10 dan J-20 dapat dikenali hanya dengan sekali pandang. J-10 memiliki ukuran lebih kecil, bermesin tunggal, dan menggunakan konfigurasi canard-delta wing yang memberikan kelincahan tinggi. Siluetnya mengingatkan pada perpaduan antara Mirage 2000 buatan Prancis dengan Lavi Israel, sebuah rancangan yang kemudian menginspirasi desainnya. Sementara itu, J-20 jauh lebih besar, ditopang dua mesin, dengan moncong panjang dan sayap delta lebar. Garis-garis tajam pada tubuhnya jelas dimaksudkan untuk meminimalkan radar cross section (RCS), menjadikannya pesawat dengan kemampuan siluman yang sekelas dengan F-22 Raptor. Dari segi penampilan, J-20 menghadirkan wibawa dan aura intimidasi, memperlihatkan ambisi China untuk disejajarkan dengan kekuatan udara Amerika Serikat.
Mesin dan Performa
Pada tahap awal, J-10 mengandalkan mesin Rusia AL-31FN, sebuah pilihan realistis karena industri dalam negeri belum mampu memproduksi mesin jet berkualitas tinggi. Baru belakangan ini varian J-10C mulai menggunakan mesin lokal WS-10B. Kemampuan J-10 cukup mumpuni, dengan kecepatan maksimum Mach 2, meski radius tempurnya terbatas. Sebaliknya, J-20 digadang-gadang akan memakai mesin WS-15 buatan dalam negeri, meskipun hingga kini masalah reliabilitas dan performa mesin masih menjadi pekerjaan rumah besar. Dengan dua mesin, J-20 dirancang untuk dapat melakukan supercruise yakni terbang supersonik tanpa afterburner serta memiliki radius operasi jauh lebih luas. Hal ini membuat J-20 bukan sekadar pesawat tempur jarak dekat, melainkan instrumen strategis untuk misi penetrasi jauh ke wilayah musuh. J-10 sudah dilengkapi dengan radar multi-mode modern, sistem kendali fly-by-wire, serta kompatibel dengan berbagai persenjataan seperti rudal udara ke udara PL-8, PL-10, dan PL-12. Dengan kemampuan ini, J-10 berperan sebagai pesawat multirole fighter yang bisa digunakan untuk superioritas udara, dukungan serangan darat, maupun patroli perbatasan. Namun, J-20 melangkah lebih jauh. Ia dipersenjatai dengan radar AESA (Active Electronically Scanned Array), sistem sensor fusion yang memungkinkan pilot memperoleh gambaran medan tempur secara menyeluruh, serta perangkat electronic warfare mutakhir. Rudal jarak jauh PL-15 dan PL-21 menjadi senjata pamungkasnya, memungkinkan J-20 menghancurkan lawan sebelum terdeteksi. Semua senjata ini disimpan dalam ruang internal, sebuah ciri khas desain siluman yang tidak dimiliki J-10.
Peran Operasional
Dalam konteks operasional, J-10 menjadi tulang punggung Angkatan Udara China selama lebih dari dua dekade terakhir. Dengan jumlah ratusan unit, pesawat ini tersebar di berbagai pangkalan udara, siap menjalankan misi rutin sehari-hari. J-10 relatif murah, fleksibel, dan mudah dikerahkan untuk berbagai keperluan, mulai dari pengawalan wilayah udara hingga pelatihan tempur. Disisi lain J-20 hadir dengan peran berbeda. Ia tidak dirancang untuk hadir dalam jumlah masif, melainkan menjadi senjata pamungkas yang digunakan pada misi strategis. Kehadirannya memberi pesan kuat kepada dunia bahwa China kini mampu menandingi F-22 Raptor milik Amerika Serikat maupun Su-57 Rusia. J-20 lebih dari sekadar pesawat, ia adalah alat politik yang menunjukkan kesiapan China dalam percaturan kekuatan global. Demikianlah, membandingkan J-10 dan J-20 sejatinya sama dengan melihat dua fase perjalanan kedirgantaraan China. J-10 adalah simbol kebangkitan, saat negara itu berusaha keluar dari bayang-bayang ketergantungan pada teknologi Rusia. J-20 adalah simbol ambisi, saat China dengan percaya diri menantang dominasi udara Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik. Jika J-10 melambangkan fondasi, maka J-20 merupakan mahkota. Keduanya bukan hanya sekadar mesin tempur, melainkan cerminan strategi, kebijakan pertahanan, sekaligus kebanggaan nasional yang membuktikan bahwa langit kini telah menjadi panggung pertandingan besar, dan China tidak lagi menjadi penonton.
Jakarta 17 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI