Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Prof. Pablo Mendes de Leon
    Article

    Prof. Pablo Mendes de Leon

    Chappy HakimBy Chappy Hakim09/23/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    FIR dan Kedaulatan Negara di Udara

    Pada tanggal 25 Januari 2022, Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian penting yang salah satu isinya menyangkut penataan kembali Flight Information Region (FIR) di kawasan Kepulauan Riau dan Natuna. Perjanjian ini kemudian disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan dipandang sebagai tonggak baru dalam hubungan bilateral kedua negara. Salah satu poin utama perjanjian tersebut adalah pengaturan ulang pengelolaan FIR di mana Indonesia, bukannya mengambil alih penuh FIR yang secara hukum berada di atas wilayah kedaulatannya, justru kembali mendelegasikan sebagian wilayah udara di sekitar Natuna kepada Singapura untuk jangka waktu 25 tahun ke depan. Secara historis, pendelegasian ini berakar pada keputusan ICAO pasca tahun 1946, ketika Singapura yang kala itu masih berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris diberi mandat untuk mengelola FIR di kawasan tertentu termasuk wilayah udara yang berada di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Alasan utamanya adalah kapasitas teknis Indonesia yang dianggap belum memadai dalam menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan sipil internasional. Meski demikian, seiring perkembangan kemampuan Indonesia, isu pengambilalihan kembali FIR ini telah menjadi agenda nasional termasuk melalui berbagai pernyataan resmi pemerintah dan lembaga navigasi penerbangan.

    Perjanjian 2022 kemudian menimbulkan perdebatan serius. Di satu sisi, pemerintah menilai kesepakatan ini sebagai bentuk kompromi realistis untuk menjamin keselamatan penerbangan internasional dan memperkuat kerja sama bilateral dengan Singapura. Namun di sisi lain, banyak kalangan menilai pendelegasian kembali FIR ke Singapura sebagai langkah yang kontradiktif terhadap prinsip kedaulatan udara yang bersifat mutlak, komplit, dan eksklusif sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dari sinilah muncul pertanyaan mendasar: apakah pengaturan FIR semata-mata masalah teknis pelayanan navigasi udara, ataukah ia sekaligus menyentuh jantung persoalan kedaulatan negara di udara?

    Isu tentang Flight Information Region (FIR) selalu menarik untuk dibicarakan, sebab ia berada di persimpangan antara aspek teknis penerbangan sipil dan prinsip kedaulatan negara di udara. Dalam bukunya Introduction to Air Law (2017), Prof. Pablo memberikan penjelasan yang cukup komprehensif mengenai posisi FIR dalam hukum udara internasional sekaligus menegaskan kembali prinsip dasar kedaulatan udara yang lahir dari sejarah panjang perang dunia.

    FIR sebagai Masalah Pelayanan

    Prof. Pablo menekankan bahwa FIR pada hakikatnya bukanlah masalah kedaulatan, melainkan semata-mata soal pelayanan navigasi udara. Hal ini sejalan dengan regulasi International Civil Aviation Organization (ICAO), terutama yang dituangkan dalam Annex 11 Konvensi Chicago 1944. ICAO memandang FIR sebagai pembagian wilayah pelayanan lalu lintas udara internasional yang bertujuan menjamin keselamatan penerbangan, keteraturan arus lalu lintas, dan efisiensi operasi.  Dengan demikian, negara yang ditugasi mengelola sebuah FIR tidak berarti memiliki hak kedaulatan atas wilayah udara tersebut. Pengelolaan FIR dipahami hanya sebagai delegasi teknis pelayanan, bukan transfer kedaulatan. Logika ini lahir dari kebutuhan praktis, karena keselamatan penerbangan internasional memerlukan tata kelola yang terkoordinasi lintas batas negara. Dari perspektif inilah, ada negara mendelegasikan pengelolaan FIR kepada negara tetangga yang memiliki kapasitas teknis lebih baik.

    Kedaulatan Udara yang Mutlak dan Eksklusif

    Namun, Prof. Pablo juga menegaskan bahwa ketika berbicara tentang kedaulatan negara di udara, pijakan yang berlaku adalah prinsip hukum internasional sebagaimana termaktub dalam Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944. Kedua konvensi ini lahir dalam konteks Perang Dunia I dan II, ketika ruang udara menjadi domain strategis bagi operasi militer. Karena itu, negara-negara menuntut agar wilayah udara di atas teritorial mereka diakui sebagai ruang kedaulatan yang bersifat mutlak (complete) dan eksklusif (exclusive).  Prof. Pablo menguraikan bahwa prinsip tersebut tetap relevan hingga kini, sebab wilayah udara tidak memiliki batas fisik yang kasat mata sebagaimana daratan atau lautan. Dalam konteks inilah ia menulis kalimat penting: “Thus reliance on sovereignty serve as a legal tool to safeguard national airspace and security in the absence of physical boundaries.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa konsep kedaulatan dijadikan alat hukum untuk menjaga keamanan wilayah udara nasional di tengah ketiadaan batas fisik yang jelas.

    Dialektika FIR dan Kedaulatan

    Dengan demikian, terlihat adanya dialektika antara dua perspektif: di satu sisi, FIR dipandang sebagai instrumen teknis pelayanan navigasi udara yang sifatnya administrative, di sisi lain, kedaulatan udara tetap diakui sebagai prinsip fundamental hukum internasional yang bersifat mutlak dan eksklusif. Kedua posisi ini tidak harus dilihat sebagai kontradiksi, melainkan sebagai komplemen. ICAO menekankan aspek keselamatan dan efisiensi melalui mekanisme FIR, sementara prinsip kedaulatan berfungsi sebagai payung hukum yang menjamin bahwa pelayanan tersebut tidak mengurangi hak eksklusif negara atas ruang udaranya. Persoalan muncul ketika praktik pendelegasian FIR ke negara lain menimbulkan tafsir politik dan hukum yang lebih luas. Bagi sebagian pihak, pendelegasian ini dianggap sekadar solusi teknis yang tidak menyentuh isu kedaulatan. Namun, dari sudut pandang politik dan pertahanan, memberikan kewenangan pengelolaan FIR kepada negara lain bisa dipandang sebagai bentuk keterbatasan dalam menjalankan kedaulatan udara secara penuh.

    Demikianlah, pandangan Prof. Pablo membuka ruang diskusi yang penting bahwa FIR harus dipahami dalam kerangka pelayanan teknis sebagaimana diatur ICAO, tetapi tidak boleh melupakan latar belakang historis dan prinsip fundamental kedaulatan udara. Keduanya berjalan beriringan. Dalam dunia yang semakin kompleks, pengelolaan FIR tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan politik, hukum, dan keamanan nasional. Oleh karena itu, setiap negara tetap memiliki hak penuh untuk mengambil alih FIR di wilayah kedaulatannya kapan pun, tentu saja dengan tetap menghormati aturan keselamatan penerbangan internasional.

    Jakarta 20 September 2022

    Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleGross Domestic Product (GDP) dan Implikasinya terhadap Pembangunan Nasional
    Next Article The Strategic Position of the Xiangshan Forum
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Magna Charta

    09/23/2025
    Article

    Kerja Sama Alutsista Indonesia China

    09/23/2025
    Article

    Perkembangan Produksi Pesawat Tempur

    09/23/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.