Kedaulatan adalah konsep fundamental dalam ilmu politik. Ia menentukan siapa yang memegang kekuasaan tertinggi, bagaimana kekuasaan itu dijalankan, dan sejauh mana batasnya. Dalam sejarah pemikiran politik, teori kedaulatan selalu hadir sebagai refleksi atas pergulatan antara penguasa, rakyat, dan hukum. Pemahaman mengenai kedaulatan berkembang seiring perubahan zaman, dari absolutisme monarki hingga demokrasi modern.
Jean Bodin, Kedaulatan Absolut
Jean Bodin (1530–1596) adalah pelopor teori kedaulatan dalam ilmu politik. Dalam karyanya Six Livres de la République (1576), ia mendefinisikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, absolut, permanen, dan tidak terbagi dalam suatu negara. Konsep ini lahir di tengah pergolakan politik Eropa, khususnya saat perang agama di Prancis, yang menuntut stabilitas melalui otoritas tunggal. Bodin menekankan bahwa raja sebagai pemegang kedaulatan tidak terikat hukum positif, hanya tunduk pada hukum alam dan hukum Tuhan. Pandangannya menegaskan lahirnya negara modern dengan otoritas sentral yang kuat.
Thomas Hobbes: Negara sebagai Leviathan
Thomas Hobbes (1588–1679) dalam Leviathan (1651) memandang kedaulatan sebagai hasil kontrak sosial. Manusia, yang dalam keadaan alamiah hidup dalam ketakutan dan konflik, menyerahkan hak-haknya kepada penguasa absolut agar tercipta keamanan. Dalam ilmu politik, teori Hobbes penting karena menekankan fungsi negara sebagai pencipta ketertiban. Negara berdaulat bukan hanya pemegang kekuasaan tertinggi, tetapi juga alat untuk menjamin keselamatan rakyat.
John Locke: Kedaulatan Rakyat
John Locke (1632–1704) mengkritik absolutisme Hobbes dan Bodin. Ia berpendapat bahwa kedaulatan sejati ada pada rakyat. Negara terbentuk melalui kontrak sosial, tetapi penguasa hanyalah wakil rakyat yang dipilih untuk menjalankan pemerintahan. Locke menegaskan prinsip pemisahan kekuasaan (eksekutif, legislatif, federatif) dan hak rakyat untuk mengganti penguasa bila melanggar kontrak. Teorinya melahirkan dasar liberalisme politik dan demokrasi konstitusional modern.
Jean-Jacques Rousseau Volonté Générale
Jean-Jacques Rousseau (1712–1778) memperkuat teori kedaulatan rakyat melalui konsep volonté générale atau “kehendak umum”. Menurutnya, kedaulatan tidak dapat diwakilkan, sebab ia melekat pada rakyat sebagai kolektivitas. Dalam ilmu politik, Rousseau menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan hanya sah jika sejalan dengan kehendak umum. Konsep ini memberi dasar bagi demokrasi langsung dan gerakan revolusi, terutama Revolusi Prancis.
Montesquieu Pemisahan Kekuasaan
Montesquieu (1689–1755) menambahkan dimensi penting dalam teori kedaulatan, yakni pembatasan kekuasaan. Dalam L’Esprit des Lois (1748), ia menekankan bahwa kekuasaan harus dibagi menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk mencegah tirani. Dengan demikian, dalam ilmu politik modern, kedaulatan tidak lagi dipahami sebagai kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan yang terbagi dan dikendalikan oleh mekanisme checks and balances.
Perkembangan Modern Kedaulatan Negara vs Kedaulatan Rakyat
Dalam ilmu politik kontemporer, teori kedaulatan berkembang dalam dua arus besar yaitu Kedaulatan Negara yang menekankan kekuasaan tertinggi berada pada negara, sering dipakai dalam konteks hubungan internasional dan hukum publik. Berikutnya adalah Kedaulatan Rakyat yang menekankan bahwa legitimasi negara berasal dari rakyat, yang diwujudkan melalui demokrasi, pemilu, dan hak asasi manusia. Keduanya berpadu dalam sistem negara modern, di mana negara diakui sebagai pemegang otoritas tertinggi, tetapi kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi dan legitimasi rakyat.
Demikianlah Teori kedaulatan dalam ilmu politik telah mengalami evolusi panjang yakni dari absolutisme Bodin dan Hobbes, menuju demokrasi konstitusional Locke, Rousseau, dan Montesquieu. Dalam perkembangannya, kedaulatan dipahami bukan hanya sebagai kekuasaan tertinggi negara, tetapi juga sebagai refleksi legitimasi rakyat. Ilmu politik modern menempatkan kedaulatan sebagai konsep dinamis, yang harus selalu menyeimbangkan antara otoritas negara, kebebasan rakyat, dan tatanan internasional.
Implikasi dari teori kedaulatan
Dalam konteks kekinian teori kedaulatan sangat relevan dengan dinamika politik global maupun nasional. Di era globalisasi dan interdependensi internasional, negara tidak lagi berdiri sebagai entitas absolut yang tertutup. Meskipun Pasal 2(1) Piagam PBB menegaskan prinsip kedaulatan yang setara, realitasnya banyak negara menghadapi tekanan eksternal berupa intervensi ekonomi, politik, maupun militer dari kekuatan besar. Di sisi lain, munculnya isu-isu lintas batas seperti perubahan iklim, migrasi, dan keamanan siber menunjukkan bahwa kedaulatan tidak bisa dipahami hanya sebatas kontrol teritorial, melainkan juga kemampuan adaptif negara dalam menghadapi tantangan global. Dengan demikian, kedaulatan kini menuntut keterampilan diplomasi, kemampuan regulasi domestik, serta partisipasi aktif dalam tata kelola internasional.
Di tingkat nasional, teori kedaulatan memberikan landasan bagi demokrasi dan tata kelola yang baik. Konsep kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan oleh Locke dan Rousseau mengingatkan bahwa legitimasi pemerintah tetap bersumber dari kehendak rakyat. Dalam praktik politik kontemporer, hal ini terlihat pada pentingnya pemilu yang jujur dan adil, mekanisme checks and balances, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, fenomena seperti oligarki politik, nepotisme, dan korupsi dapat menggerus prinsip kedaulatan rakyat, sehingga negara berisiko kembali pada dominasi elit yang menyalahi kontrak sosial. Dengan demikian, tantangan utama ilmu politik modern adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara otoritas negara dan partisipasi rakyat dalam kerangka konstitusional.
Selain itu, perkembangan teknologi digital membawa dimensi baru terhadap konsep kedaulatan. Ruang siber (cyberspace) kini menjadi arena perebutan kekuasaan, baik antarnegara maupun antara negara dengan korporasi global. Isu kedaulatan digital, perlindungan data pribadi, serta kemandirian teknologi menambah kompleksitas diskursus kedaulatan dalam ilmu politik. Negara yang gagal menguasai ruang siber berpotensi kehilangan kendali atas informasi, ekonomi, bahkan stabilitas politiknya. Oleh karena itu, teori kedaulatan hari ini harus dipahami secara multidimensional yang bukan hanya otoritas atas wilayah fisik, tetapi juga legitimasi rakyat, kemandirian ekonomi, serta kapasitas negara dalam mengelola ruang digital dan interaksi global.
Jakarta 23 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI