Implikasinya bagi Kedaulatan Negara di Udara
Konvensi Westphalia yang ditandatangani pada tahun 1648 sering dianggap sebagai tonggak lahirnya sistem negara bangsa modern. Konvensi Westphalia merujuk pada Perjanjian Perdamaian Westphalia yang ditandatangani pada tahun 1648 di kota Münster dan Osnabrück, Jerman. Perjanjian ini mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648) di Eropa, yang awalnya merupakan konflik agama antara Katolik dan Protestan, tetapi kemudian berkembang menjadi perang politik yang melibatkan banyak negara Eropa. Perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa itu menghasilkan kesepakatan fundamental bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah teritorialnya. Prinsip inilah yang kemudian menjadi pondasi hukum internasional dan norma hubungan antarnegara hingga hari ini. Negara diberi hak untuk mengatur urusan dalam negeri, menjalankan kebijakan luar negeri, dan melindungi kepentingannya tanpa intervensi pihak luar. Dengan demikian, Konvensi Westphalia 1648 menjadi fondasi bagi pengakuan atas eksistensi negara-bangsa dalam tatanan global. Karena itu, Konvensi Westphalia sering dianggap sebagai tonggak lahirnya sistem negara-bangsa modern (nation-state system) dan awal mula hukum internasional modern. Prinsip kedaulatan yang diakui sejak saat itu terus bergulir menjadi dasar hubungan internasional hingga sekarang, termasuk seperti yang diatur kembali dalam Piagam PBB tahun 1945
Perkembangan konsep kedaulatan berjalan seiring dengan lahir dan tumbuhnya ilmu politik modern. Dalam tradisi pemikiran politik klasik, Niccolò Machiavelli menekankan pentingnya kekuasaan dan seni mempertahankan negara sebagaimana tertuang dalam Il Principe. Thomas Hobbes melalui Leviathan (1651) menegaskan bahwa tanpa kekuasaan yang berdaulat, kehidupan manusia akan jatuh dalam kondisi “bellum omnium contra omnes” atau perang semua melawan semua. John Locke kemudian mengajukan gagasan tentang hak-hak alamiah individu yang harus dilindungi oleh negara melalui kontrak sosial, sementara Jean-Jacques Rousseau menekankan pentingnya kedaulatan rakyat dalam Du Contrat Social (1762), di mana legitimasi politik bersumber dari kehendak umum atau volonté générale. Konvensi Westphalia memberi wadah konkret bagi gagasan-gagasan tersebut dengan menempatkan negara sebagai aktor utama dalam politik internasional. Sejak itu, kedaulatan menjadi pusat diskusi dalam ilmu politik, baik dalam kerangka realisme yang menitikberatkan pada kekuasaan dan keamanan, maupun dalam kerangka institusionalis dan liberal yang menekankan hukum, kerja sama, dan legitimasi internasional. Dengan demikian, perkembangan ilmu politik tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang kedaulatan, karena kedaulatan adalah kerangka dasar yang memungkinkan studi tentang negara, kekuasaan, hukum, dan hubungan internasional dijalankan secara sistematis.
Konsep kedaulatan Westphalia tidak berhenti pada pengertian politik daratan semata, melainkan berkembang menjadi landasan bagi lahirnya kedaulatan wilayah secara menyeluruh, termasuk laut dan udara. Ketika teknologi penerbangan berkembang pada awal abad ke-20, muncul pertanyaan apakah negara juga memiliki kedaulatan atas ruang udara di atas wilayahnya. Pertanyaan ini dijawab melalui Konvensi Paris 1919 yang untuk pertama kalinya secara resmi menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Prinsip itu kemudian dipertegas kembali dalam Konvensi Chicago 1944 melalui Pasal 1 yang menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya. Rumusan tersebut merupakan bentuk konkret dari penerapan prinsip Westphalia pada era modern, yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi penerbangan.
Bagi Indonesia, prinsip ini memiliki arti strategis. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, ruang udara Indonesia merupakan jalur vital bagi lalu lintas penerbangan global dan sekaligus bagian integral dari sistem pertahanan negara. Setiap pesawat asing yang melintas di wilayah udara Indonesia wajib tunduk pada aturan dan izin yang ditetapkan oleh otoritas nasional. Negara berhak menolak, mengatur, atau bahkan melarang penerbangan yang dianggap mengancam keamanan nasionalnya. Namun dalam praktiknya, prinsip ini menghadapi tantangan, seperti terlihat pada kasus Perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022 mengenai pengelolaan ruang udara atau Flight Information Region (FIR) di Kepulauan Riau. Perjanjian tersebut memunculkan perdebatan mengenai sejauh mana negara dapat mendelegasikan pengelolaan ruang udara kepada pihak lain, sekalipun secara hukum internasional kedaulatan tetap berada di tangan Indonesia.
Dalam perspektif hukum, delegasi pengelolaan FIR tidak identik dengan penyerahan kedaulatan, karena kedaulatan tetap melekat pada negara pemilik wilayah. Akan tetapi, dari sudut pandang politik dan pertahanan, langkah semacam itu menimbulkan dilema strategis. Di satu sisi, Indonesia ingin menunjukkan komitmen terhadap kerja sama internasional, tetapi di sisi lain negara ini juga harus menjaga agar prinsip kedaulatan yang diwariskan sejak Westphalia tetap terjaga secara utuh. Implikasi Konvensi Westphalia dalam kasus Indonesia–Singapura menunjukkan bahwa kedaulatan bukan hanya konsep hukum, melainkan juga realitas politik dan strategi pertahanan yang harus diperjuangkan terus-menerus.
Dengan demikian, Konvensi Westphalia bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan prinsip yang hidup dan menuntut aktualisasi dalam setiap kebijakan negara, termasuk dalam pengelolaan ruang udara. Ia mengingatkan bahwa kedaulatan negara harus bersifat menyeluruh, komplit, dan eksklusif, mencakup daratan, lautan, dan udara. Bagi Indonesia, tantangan menjaga kedaulatan udara bukan sekadar soal teknis penerbangan, tetapi menyangkut martabat negara, legitimasi politik, dan strategi pertahanan nasional di tengah persaingan geopolitik yang semakin kompleks. Dalam konteks inilah, kedaulatan harus dipandang sebagai simbol identitas dan martabat bangsa yang diwariskan lebih dari tiga setengah abad lalu. Ia tidak dapat dinegosiasikan semata-mata atas alasan teknis atau pragmatis, melainkan harus dijaga sebagai warisan luhur yang menentukan kedudukan suatu bangsa di mata dunia. Bagi Indonesia, menjaga kedaulatan udara bukan hanya soal melindungi ruang angkasa dari ancaman luar, tetapi juga menegaskan jati diri bangsa sebagai negara merdeka yang bermartabat dalam sistem internasional yang sejak lama berlandaskan pada prinsip Westphalia.
Referensi
- Bodin, Jean. Six Books of the Commonwealth. Oxford: Basil Blackwell, 1955 [1576].
- Gross, Leo. “The Peace of Westphalia, 1648–1948.” American Journal of International Law 42, no. 1 (1948): 20–41.
- Hobbes, Thomas. Leviathan. Cambridge: Cambridge University Press, 1996 [1651].
- Locke, John. Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press, 1988 [1689].
- Machiavelli, Niccolò. The Prince. Chicago: University of Chicago Press, 1985 [1532].
- Rousseau, Jean-Jacques. The Social Contract. Cambridge: Cambridge University Press, 1997 [1762].
- Osiander, Andreas. “Sovereignty, International Relations, and the Westphalian Myth.” International Organization 55, no. 2 (2001): 251–287.
- Krasner, Stephen D. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton: Princeton University Press, 1999.
- Keohane, Robert O. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. Princeton: Princeton University Press, 1984.
- Schrijver, Nico. Sovereignty over Natural Resources: Balancing Rights and Duties. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
- Shaw, Malcolm N. International Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2017.
- Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation (Paris Convention), 1919.
- Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention), 1944.
- Hakim, Chappy. FIR di Kepulauan Riau – Wilayah Udara Kedaulatan NKRI. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019.
- Hakim, Chappy. Kedaulatan Negara di Udara: Perspektif Indonesia. Jakarta: PSAPI, 2025.
Jakarta 24 Agustus 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia
Disusun dan di rangkum dari berbagai sumber termasuk AI

