Oleh: Chappy Hakim
Di awal jelang pertengahan tahun 2025, kekhawatiran masyarakat terhadap kesehatan kembali meningkat. Bukan hanya karena sisa-sisa trauma pandemi yang belum benar-benar hilang, tetapi juga karena lonjakan kasus stroke mendadak, tekanan darah tinggi, danserangan wabah flu musiman yang menyebar cepat di berbagai wilayah. Rumah sakit di sejumlah kota besar mencatat peningkatan pasien hipertensi dan gangguan jantung, sebagian besar dipicu oleh pola makan tidak sehat, stres berkepanjangan, dan minimnya aktivitas fisik. Sementara itu, wabah influenza dengan gejala menyerupai Covid-19 kembali menghantui, terutama di lingkungan sekolah dan tempat kerja. Banyak orang merasa cemas karena flu kali ini tak hanya ringan, tetapi sering berkembang menjadi infeksi saluran pernapasan yang berat. Kekhawatiran ini diperparah oleh informasi yang simpang siur di media sosial, yang sering kali memperburuk ketakutan masyarakat. Di tengah situasi ini, penting bagi kita untuk tidak hanya bergantung pada fasilitas kesehatan, tetapi juga mengambil tanggung jawab pribadi: menjaga daya tahan tubuh, membangun gaya hidup sehat, dan memulihkan keseimbangan fisik maupun mental. Sebab sering kali, penyakit-penyakit tersebut bukan muncul tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi dari kelalaian yang berlangsung lama dan terus-menerus kita abaikan.
Tahun 2025 seharusnya bukan hanya menjadi momen kewaspadaan, tetapi juga momentum refleksi bahwa menjaga kesehatan adalah pilihan sadar, bukan sekadar reaksi atas penyakit yang datang. Kita diajak kembali menata ulang prioritas hidup kembali ke dasar, namun bergerak ke depan. Tahun 2025 telah membawa kita pada fase baru kehidupan pascapandemi. Ketika dunia mulai pulih dan menata ulang ritme hidupnya, kita pun dihadapkan pada satu pertanyaan mendasar: bagaimana menjaga kesehatan secara utuh bukan sekadar bebas dari penyakit, melainkan sehat secara fisik, mental, dan sosial?
Masyarakat Indonesia kini hidup dalam ritme serba cepat, di mana tekanan pekerjaan, paparan digital tanpa henti, serta gaya hidup instan menjadi bagian keseharian. Di tengah kecanggihan teknologi medis dan berbagai aplikasi kesehatan digital, justru yang paling dibutuhkan hari ini adalah kemampuan kita untuk kembali ke prinsip dasar: kesadaran diri, keseimbangan, dan disiplin menjaga tubuh. Dalam konteks itu, menjaga kesehatan di tahun 2025 bukan semata-mata soal mengikuti tren diet terbaru atau membeli smartwatch canggih. Justru yang lebih penting adalah konsistensi menjalankan pola hidup sehat yang sederhana namun berdampak besar.
Pertama, asupan gizi seimbang tetap menjadi fondasi utama. Sayangnya, tren makanan cepat saji dan minuman manis kekinian masih merajalela di berbagai kota besar. Menariknya, banyak anak muda yang kini kembali ke pola makan tradisional seperti nasi merah, sayur rebus, dan ikan bakar tanpa minyak sebuah tanda bahwa kesadaran gizi mulai tumbuh dari akar.
Kedua, aktivitas fisik harian tak boleh ditawar. Dalam dunia yang makin digital, duduk terlalu lama menjadi “silent killer” baru. Tahun 2025 adalah momen tepat untuk membiasakan berjalan kaki 5.000–10.000 langkah per hari, atau meluangkan waktu 20 menit untuk olahraga ringan. Ini bukan soal punya waktu atau tidak, melainkan soal komitmen.
Ketiga, kesehatan mental semakin relevan. Kecemasan, stres kerja, hingga tekanan sosial media telah menjelma sebagai epidemi diam-diam. Menjaga pikiran tetap jernih lewat teknik pernapasan, meditasi, journaling, atau sekadar rehat dari notifikasi digital adalah bentuk perawatan diri yang semakin penting dan perlu diakui nilainya.
Keempat, istirahat yang cukup menjadi prioritas. Banyak orang masih mengorbankan tidur demi produktivitas semu. Padahal, tidur yang berkualitas adalah investasi jangka panjang. Idealnya, tidur 7–8 jam dengan rutinitas yang teratur akan memperbaiki sistem imun dan mengurangi risiko penyakit kronis.
Kelima, detoks digital patut dipertimbangkan. Masyarakat kini sadar bahwa terlalu lama menatap layar dapat menurunkan produktivitas, merusak mata, dan memicu gangguan tidur. Momen tanpa gadget entah saat makan bersama keluarga atau saat akhir pekan di alam terbuka bisa menjadi terapi terbaik bagi tubuh dan jiwa. Dan yang tak kalah penting, akses terhadap layanan kesehatan preventif seperti vaksinasi, pemeriksaan rutin, hingga edukasi kesehatan berbasis komunitas harus terus diperluas. Pemerintah dan sektor swasta punya peran penting di sini, terutama dalam mendekatkan layanan tersebut kepada kelompok rentan di wilayah terpencil.
Di tengah semua itu, masyarakat Indonesia perlu menyadari bahwa menjaga kesehatan bukanlah proyek jangka pendek. Ia adalah gaya hidup yang berakar pada kesadaran bahwa tubuh bukan sekadar mesin, melainkan rumah yang harus kita rawat sepanjang hayat. Tahun 2025 bukan hanya tentang teknologi, data, dan kecepatan. Ia adalah juga tentang kembali ke dasar pada nilai-nilai sederhana yang telah lama kita abaikan: makan yang baik, tidur yang cukup, bergerak, dan berpikir jernih. Maka, mari kita mulai dari diri sendiri. Sebab dalam urusan kesehatan, yang paling menentukan bukan sistem, bukan alat canggih, bukan pula anggaran negara—melainkan pilihan kecil yang kita ambil setiap hari.
Jakarta 21 Juli 2025
Chappy Hakim