Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Kenapa dan Bagaimana Stres
    Article

    Kenapa dan Bagaimana Stres

    Chappy HakimBy Chappy Hakim07/15/2025No Comments4 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Oleh Chappy Hakim

    Dalam hidup yang makin padat dan serba cepat ini, tak jarang kita merasa lelah tanpa tahu apa yang sebenarnya menguras tenaga. Badan terasa pegal padahal tidak ada aktivitas fisik berat. Pikiran berisik, namun tak ada masalah besar yang sedang dihadapi. Dalam diam, sesungguhnya kita sedang digerogoti oleh satu makhluk halus bernama stres.  Stres bukan barang baru dalam kamus kehidupan modern. Ia hadir diam-diam, menyusup ke ruang-ruang yang tampak tenang, dan bersemayam di balik rutinitas yang terlihat normal. Bahkan, sering kali orang-orang yang terlihat paling ceria justru menyembunyikan luka terdalam karena stres yang tak tertangani. Di zaman ketika segala sesuatu diukur dari kecepatan, target, dan ekspektasi, stres menjadi teman gelap yang menyelinap tanpa undangan.

    Saya tidak berbicara tentang stres dalam definisi psikologi semata, yang menjelaskan reaksi tubuh terhadap tekanan melalui pelepasan hormon kortisol dan adrenalin. Lebih dari itu, saya bicara soal kelelahan kolektif manusia modern yang dituntut terus berlari, terus bekerja, dan terus membuktikan diri, bahkan ketika hatinya sudah minta istirahat.  Dalam dunia militer yang pernah saya geluti, stres adalah kondisi nyata yang bisa menentukan hidup dan mati. Seorang pilot tempur yang kehilangan fokus karena tekanan psikologis bisa berujung pada kecelakaan fatal. Seorang prajurit yang membawa beban pribadi ke medan tugas bisa mengambil keputusan yang keliru. Tapi sesungguhnya, medan perang paling berat bukan di luar sana melainkan di dalam diri kita masing-masing.  Hari ini, saya melihat medan perang itu justru makin luas. Ia menyebar ke ruang-ruang kerja, ke sekolah-sekolah, ke dapur rumah tangga, bahkan ke media sosial. Stres menyerang siapa saja mulai dari  anak muda yang dihantui kegagalan, orang tua yang dihimpit beban keluarga, pegawai yang dihajar deadline, atau ibu rumah tangga yang kelelahan dalam kesunyian. Semua sedang bertempur dengan musuh tak kasatmata, sering kali tanpa perisai.

    Yang mengkhawatirkan, stres tidak datang sendiri. Ia membawa kawanan penyakit: hipertensi, diabetes, insomnia, maag kronis, hingga gangguan jantung. Ia juga merusak relasi sosial membuat orang mudah marah, menarik diri, atau kehilangan empati. Tak sedikit pula yang memilih jalan pintas yakni alkohol, narkoba, atau pelarian dalam bentuk ekstrem lainnya. Padahal sejatinya, kita hanya perlu belajar berhenti sejenak. Di negeri yang sedang sibuk membangun infrastruktur ini, kita sering lupa bahwa infrastruktur mental juga butuh diperkuat. Kita bicara tentang tol laut, bandara, dan kereta cepat, tapi nyaris tak menyentuh persoalan kesehatan jiwa yang kian menganga. Padahal, tak ada pembangunan yang berhasil jika manusianya rapuh. Kita bisa membangun jembatan yang menghubungkan pulau, tapi tak tahu cara menjembatani rasa cemas yang menyekap anak muda di kamar tidur mereka.

    Mengelola stres tidak membutuhkan teknologi tinggi atau dana besar. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menyadari bahwa kita tidak harus selalu kuat. Bahwa menangis itu bukan kelemahan. Bahwa istirahat bukan bentuk kemalasan, melainkan kebutuhan. Dan bahwa manusia bukan mesin yang bisa dipaksa terus bergerak tanpa jeda.  Ada hal-hal sederhana yang sebenarnya ampuh meredakan stres. Bernapas perlahan sambil menutup mata beberapa menit saja bisa membuat tubuh lebih tenang. Berjalan kaki di taman sambil menyapa pohon dan angin bisa membebaskan pikiran yang kusut. Bahkan, duduk di beranda rumah sambil minum teh hangat, jauh dari deru notifikasi, bisa menjadi bentuk perlawanan yang paling lembut terhadap tekanan zaman.

    Kita juga perlu saling mendengarkan. Sering kali, orang tidak butuh solusi, mereka hanya ingin didengarkan. Jangan anggap enteng kalimat “saya capek” dari seseorang. Bisa jadi, itu teriakan terakhir sebelum jiwanya benar-benar menyerah. Dan mari kita berhenti memuja kesibukan sebagai simbol keberhasilan. Terlalu sering, kita menjadikan hidup yang padat sebagai kebanggaan, seolah-olah istirahat itu milik orang malas. Padahal, justru mereka yang bisa mengatur jeda adalah orang yang paling paham bagaimana menjaga nyala api dalam dirinya tetap hidup.  Akhirnya, stres bukanlah musuh yang bisa kita musnahkan selamanya. Ia akan selalu datang dalam berbagai bentuk. Tapi kita bisa belajar untuk hidup berdampingan dengannya, mengelola kehadirannya, dan tidak membiarkan ia mengatur arah hidup kita.  Hidup ini bukan kompetisi siapa yang paling cepat, tetapi tentang siapa yang paling mampu bertahan dengan tenang. Karena seperti yang pernah saya dengar dari seorang prajurit tua, senior saya  “Yang pulang dengan selamat bukan selalu yang paling berani, tapi yang paling tahu kapan harus berhenti dan mulai bernapas lagi dengan tenang.”

    Jakarta 15 Juli 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleLas Vegas Dari Oase Gurun ke Panggung Global Hiburan dan Pertahanan
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Las Vegas Dari Oase Gurun ke Panggung Global Hiburan dan Pertahanan

    07/15/2025
    Article

    Mencermati Kawasan Paling Misterius di Dunia

    07/15/2025
    Article

    Area 51

    07/15/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.